Skip to main content

Mengulang Rasa Membuat Asa

Mengulang Rasa Membuat Asa

Berpikirlah tentang sepotong kue tart. Tart apa? Mungkin kau akan bertanya. Bagaimana kalau tart strawberry? Hemm…..bentuknya prisma segitiga, dengan sapuan cream putih. Diatasnya ada potongan strawberry merah. Cantik sekali. Menggoda.

Aku sering melihatnya di toko kue dekat kampus. Ingin mencicipi, tapi entah bisa dimakan entah tidak. Ingin tanya, kurang pede. Tampaknya mahal pula. Jadi hanya bisa membayangkan rasanya saja terkadang menelan air liur diam-diam.

Delapan bulan di Jepang, baru dua kali aku makan tart strawberry. Satu kali waktu seorang senpai ulang tahun dan dia membuat sendiri tart itu. Satu potong lain diberi teman se-lab yang orang Jepang
.
“Taberareru yo…” Katanya dengan penuh semangat mengajakku makan kue bersama dengan kawan-kawan lab yang lain. Dia mengangsurkan satu potong tart khusus untukku.

Aku ingat, saat itu mataku menghangat, membayangkan kerepotan yang dia buat di toko kue, mencari sepotong kue yang bahan-bahannya semua berasal dari tumbuhan.

Rasakanlah kembali rasanya. Hemm...pertama, bagian creamnya, manis dan lembut. Lengket di mulut, nikmat. Lalu bagian cakenya, lembut cake, perpaduan tepung, mentega, telur yang sempurna. Tidak terlalu manis dan sama sekali tidak hambar. Intinya: enak. Lalu kesegaran strawberry saat digigit. Manis asam berpadu dengan cream yang manis, nyammy sekali…

Lalu? Tak ada kelanjutannya, hanya ingin mengenang rasa.

Sensasi yang pernah hadir dalam lidah kita, dan terekam dalam benak kita. Bukan hanya rasa tart yang bisa dikenang. Masih ingat sewaktu kecil, lalu ayah mengajari kita bersepeda? Seperti apa rasanya ketika kita sadar tak ada tangan penyangga di belakang. Menyadari bahwa kita melaju sendiri meski akhirnya pagar tetangga ditabrak.

Atau saat jadi juara kelas? Naik ke panggung. Lalu di barisan hadirin, ada senyum bangga dan haru orang tua dengan mata basah ibu dan ayah yang sibuk mengambil foto.

Atau saat kiriman ibu pemilik catering punya hajat besar hingga lupa mengantarkan makanan, di saku tak ada uang sepeserpun karena kiriman orang tua terlambat datang dan perutmu lapar minta diisi. Saat itu baru dapat disadari, tentang arti rizki dari Tuhan.

Mengulang rasa, membantu membuat asa. Apalagi kala hambar menghampiri dan penat menerpa. Menghadirkan harapan, mengembalikan mimpi yang hilang.

Ada kalanya rasa yang harus dikenang adalah semangat menggebu. Lain waktu adalah kesedihan kala kita sedang riang. Atau keceriaan kala kita sedang berduka.

Kalau imajinasi itu tak cukup, menyusuri jalan-jalan yang pernah ditapakipun akan membantu mengulang rasa itu. Terkadang melihat-lihat kembali foto, catatan-catatan masa lalu, mengulang pekerjaan, bertemu dengan orang-orang masa lalu, dll., membuat kita bisa mengulang kembali rasa itu.

Jangan sampai semangat tinggi yang pernah meletup-letup dalam jiwa, hanya menjadi catatan sejarah karena tempatnya semula menjadi padam tersapu waktu. Letupkan lagi, nyalakan lagi.

Mengulang rasa, membuat asa. Agar mimpi hari ini menjadi kenyataan esok hari.

Tokyo 25 Mei 2004
=mengenang satu hari saat aku menatap langit, dan berbisik:
ya Allah…aku bisa kan jadi akhwat?
Jadi muslimah shalihah seperti kawan-kawan yang lain=

-------
Dia sangat tahu segala keterbatasanku, juga sebesar apa cita-citaku.
Kupintakan padanya untuk mencatatkan lebih banyak sejarah yang baik tentangku di buku catatan Raqib.
Kupintakan juga hal yang sama untuk saudara-saudara semua...
Dan khusnul khatimah.
Amin

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Berhenti Sejenak

Pagi itu kami berempat (saya dan A3-A5) menuju stasiun. Baby Anas (A5) setia duduk di strolernya. Dinginnya menggigil tapi matahari menyapa dengan hangat. Tujuan kami adalah Kabe, rumah mba Nita tuk bersilaturahim dengan sahabat Azzahra. Di tengah jalan, di area favorit anak-anak untuk berhenti, Azmi (A3) tiba-tiba bertanya, "Bunda, itu tulisannya apa?" Ia menunjuk setengah bola yang biasanya mereka duduk bermain di atasnya.  Setiap melewati area ini memang mereka hampir selalu berhenti untuk bermain. Tapi pagi ini (seperti biasa) kami sedang mengejar waktu. Jadi saya menjawab sekenanya, "Engga tahu. Ayo kereta menunggu!" "Karena jauh ga keliatan? Ayo kesana!" Ah...  "Seperti ini tulisannya. Apa bacanya bunda? Tapi ini kanji bunda ga ngerti ya?" Akhirnya saya (seperti biasa, harus) mengalah. Berjongkok mengamati tulisan. Ternyata.... Tulisannya adalah "Saturn" lengkap dengan kanji di bawahnya dan angka2.... Saya lalu melihat ke sekelili...

Puzzle 46 (Terkurung di rumah)

Puzzle 46 (Terkurung di rumah) Puzzle terakhir ditulis 28 Desember 2009. Seperti apa kepingan yang ada 10 tahun kemudian? Dengan covid-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia. perempuan itu bekerja dari rumah. Sewaktu-waktu lelaki itu juga di rumah. Serasa liburan tapi banyak kerjaan. Mereka berbagi tugas. Siapa yang belanja siapa yang masak. Siapa yang beres-beres siapa yang menemani anak belajar. Ada banyak istri stress karena suaminya di rumah. Repot katanya. Tapi perempuan itu bahagia. Ada hari-hari dimana ia bisa puas memandang suaminya sepanjang hari. Alhamdulillah. Pekerjaan lebih ringan, hati juga lebih lapang. Ada banyak target yang bisa dikejar, alhamdulillah