Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2006

Tanggal satu

Hari ini tanggal satu Ramadhan. Mohon maaf lahir batin untuk semuanya. Jazaakillah khair mba Wahyu di kotak teriak yang sudah mengingatkan saya. Iya, salah belum memohon maaf disini. Meski bukan sunnah, apalagi wajib, tapi mumpung ada kesempatan saya mohon maaf atas semua khilaf dan salah... Selamat menunaikan ibadah shaum di bulan ramadhan ini. Semoga dikuatkan untuk mengoptimalkannya dengan penambahan iman, ilmu dan amal, dan semoga diterima amal-amal kita. *** Hari ini tanggal satu Ramadhan. Ramadhan keempat di negeri Sakura. Ada lapar yang lebih melilit, sementara bayi mungil yang sedang agak demam itu masih terus ingin menyusu dari bundanya. Susu tambahan, makanan sudah diberikan sebagai pengganti, tapi barangkali memang tak ada yang bisa menggantikan asinya bunda. Apalagi saat kurang enak badan seperti itu. Diam-diam, masih tetap bermimpi bahwa target-target bulan ini bisa sedikit lebih banyak dicapai dibanding waktu-waktu yang lalu. Ramadhan ketiga, adalah ramadhan dengan perut

Usulan Kakek Nashih Ulwan [1]

Kesan paling kuat camp otsuka lalu buat saya, adalah tentang kebakaran di rumah kita. Uhm, bukan kebakaran sebenarnya, tapi upaya menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka, yang pengamanannya berinti pada pendidikan anak. Saya jadi membuka-buka buku tebal tentang Pendidikan Anak dalam Islam yang ditulis Abdullah Nashih Ulwan setelah sebelumnya scanning buku Pendidikan Anaknya Irwan Prayitno (jazaakillah khair mba Nesia...buku bagus, subhanallah). Setelah itu jadi terpikir untuk menjadikan rumah multiply ini kumpulan koleksi catatan bacaan saya terkait anak-anak. Uhm...mengganti fungsi rumah satunya "Lintasan Bunda" .  Untuk berbagi dan pengingat, apalagi buat ibu pemula yang masih terbata-bata mengurus anak.Yah, semoga saja bisa istiqomah. Back to basic, inilah tulisan pertama. Salah satu ulama penulis idola bunda ini mencatatkan 10 usulan edukatif dalam pendidikan anak. Satu-satu akan diceritakan dalam tulisan berseri ini, insyaAllah. Usulan Kakek Nashih Ulwan [1. Memb

Kebakaran di rumah kita* [2]

Menyelamatkan diri dan keluarga dari api yang super dahsyat itu adalah dengan membangun akhlak islam pada diri dengan keluarga kita. Warisan terbaik bagi anak-anak kita bukan hanya harta berlimpah, tapi akhlak mulia. Itulah sebaik-baiknya warisan. Bercermin kepada Nabi Allah Yakub alaihissalam, saat beliau bertanya pada putra-putranya: "Wahai anakku, sepeninggalku nanti siapakah yang akan kalian sembah?" Siapa yang tak kenal Yakub a.s.? Ia adalah seorang nabi. Ayahnya, Ishaq a.s juga seorang nabi. Kakeknya, Ibrahim a.s. juga seorang nabi. Putranya, Yusuf a.s juga seorang nabi. Mereka keluarga nabi. Tapi rasa khawatir, penyiapan sangat beliau perhatikan, terutama terkait akidah putra-putranya. Bisa dilirik juga tatkala Luqman menasihati anaknya, yang diabadikan pula dalam alQuran.

Kebakaran di rumah kita...*

Suatu hari anda berjalan pulang. Di perjalanan, anda melihat ada asap, keramaian, dan api yang membubung ke langit. Manusia berkerumun, panik. Anda terus berjalan sambil berpikir: sepertinya ada kebakaran. Mereka-reka di daerah mana, apa sebabnya, dsb. Tanpa sedikitpun berpikir bahwa kebakaran itu terjadi di rumah anda sendiri. Semakin mendekat ke rumah, semakin jantung berdebar, karena sepertinya asap itu berasal dari rumah anda. Dan ternyata benar, rumah anda sedang terbakar. Seketika anda mencari istri/suami dan juga anak-anak. Oh, di garis kuning polisi, tampak mereka sedang menangis. Anda segera menghampiri mereka dan berpelukan. Tapi, dimana si Tengah? Anda bertanya-tanya, mencari-cari. Lalu diantara percikan api, anda melihat si Tengah terkurung di dalam rumah. Menangis ketakutan, menjerit, meminta tolong. Tanpa berpikir panjang, anda ingin berlari. Menerobos masuk ke dalam rumah, menyelamatkannya. Apa saja, termasuk nyawa, berani anda korbankan untuk keselamatannya. Agar ia ter

Melewati persimpangan

Hampir tak dapat dipercaya, satu tahap sekolah saya selesai. Konfirmasi kehadiran untuk acara kelulusan saya terima kamis lalu. Ada haru menyelusup hati, beserta rasa sedih akan meninggalkan lab tercinta. Saya bukan pelajar yang baik. Apalagi periset yang baik. Lebih banyak keajaiban yang membuat saya bisa sampai pada hari ini. Korbannya juga banyak. Ralat: ini didukung oleh pengorbanan banyak orang. Orang-orang tercinta. Beserta doa-doa yang dilantunkan diam-diam dan terang-terangan untuk saya. Terutama mengusir malas dan enggan yang kerap mengotori jiwa. Tiba juga masa di persimpangan. Lanjut-tidak-lanjut-tidak-lanjut-tidak... Mumpung disini. Tapi anak saya masih bayi. Kan bisa dititip. Tapi saya ibunya. Mestinya saya yang menjaganya-meski saya belum menjadi ibu yang cekatan, apalagi teladan. Penitipan akan menjamin pendidikannya. Mereka sudah terlatih. Saya juga sudah membuktikannya sendiri. Tapi tetap ada ruang kosong disana. Keyakinan yang fundamental sebagai seorang muslim. Bukan

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Awal penjelajahan

Kemarin, jelang pukul lima sore bunda sudah tiba di sekolah bubu. Telinga bunda samar-samar menangkap suara tangisan yang sangat dikenalnya, diantara aneka tangisan dan jeritan bayi/anak-anak di ruangan itu. Mata bunda berusaha mencari dimana bubu. Melihat ke beberapa area ruang besar yang dibagi menjadi 6 bagian itu. Para sensei bubu tersenyum dan menunjukkan ke arah bawah. Hati bunda bergetar. Ada apa di bawah? Apakah ada bubu? Bunda segera melewati palang setinggi lutut, lalu melongok ke kolong, salah satu tempat bermain anak-anak. Masya Allah...ada bubu disana. Ternyata ia merangkak sendiri hingga masuk ke dalam kolong. Mata bunda berkaca, menahan haru. Sayang bunda tak membawa kamera. Bunda memanggil putri kecilnya, ia menoleh. Pipinya basah. Mungkin karena kepentok papan. Bubu diminta merangkak menghampiri bunda tapi ia sudah tak mau. Mungkin terlalu kalut. Akhirnya seorang sensei masuk ke dalam kolong, lalu membantu bubu keluar. Bunda langsung memeluk bubu, berusaha menenangkann