Skip to main content

Melewati persimpangan

Hampir tak dapat dipercaya, satu tahap sekolah saya selesai. Konfirmasi kehadiran untuk acara kelulusan saya terima kamis lalu. Ada haru menyelusup hati, beserta rasa sedih akan meninggalkan lab tercinta.

Saya bukan pelajar yang baik. Apalagi periset yang baik. Lebih banyak keajaiban yang membuat saya bisa sampai pada hari ini. Korbannya juga banyak. Ralat: ini didukung oleh pengorbanan banyak orang. Orang-orang tercinta. Beserta doa-doa yang dilantunkan diam-diam dan terang-terangan untuk saya. Terutama mengusir malas dan enggan yang kerap mengotori jiwa.

Tiba juga masa di persimpangan. Lanjut-tidak-lanjut-tidak-lanjut-tidak...

Mumpung disini.
Tapi anak saya masih bayi.
Kan bisa dititip.
Tapi saya ibunya. Mestinya saya yang menjaganya-meski saya belum menjadi ibu yang cekatan, apalagi teladan.
Penitipan akan menjamin pendidikannya. Mereka sudah terlatih. Saya juga sudah membuktikannya sendiri.
Tapi tetap ada ruang kosong disana. Keyakinan yang fundamental sebagai seorang muslim. Bukankah saya sudah lama sekali bermimpi bahwa mestinya generasi setelah saya tidak terlambat mengenal Islam, dan menjadi muslim/muslimah sejati lebih awal? Saya sangat terlambat, sampai usia seperti ini masih saja tertatih-tatih.
Dicover di rumah saja. Ada aspek yang bagus dikembangkan di sekolah, ada aspek yang dikembangkan di rumah.
Itulah dia, saya belum pandai memenej waktu, menjadi perempuan super. Pulang sekolah sudah terlalu lelah. Bahkan seringkali saya khawatir tak sanggup tersenyum padanya. Selama ini ia banyak terlelap saat di rumah. Tapi ia akan mulai aktif lagi.
Lelah sepulang sekolah, menghadapi pekerjaan-pekerjaan rumah dan pr pengasuhan anak, selain mengerjakan beberapa amanah.
Hemmm...
Tapi sekolah setinggi-tingginya, berkontribusi sebesar-besarnya bagi masyarakat adalah cita-cita saya juga...
Uhm...
....
Saya akan mengambil cara berkontribusi yang berbeda. Seperti rencana yang sudah dibuat beberapa tahun lalu saat saya berada di persimpangan pasca lulus S1.
Mengambil jeda, untuk kewajiban asasi, mengambil peran yang memungkinkan disamping tugas utama menjadi seorang ibu. Tunggulah beberapa saat lagi, saya akan kembali. Insya Allah dengan energi lain... Semoga saat itu manajemen pribadi saya sudah membaik, saya menemukan sarana/pihak yang baik untuk mendelegasikan beberapa bagian pendidikan/pengasuhan anak, dan kondisi-kondisi yang mendukung lainnya. Seperti kebutuhan, dll.
Yakin? Tak akan bosan 24 jam bersama menjadi ibu rumah tangga? Saya bukan tipe rumahan...
Hei, itu benar. Saya harus berdoa banyak-banyak agar Ia menolong saya bisa melewatinya. Menjadi ibu itu tugas dariNya. Insya Allah Dia pula yang akan memudahkan.
Saya menyukai kedinamisan, energi saya bergelora saat berada di luar rumah, bersentuhan dengan banyak orang. Senang berpikir dan mengkaji, meskipun kadang jadi sok analis.
Jangan berhenti berpikir. Semoga itu bisa disalurkan ke arah yang baik. Saya akan berusaha menyalurkan hasrat itu untuk menyelesaikan beberapa masalah. InsyaAllah ini akan membantu saya menjalankan tugas sebagai ibu, disamping beberapa amanah lain.
Kalau sudah yakin, semoga Allah menolong
Aamiin...berazam, dan bertawakal, smoga Allah menolong.

Epilog:
Setiap muslimah memiliki keunikan sendiri, potensi sendiri-sendiri, yang sebisa mungkin dikembangkan dan diarahkan untuk kebaikan. Ada yang mungkin memilih hal lain, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya. Insya Allah itu juga bukan masalah (asal...). Seperti yang pernah saya catat pada postingan beberapa waktu lalu, tujuan dan bingkainya harus jelas, dan ada proses saling membantu.

Kewajiban-kewajiban kita sangat banyak. Tapi meyakini bahwa kewajiban-kewajiban itu ada yang merupakan kewajiban asasi yang tak bisa didelegasikan, dan sebagian yang lain justru memerlukan ruang untuk partisipasi orang lain. Sehingga kita-dengan setiap pilihan peran dan kontribusi akan merasakan diri sebagai bagian ummat dalam membangun peradaban.

Semoga Allah menolong dan memberi petunjuk pada kita semua...

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar