Hari Rabu, 1 November 2006 yang lalu, saya berjumpa seseorang yang istimewa. Ketua MPR-RI yang diam-diam saya kagumi: DR. Hidayat Nurwahid. Meski baru tahu siangnya-kalau beliau ada di Tokyo, dan petang itu ada pertemuan di Wisma KBRI, alhamdulillah ada rejeki tuk berjumpa.
Bersama Bubu di pangkuan, saya menjadi satu-satunya hadirin yang membawa bayi. Selain saya, ada satu ibu lagi yang membawa putra bungsunya. Acara formal yang konon membuat kejang perut sang ibu, karena khawatir putranya yang lincah itu berbuat sesuatu yang membuat tuan rumah tak berkenan.
Ada beberapa hal yang saya catat dalam benak. Pertama adalah tentang energi positif yang di bawa Ust. Dayat. Untuk selalu berpikir positif, dan berusaha membangun diri dan bangsa. Tidak putus asa, meski banyak kondisi negara sangat terpuruk. Toh kita bisa belajar pada banyak negara yang awalnya jauh lebih terpuruk, dengan kondisi yang jauh lebih buruk, dan tantangan yang jauh lebih besar. Tapi mereka bisa bangkit dan maju.
Selain itu, pikiran positif beliau juga ditampakkan dengan bagaimana beliau menyampaikan uraiannya dan menjawab pertanyaan dengan cara yang positif. Tidak menjatuhkan, menjelekkan, bahkan membuka aib, meski itu lawan politik. Beliau menjaga harga diri koleganya, tapi tetap berusaha obyektif, atau menutup-nutupi.
Sesuatu yang saya pikir sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang...
Kedua adalah perkenalan pertama dengan ibu Dubes. Saya adalah orang yang...
*kaka datang...bersambung dulu...*
updated 24 nov
Kedua adalah perkenalan dengan ibu duta besar. Saya adalah orang yang relatif pemalu dan tidak pede, tuk berkenalan dengan orang baru, apalagi di keramaian. Biasanya saya lebih memilih menjadi pengagum rahasia. Seperti saat mba Helvy Tiana Rosa datang tuk workshop FLP di Tokyo, saya nyaris kehilangan kata-kata. Padahal beliau, karya dan keluarganya menjadi salah satu inspirasi saya.
Tapi ibu dubes ini ramah. Dia menyapa sana-sini. Sehingga saya pun merasa tak sungkan tuk sekedar berterima kasih atas penerimaan beliau. Beliau sudah lelah, namun karena tanggung jawab sebagai tuan rumah, meski sudah pamit dari acara tetap sibuk di belakang.
Satu hal lagi saya catat, tentang keramahan, pengorbanan dan tanggung jawab pemimpin. Seorang pemimpin mesti bersikap seterbuka mungkin kepada orang-orang yang mungkin sungkan kepadanya. Saya jadi ingat, waktu masih jadi anak bawang di asrama Putri ITB, aturan yang ada adalah: mulailah percakapan/perkenalan, atau kamu akan di cap sombong.
Aturan itu menjadi salah satu terapi buat saya tuk menghilangkan rasa pemalu dan rendah diri yang berlebihan.
Alhamdulillah atas pelajaran hari itu...
Bersama Bubu di pangkuan, saya menjadi satu-satunya hadirin yang membawa bayi. Selain saya, ada satu ibu lagi yang membawa putra bungsunya. Acara formal yang konon membuat kejang perut sang ibu, karena khawatir putranya yang lincah itu berbuat sesuatu yang membuat tuan rumah tak berkenan.
Ada beberapa hal yang saya catat dalam benak. Pertama adalah tentang energi positif yang di bawa Ust. Dayat. Untuk selalu berpikir positif, dan berusaha membangun diri dan bangsa. Tidak putus asa, meski banyak kondisi negara sangat terpuruk. Toh kita bisa belajar pada banyak negara yang awalnya jauh lebih terpuruk, dengan kondisi yang jauh lebih buruk, dan tantangan yang jauh lebih besar. Tapi mereka bisa bangkit dan maju.
Selain itu, pikiran positif beliau juga ditampakkan dengan bagaimana beliau menyampaikan uraiannya dan menjawab pertanyaan dengan cara yang positif. Tidak menjatuhkan, menjelekkan, bahkan membuka aib, meski itu lawan politik. Beliau menjaga harga diri koleganya, tapi tetap berusaha obyektif, atau menutup-nutupi.
Sesuatu yang saya pikir sangat sulit dilakukan oleh kebanyakan orang...
Kedua adalah perkenalan pertama dengan ibu Dubes. Saya adalah orang yang...
*kaka datang...bersambung dulu...*
updated 24 nov
Kedua adalah perkenalan dengan ibu duta besar. Saya adalah orang yang relatif pemalu dan tidak pede, tuk berkenalan dengan orang baru, apalagi di keramaian. Biasanya saya lebih memilih menjadi pengagum rahasia. Seperti saat mba Helvy Tiana Rosa datang tuk workshop FLP di Tokyo, saya nyaris kehilangan kata-kata. Padahal beliau, karya dan keluarganya menjadi salah satu inspirasi saya.
Tapi ibu dubes ini ramah. Dia menyapa sana-sini. Sehingga saya pun merasa tak sungkan tuk sekedar berterima kasih atas penerimaan beliau. Beliau sudah lelah, namun karena tanggung jawab sebagai tuan rumah, meski sudah pamit dari acara tetap sibuk di belakang.
Satu hal lagi saya catat, tentang keramahan, pengorbanan dan tanggung jawab pemimpin. Seorang pemimpin mesti bersikap seterbuka mungkin kepada orang-orang yang mungkin sungkan kepadanya. Saya jadi ingat, waktu masih jadi anak bawang di asrama Putri ITB, aturan yang ada adalah: mulailah percakapan/perkenalan, atau kamu akan di cap sombong.
Aturan itu menjadi salah satu terapi buat saya tuk menghilangkan rasa pemalu dan rendah diri yang berlebihan.
Alhamdulillah atas pelajaran hari itu...
Comments