Skip to main content

Bidadari

Pasca sidang yang sedikit melelahkan di ruang makan, tentang kucing, beberapa hari kemudian (Sabtu kemarin) aku mendapat kesempatan untuk bercerita perkembangan terakhir dengan salah satu kawanku itu. Tak lupa juga kuperlihatkan scanan kartu undangan. Perlahan dia mulai percaya bahwa aku akan bahagia. Dia berhenti mempertanyakan keputusanku itu.

Siang hari, dia mengetuk pintu, membawakan sesuatu, barang cantik yang sangat pribadi. Mengejutkan. Sorenya mengajakku ke toko buku. Dia ingin membelikan buku yang disukainya untukku, tapi tak ditemukannya. Akhirnya dia memintaku memilih sendiri. Buku Learned Optimism, salah satu buku yang aku idam-idamkan akhirnya kutunjuk.

Malam ini, dia ketuk lagi pintu kamarku, membawa buku itu dengan kantung cantik. Telah tertulis dibukunya:
Rieska, I wish you happy.
Don't count the differences of our languages, our religions, count the smiles between us. :)
For your wedding,
Love
L***


Beberapa menit sebelumnya, di YM aku terima pesan offline dari kawan yang juga adik kelasku. Ungkapan cinta dan kerinduan, yang membuat hati ini pun kemudian diluapi rasa rindu. Juga beberapa percakapan ringan di YM malam ini bersama kawan muda maupun senior. Kesyukuran beserta tausiyah-tausiyah yang mengalir deras kucoba memahaminya baik-baik.

Ah betapa akhir-akhir ini aku merasa begitu dicintai. Ingatanku melayang pada kawan-kawan yang menemaniku disini, dan juga yang berada di daratan sana. Mengenang mereka semua senantiasa membuat mataku basah dan dada ini sesak.

Apalagi saat ini sebagian diantara mereka tengah menyiapkan acara spesial untukku, beserta keluarga. Menurut cerita ibu, bahkan tetangga-tetangga pun ikut sibuk.

Aku jadi ingat tentang bidadari yang pernah kutulis awal tahun ini. Rasanya, rasa ini masih sama saja adanya.

Ya Rahman...
Tolong sayangi orang-orang yang selama ini telah mengucurkan dengan deras cintanya kepadaku. Karuniakan hidayah bagi mereka untuk bisa mengenalMu, dan bersungguh-sungguh menetapi jalanMu...

----

Bidadari


Kring…

“Hallo…moshimoshi…”

“Hallo… it’s me, *someone*. How are you? I’m really glad to hear your voice. You know I was sick during this holiday. I…”

Dan mengalirlah ceritanya selama libur. Sebenarnya ini bukan pertama kali mendengar dia sakit saat liburan musim dingin ini. Sebelum tahun baru, lalu lewat c mail, teman sekelas nihonggo gakko ini sudah cerita kalau sakit. Tapi katanya sudah membaik, dan sempat ke Yokohama untuk bertahun baru. Jadi aku tidak menghubunginya lagi.

Tapi dua hari ini, dia tak masuk. Dan ternyata, karena dia belum sembuh. Baru setelah menelepon ini dia akan masuk lagi. Aku berencana meneleponnya atau mengirim c mail, tapi selalu lupa.

Menurut ceritanya di telepon itu, liburan kali ini dia sangat menderita. Suhu tubuh yang tak stabil, suara yang hilang, bahkan sempat tak ada uang karena bank yang libur. Dia kesulitan untuk menghubungiku atau minta bantuan siapapun karena suaranya hilang selama beberapa waktu. Aku mendengarnya jadi merasa sangat bersalah. Mestinya aku yang menelepon. Menanyakan kabarnya, membantunya, berada disisinya saat ia perlu bantuan…

Tapi aku? Meneleponnya saja lupa.

Dan ini sama sekali bukan yang pertama. Bisa lebih dari 999 cerita tentang ini: kegagalanku menjadi orang baik. Baru niat. Tapi belum jadi tindakan. Kalau tindakan saja sudah jarang, apalagi kebiasaan. Hiks…

Susahnya jadi orang baik. Yang seperti bidadari, yang katanya siap kapan saja dan dimana saja. Bisa membuat situasi sulit menjadi mudah dengan tongkat saktinya. Bisakah sedikit saja jadi orang baik???

Aku pejamkan mataku, dan terbayanglah malaikat-malaikat penolong di sekitarku. Rasa-rasanya…bidadariku tak hanya satu. Setiap kali aku dapat masalah, ada saja kutemukan jalan keluarnya. Kadang ada orang yang langsung membantu atau sekedar menyumbang saran, terkadang pula ada yang melihat kehadirannya saja sudah menjadi inspirasi bagiku..

Jika dibuat daftar, segulung penuh tissue toilet, tak kan cukup untuk membuat daftar kebaikan yang dibuat orang-orang untukku. Setiap hari, selalu ada saja kebaikan yang kuterima dan membuatku sering berkata pada diriku sendiri: maka nikmat Tuhanmu manalagi kah yang kamu dustakan?

Mmm…kapan aku bisa jadi malaikat penolong buat orang lain? Itu pertanyaan berulang yang kerapkali terlintas di kepala. Aku tak pernah tahu jawabannya. Yang aku tahu hanya satu: berlatih. Belajar jadi orang baik. Entah sampai kapan…

= risvya, Jan04 =

*nihonggo gakko = sekolah bahasa jepang

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar