Skip to main content

Puzzle 20 (Selera)

Eksperiman di dapur memang lebih menyenangkan bila dilakukan bersama-sama.

Ada menu baru yang dikenal perempuan itu, beserta bumbu-bumbu yang dahulu hanya dikenal namanya, tanpa diketahui secara persis efek-efeknya pada makanan. Apalagi lelaki itu gemar meracik aneka bumbu. Kontras dengan dirinya yang sebelumnya hanya memasak bersenjatakan bawang putih, garam, gula, dan merica. Hiyaa...tomat, bawang daun, apalagi seledri menjadi sedikit mewah disini...

Untung saja, apa yang disukainya, lelaki itu pun ternyata menyukainya juga. Entah memang karena suka, atau belajar mengamalkan hadits rasul untuk tidak mencela makanan. Atau karena tak tega. Hihi...

Nyatanya pada banyak hal, yang disukai dan tidak disukai tetap menimbulkan ketakjuban bagi kedua pihak.

Satu kali, lelaki itu memasukkan cinamon alias kayu manis serbuk dalam salah satu menu. Perempuan itu ingin mencegah, tapi berpikir mungkin sebaiknya membiarkan saja lelaki itu bereksperimen. Siapa tahu dia memang menyukainya.

Apa yang dikhawatirkannya terjadi. Pada suapan pertama, aroma itu begitu menusuk hidungnya. Ada yang menyesak di tenggorokan. Ditahannya, dan ia makan dengan amat perlahan.

"Ga enak, ya?" Lelaki itu bertanya.

Perempuan meringis. "Jangan bertanya, pertanyaan itu susah sekali untuk dijawab"

Lelaki diam. Acara makan menjadi kaku, meski satu piring berdua.

**

Lama...ia berpikir. Apakah boleh sedih saat memasak untuk seseorang tapi orang tersebut tak menyukainya? Apakah boleh kecewa saat apa yang kita anggap enak ternyata tidak bagi yang satu? Apakah ia tak mengamalkan sunnah kala ia tak mampu berpura-pura suka padahal mual sangat.

Mungkin imannya memang masih lemah...

Tapi ia berpikir lain. Mestinya tak boleh sakit hati, bila ia tak menyukai masakan buatanmu sendiri. Itu bukan karena tak sayang, tak cinta atau tak menghormati. Ada yang mungkin harus dibiarkan berbeda. Selera tak mesti sama.

Selama tak mencela. Apalagi mencela apa yang tidak ia suka.

Perempuan merasa lega, menyusut airmata, tersenyum, dengan kesimpulan baru yang ditemukannya.

Alhamdulillah...

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R