Siapa yang tak suka cerita/dongeng/kisah/...?
Lirik kiri kanan, tak ada yang ngacung.
Ya, semua suka cerita (meski berbeda kadar kesukaan, jenis cerita, dll). Bubu- Amaturrahman yang baru empat bulan pun suka diceritakan apa saja. Saya juga. Khususnya cerita yang happy ending. Apalagi kalau kisah nyata berakhir bahagia...sukaaaaaaa sekali.
Banyak anak-setidaknya jaman saya- yang akrab dengan cerita cinderella, atau putri salju. Hidup melewati berbagai macam cobaan, lalu datang pangeran, hidup bahagia, dan munculah kata sakti: dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya...
Uhm, selamanya...rasanya ingin sekali seperti itu...
Beranjak dewasa-ehem- muncul pikiran, bagaimana kalau cinderella tak betah di istana? Bagaimana kalau dia bertengkar dengan sang pangeran? Bagaimana kalau dia malah jadi tinggi hati setelah lama bergelimpangan dengan harta dan mendapat kedudukan tinggi? Terus di demo rakyat? Hihi...
Kenyataannya, kecuali bila telah tiba pada kematian-dan kehidupan setelah itu, manusia belum bisa merasakan happy ending yang sebenarnya. Ending-ending yang ada persis seperti ending suatu babak demi babak telenovela/sinetron dengan masalah-penyelesaian yang datang silih berganti.
Saya bisa bercerita tentang kisah seorang anak smp yang harus pergi dari desa ke kota terdekat untuk bersekolah, dengan perjalanan 1.5-2.5jam sekali jalan. Pergi lepas subuh dengan uang seadanya yang didapatkan ibunya dari berjualan es teh. Pilihan jajannya harus satu dan mengenyangkan. Teh botol, chiki/snack2 adalah barang mewah baginya. Untuk menghemat uang seratus/sehari dia berjalanan jauh di panas terik siang hari. Endingnya adalah, dia lulus SMP, masuk SMU terbaik dengan nem juara ketiga di SMPnya dan nilai matematika 10, sempurna...
Di SMU krisis idealisme terjadi, antara menikmati bocoran ulangan kelas sebelah atau tidak, bagi-bagi jawaban atau tidak. Dapat hidayah mengenal Islam dan dakwah. Makan dengan sarimi dua kali sehari untuk menghemat uang makan yang hanya dianggarkan 1000 sehari (tahun 1995an). Mengajari kawan-kawannya, tapi seringkali ulangan hanya paling kecil. Ceroboh, jadi alasan utama. Sering mengigau matematika, kata teman-temannya. Ikut olimpiade matematika sampai tingkat nasional DAN (pada saat yang hampir bersamaan) her/perbaikan untuk test/ulangan pelajaran yang sama di sekolahnya.
Kelas tiga, ia terpaksa tak mengikuti bimbingan belajar. Tapi kawan-kawan bergotongroyong membantunya. Mengajarinya bergantian, siap menerima aneka pertanyaan. Dan mereka juga, atas izin Allah, yang membantunya mendapat peringkat pertama NEM di kelasnya sekaligus lolos UMPTN dan bisa bersekolah di Institut terbaik di negrinya.
Saat kuliah ia mendapat beasiswa, mengajar les privat (meski seumur-umur belum pernah les privat). Jatuh bangun dengan penyakit ngantuk selama hampir sepanjang tahun. Membagi konsentrasi antara ujian dan demonstrasi mahasiswa. Belajar menyeimbangkan antara dakwah, kuliah, keluarga, dll. Babak belur dengan tugas akhir. Sampai akhirnya lulus. Tetap bekerja, belajar dan mengajar, serta berdakwah adalah salah satu tekadnya. Kemudian mendapat beasiswa dan terdampar di negeri sakura untuk tetap sekolah.
Tapi disini belum ada ending....
Ia masih terpuruk, memompakan semangat juang sebagai pelajar bagi dirinya sendiri. Mengulang apa yang pernah ia katakan pada suaminya, sebelum suaminya bersegera menyelesaikan tesisnya.
"Ijazah, apalagi gelar memang tak penting. Yang penting ilmu, dan kita terus belajar. Tapi adalah penting untuk menyelesaikan setiap amanah, setiap fase kesempatan belajar yang ia berikan, sampai tuntas, sampai selesai... Bukti kepadaNya semata-mata..."
Ihikssss...
Berikan taufik dan hidayahMu ya Rahman... untuk mengusir malas, mencairkan kebekuan otak, membersihkan kepicikan jiwa...
dan husnul khatimah untuk babak ini...
dan jadikanlah saat terbaik hamba adalah saat berjumpa denganMu, sebagai orang yang amanah terhadap semua amanah yang Engkau berikan...
Aamiin...
Lirik kiri kanan, tak ada yang ngacung.
Ya, semua suka cerita (meski berbeda kadar kesukaan, jenis cerita, dll). Bubu- Amaturrahman yang baru empat bulan pun suka diceritakan apa saja. Saya juga. Khususnya cerita yang happy ending. Apalagi kalau kisah nyata berakhir bahagia...sukaaaaaaa sekali.
Banyak anak-setidaknya jaman saya- yang akrab dengan cerita cinderella, atau putri salju. Hidup melewati berbagai macam cobaan, lalu datang pangeran, hidup bahagia, dan munculah kata sakti: dan akhirnya mereka hidup bahagia selamanya...
Uhm, selamanya...rasanya ingin sekali seperti itu...
Beranjak dewasa-ehem- muncul pikiran, bagaimana kalau cinderella tak betah di istana? Bagaimana kalau dia bertengkar dengan sang pangeran? Bagaimana kalau dia malah jadi tinggi hati setelah lama bergelimpangan dengan harta dan mendapat kedudukan tinggi? Terus di demo rakyat? Hihi...
Kenyataannya, kecuali bila telah tiba pada kematian-dan kehidupan setelah itu, manusia belum bisa merasakan happy ending yang sebenarnya. Ending-ending yang ada persis seperti ending suatu babak demi babak telenovela/sinetron dengan masalah-penyelesaian yang datang silih berganti.
Saya bisa bercerita tentang kisah seorang anak smp yang harus pergi dari desa ke kota terdekat untuk bersekolah, dengan perjalanan 1.5-2.5jam sekali jalan. Pergi lepas subuh dengan uang seadanya yang didapatkan ibunya dari berjualan es teh. Pilihan jajannya harus satu dan mengenyangkan. Teh botol, chiki/snack2 adalah barang mewah baginya. Untuk menghemat uang seratus/sehari dia berjalanan jauh di panas terik siang hari. Endingnya adalah, dia lulus SMP, masuk SMU terbaik dengan nem juara ketiga di SMPnya dan nilai matematika 10, sempurna...
Di SMU krisis idealisme terjadi, antara menikmati bocoran ulangan kelas sebelah atau tidak, bagi-bagi jawaban atau tidak. Dapat hidayah mengenal Islam dan dakwah. Makan dengan sarimi dua kali sehari untuk menghemat uang makan yang hanya dianggarkan 1000 sehari (tahun 1995an). Mengajari kawan-kawannya, tapi seringkali ulangan hanya paling kecil. Ceroboh, jadi alasan utama. Sering mengigau matematika, kata teman-temannya. Ikut olimpiade matematika sampai tingkat nasional DAN (pada saat yang hampir bersamaan) her/perbaikan untuk test/ulangan pelajaran yang sama di sekolahnya.
Kelas tiga, ia terpaksa tak mengikuti bimbingan belajar. Tapi kawan-kawan bergotongroyong membantunya. Mengajarinya bergantian, siap menerima aneka pertanyaan. Dan mereka juga, atas izin Allah, yang membantunya mendapat peringkat pertama NEM di kelasnya sekaligus lolos UMPTN dan bisa bersekolah di Institut terbaik di negrinya.
Saat kuliah ia mendapat beasiswa, mengajar les privat (meski seumur-umur belum pernah les privat). Jatuh bangun dengan penyakit ngantuk selama hampir sepanjang tahun. Membagi konsentrasi antara ujian dan demonstrasi mahasiswa. Belajar menyeimbangkan antara dakwah, kuliah, keluarga, dll. Babak belur dengan tugas akhir. Sampai akhirnya lulus. Tetap bekerja, belajar dan mengajar, serta berdakwah adalah salah satu tekadnya. Kemudian mendapat beasiswa dan terdampar di negeri sakura untuk tetap sekolah.
Tapi disini belum ada ending....
Ia masih terpuruk, memompakan semangat juang sebagai pelajar bagi dirinya sendiri. Mengulang apa yang pernah ia katakan pada suaminya, sebelum suaminya bersegera menyelesaikan tesisnya.
"Ijazah, apalagi gelar memang tak penting. Yang penting ilmu, dan kita terus belajar. Tapi adalah penting untuk menyelesaikan setiap amanah, setiap fase kesempatan belajar yang ia berikan, sampai tuntas, sampai selesai... Bukti kepadaNya semata-mata..."
Ihikssss...
Berikan taufik dan hidayahMu ya Rahman... untuk mengusir malas, mencairkan kebekuan otak, membersihkan kepicikan jiwa...
dan husnul khatimah untuk babak ini...
dan jadikanlah saat terbaik hamba adalah saat berjumpa denganMu, sebagai orang yang amanah terhadap semua amanah yang Engkau berikan...
Aamiin...
Comments