Skip to main content

Puzzle 36 [Tradisi]

Perempuan itu belum tahu persis, selain atas karuniaNya, dengan apa sebenarnya cinta akan tumbuh dan berkembang. Yang ia rasakan hanyalah setiap kali ia merasa, melihat, dan mendengar lelaki itu berkorban untuknya, maka hatinya akan menghangat hingga kemudian ia jatuh cinta kembali pada lelaki itu.

Lelaki yang (hampir) tidak pernah merasa lelah untuk berkorban bagi keluarganya, dan senantiasa berupaya memberikan yang terbaik untuknya.

Hingga kemudian ia berpikir, bahwa semestinya pengorbanan dijadikan sebuah tradisi dalam suatu hubungan untuk memperkuat hubungan itu sendiri.

Tradisi pengorbanan...

Namun kadang ia sendiri merasa ngeri, di waktu yang lain ia melihat seseorang yang selalu dan selalu dalam posisi berkorban suatu saat merasa lelah. Hingga kemudian orang tersebut merasa tak membutuhkan siapa-siapa untuk hidup, atau justru mempertanyakan kehidupannya sendiri.

Mungkin karena orang itu tahu bahwa manusia tak bisa diharapkan terlalu banyak untuk membalas budi, membalas cinta, membalas pengorbanan. Mungkin karena yakin bahwa hanya Allah saja sebaik-baiknya pemberi balasan.

Tapi kalau dengan itu orang itu menjadi tak bisa merasakan kenikmatan kebersamaan, apakah itu tidak ngeri?

Atau mungkin lebih ngeri lagi kalau ia melihat dirinya sendiri. Selama ini ia sering merasa dicintai dan mencintai, namun sedikit yang mengetahui. Mungkin termasuk lelaki itu, tak sadar betapa dalam cintanya. Alasannya sederhana saja, karena cinta itu tak ternyatakan dengan lisan dan lakunya yang salah satu bentuknya adalah pengorbanan.

Hem...terus belajar tuk berkorban...

Jadi tradisi itu mestinya, berkorban dan membiarkan orang lain berkorban untuk kita. Atas namaNya. Agar cinta selalu bersemi di hati-hati kita...

Comments

Anonymous said…
berkorban dan membiarkan orang lain berkorban untuk kita karenaNya...

rada mikir *agak berat kek na*. mungkin karena pemahamanku tentang tradisi ini yang masih dangkal

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R