Skip to main content

Puzzle 14 (izin)

Genap sepekan, tak ada postingan baru disini. Entah apa yang terjadi, hingga nyaris tak ada waktu untuk duduk sebentar dan menuliskan sesuatu. Semua rutinitas sama saja. Tak sedang ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Barangkali yang agak berbeda, pekan kemaren diri ini sedang tersedot pada bacaan yang sangat menarik, dan membawa perenungan tentang banyak hal. Tapi apa itu sebabnya? Entahlah...

***
Puzzle 14 (izin)

Kaka, ade izin mabit yaa
Mabit di SRIT?
Nda, di rumah temen aja. Ada acara.
Ya boleh, hati-hati yaa...

Potongan dialog pada hubungan telepon Tokyo-Mekah di suatu sore. Izin yang aneh, karena baru diajukan beberapa jam sebelum perempuan itu meninggalkan asrama. Mungkin karena ia terlalu percaya diri, bahwa izin itu akan diberikan. Kalaupun lelaki itu keberatan, banyak argumentasi yang bisa dikeluarkan yang akan membuatnya percaya dan memberikan restu.

Keanehan kedua, adalah karena mereka sesungguhnya terpisah jarak. Apa yang dilakukan dan dimana ia berada, sama saja artinya: tak terlihat dari pandangan. Tapi perempuan itu tetap saja menelepon lelaki itu meminta izinya setiap kali ia menginap di luar. Bahkan dulu satu malam ia sempat tak jadi itikaf karena sulitnya menghubungi lelaki itu. Hingga pada kesempatan sesudahnya ia meminta izin khusus menginap pada 10 malam terakhir, agar tak perlu sering-sering menelepon, meminta izin.

-*-
Aku ingat, pada suatu malam, seorang adik bertanya: apakah seorang istri itu harus selalu meminta izin pada suaminya, atas apapun yang dia kerjakan?

Kalau tak salah, saat itu, aku hanya tersenyum. Pertanyaan khas seorang perempuan mandiri. Kala masih sendiri, banyak hal diputuskan dan dikerjakan sendiri. Kemudian ada orang asing yang tiba-tiba datang dengan kekuasaan besar, yang harus dimintainya izin. Emang enak???

Menurutku, sebenarnya masalah izin ini adalah sebuah kesepakatan yang sangat memudahkan. Perbedaan izin amat tipis dengan pemberitahuan. Keduanya sama-sama mengandung kelegaan bagi kedua belah pihak yang memiliki sifat saling menanggung beban.

Misalnya saja bila seorang istri tidak meminta izin suaminya, maka dikala suaminya itu mengontaknya sementara ia tak bisa dihubungi, maka itu akan merisaukan suami tersebut. Dan harga sebuah kerisauan pasangan mahal harganya. Bagaimana kita meresahkan keberadaan dan juga keselamatannya.

Izin itu tak menunjukkan keterkengkangan, tapi mekanisme keadilan. Dan di atas itu semua, meski belum semua hikmah terungkap, apa yang ditetapkanNya, senantiasa indah adanya...

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R...

Berhenti Sejenak

Pagi itu kami berempat (saya dan A3-A5) menuju stasiun. Baby Anas (A5) setia duduk di strolernya. Dinginnya menggigil tapi matahari menyapa dengan hangat. Tujuan kami adalah Kabe, rumah mba Nita tuk bersilaturahim dengan sahabat Azzahra. Di tengah jalan, di area favorit anak-anak untuk berhenti, Azmi (A3) tiba-tiba bertanya, "Bunda, itu tulisannya apa?" Ia menunjuk setengah bola yang biasanya mereka duduk bermain di atasnya.  Setiap melewati area ini memang mereka hampir selalu berhenti untuk bermain. Tapi pagi ini (seperti biasa) kami sedang mengejar waktu. Jadi saya menjawab sekenanya, "Engga tahu. Ayo kereta menunggu!" "Karena jauh ga keliatan? Ayo kesana!" Ah...  "Seperti ini tulisannya. Apa bacanya bunda? Tapi ini kanji bunda ga ngerti ya?" Akhirnya saya (seperti biasa, harus) mengalah. Berjongkok mengamati tulisan. Ternyata.... Tulisannya adalah "Saturn" lengkap dengan kanji di bawahnya dan angka2.... Saya lalu melihat ke sekelili...