Mudah, memudahkan
Suatu hari di tengah diskusi menjelang deadline tugas kelompok yang semakin dekat, saya dan dua orang kawan (yang satu orang Jepang, dan satunya orang Cina) mengobrol tentang suka duka menjadi pelajar asing. Kawan Cina saya itu datang ke Jepang tanpa beasiswa. Selama setahun dia belajar bahasa dan bekerja untuk sekolah, lalu sekarang pun setelah sekolah, master tingkat satu seperti saya, dia pun masih saja kerja part time.
Pagi mulai pukul 6 sampai siang di hari sabtu, atau dua kali di malam hari saat hari sekolah. Banyak cerita orang yang kuliah sambil kerja yang saya dengar disini, itu pun termasuk mahasiswa indonesia. Tapi mahasiswi? Satu dua saja saya mendengarnya.
Kuliah saja sudah cukup melelahkan. Dan refreshing saya di akhir pekan adalah menghadiri taman-taman syurga di dunia.
Kawan saya yang orang jepang itu pun bercerita betapa takutnya dia pergi keluar negeri untuk sekolah. Banyak hal yang tak terjelaskan. Apalagi dia sendiri mendengar dari kawannya yang sekarang sekolah di US. Entah kenapa pembicaraan jadi nyambung ke masalah bagaimana pelayanan di tempat umum di berbagai negara.
Rasanya tak adil, membandingkan masalah pelayanan berbagai negara ini karena saya hanya tinggal lama di Jepang saja, selain Indonesia. Saya hanya pernah 'mendarat' di Hongkong, Singapura, Paris, Casablanca, dan Rabat. Diantara itu semua saya merasa, Jepang ini memang paling top pelayanannya kepada konsumen. Tapi mendengar cerita dua kawan itu, yang mereka pernah ke Korea, atau di China sendiri, memang terasakan bedanya. Pun komentar-komentar dari kawan pelajar dari negara lain. Meskipun tentu saja ada pula yang kurang suka dan menganggap berlebihan.
Yang pasti saya memang merasa betapa disini itu banyak hal yang berusaha menjadikan mudah apa-apa yang memang bisa jadi mudah. Termasuk memudahkan urusan orang lain, apalagi bila itu adalah konsumen/costumer (ngng...apa bedanya yaa...)
Salah satu yang paling berat adalah bahasa, terutama kanjinya. Tapi diluar itu, banyak hal mudah untuk dilakukan.
[disambung lagi ahad, 16 Januari 2005]
Obrolan berlanjut tentang image orang jepang sebagai pekerja keras. Kawanku yang orang jepang bersikeras mengatakan bahwa image itu tak benar, karena banyak juga yang kurang sungguh-sungguh. Contohnya bisa dilihat di lab. Kalau sudah bekerja, boleh jadi benar, katanya.
Mungkin juga begitu, saya tak tahu (sungguh lemah tulisan ini ya...tanpa ada data yang valid, hanya menuliskan obrolan). Tapi tentang kesungguhan atau kerja keras itu kembali terlihat pada tayangan TV yang saya lihat sambil makan sore ini. Ini interpretasi seorang saya yang tak sepenuhnya mengerti apa yang diberitakan TV Jepang itu.
Seorang bapak dikisahkan mengusahakan pembersihan ikan dari tulang. Idenya di mulai dari china sebenarnya. Bagaimana ikan-ikan itu benar-benar dibersihkan sebelum kemudian dipasarkan, dijual untuk dimasak. Satu-persatu disortir, dalam ruangan higienis (termasuk para pekerjanya) ada scanning juga pada akhirnya untuk memastikan kebersihannya dari tulang. Itu terlihat agak biasa, dan membuat saya berpikir ko niat banget??? (saat itu saya sedang makan gulai ikan dan meletakkan tulang-tulangnya di atas selembar tisue). Tapi saat terakhir mata saya menatap para orang tua disebuah panti yang memakan ikan-ikan tersebut, saya tertegun.
Mereka berusia lebih dari 90 tahunan. Kondisi mata dan gigi yang sangat terbatas, tapi mereka membutuhkan asupan gizi dari ikan yang kandungannya dikenal tinggi. Betapa mudahnya mereka memakan ikan dengan sumpit. Memotongnya, mengunyahnya, tanpa harus takut memakan tulang ikan yang sangat kecil tapi menyakitkan.
Subhanallah...
Wajah bapak itu kelihatan bahagia memandang mereka. Mata saya pun berkaca-kaca. Bapak, sungguh mulia upayamu, untuk memudahkan urusan saudaramu.
Jadi ingat perkataan seorang rekan, ajaranNya itu luar biasa. Meski yang melaksanakan ajarannya bukan orang yang percaya padaNya, mereka akan mendapatkan hasil yang luar biasa atas perbuatannya itu. Apalagi bila disertai iman padaNya...
Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik dan hidayahNya...
--Teringat nenek, dan para bapak dan ibu tetangga yang mulai tua di kampung halaman... Semoga saja ada yang senantiasa menolong mereka...
Suatu hari di tengah diskusi menjelang deadline tugas kelompok yang semakin dekat, saya dan dua orang kawan (yang satu orang Jepang, dan satunya orang Cina) mengobrol tentang suka duka menjadi pelajar asing. Kawan Cina saya itu datang ke Jepang tanpa beasiswa. Selama setahun dia belajar bahasa dan bekerja untuk sekolah, lalu sekarang pun setelah sekolah, master tingkat satu seperti saya, dia pun masih saja kerja part time.
Pagi mulai pukul 6 sampai siang di hari sabtu, atau dua kali di malam hari saat hari sekolah. Banyak cerita orang yang kuliah sambil kerja yang saya dengar disini, itu pun termasuk mahasiswa indonesia. Tapi mahasiswi? Satu dua saja saya mendengarnya.
Kuliah saja sudah cukup melelahkan. Dan refreshing saya di akhir pekan adalah menghadiri taman-taman syurga di dunia.
Kawan saya yang orang jepang itu pun bercerita betapa takutnya dia pergi keluar negeri untuk sekolah. Banyak hal yang tak terjelaskan. Apalagi dia sendiri mendengar dari kawannya yang sekarang sekolah di US. Entah kenapa pembicaraan jadi nyambung ke masalah bagaimana pelayanan di tempat umum di berbagai negara.
Rasanya tak adil, membandingkan masalah pelayanan berbagai negara ini karena saya hanya tinggal lama di Jepang saja, selain Indonesia. Saya hanya pernah 'mendarat' di Hongkong, Singapura, Paris, Casablanca, dan Rabat. Diantara itu semua saya merasa, Jepang ini memang paling top pelayanannya kepada konsumen. Tapi mendengar cerita dua kawan itu, yang mereka pernah ke Korea, atau di China sendiri, memang terasakan bedanya. Pun komentar-komentar dari kawan pelajar dari negara lain. Meskipun tentu saja ada pula yang kurang suka dan menganggap berlebihan.
Yang pasti saya memang merasa betapa disini itu banyak hal yang berusaha menjadikan mudah apa-apa yang memang bisa jadi mudah. Termasuk memudahkan urusan orang lain, apalagi bila itu adalah konsumen/costumer (ngng...apa bedanya yaa...)
Salah satu yang paling berat adalah bahasa, terutama kanjinya. Tapi diluar itu, banyak hal mudah untuk dilakukan.
[disambung lagi ahad, 16 Januari 2005]
Obrolan berlanjut tentang image orang jepang sebagai pekerja keras. Kawanku yang orang jepang bersikeras mengatakan bahwa image itu tak benar, karena banyak juga yang kurang sungguh-sungguh. Contohnya bisa dilihat di lab. Kalau sudah bekerja, boleh jadi benar, katanya.
Mungkin juga begitu, saya tak tahu (sungguh lemah tulisan ini ya...tanpa ada data yang valid, hanya menuliskan obrolan). Tapi tentang kesungguhan atau kerja keras itu kembali terlihat pada tayangan TV yang saya lihat sambil makan sore ini. Ini interpretasi seorang saya yang tak sepenuhnya mengerti apa yang diberitakan TV Jepang itu.
Seorang bapak dikisahkan mengusahakan pembersihan ikan dari tulang. Idenya di mulai dari china sebenarnya. Bagaimana ikan-ikan itu benar-benar dibersihkan sebelum kemudian dipasarkan, dijual untuk dimasak. Satu-persatu disortir, dalam ruangan higienis (termasuk para pekerjanya) ada scanning juga pada akhirnya untuk memastikan kebersihannya dari tulang. Itu terlihat agak biasa, dan membuat saya berpikir ko niat banget??? (saat itu saya sedang makan gulai ikan dan meletakkan tulang-tulangnya di atas selembar tisue). Tapi saat terakhir mata saya menatap para orang tua disebuah panti yang memakan ikan-ikan tersebut, saya tertegun.
Mereka berusia lebih dari 90 tahunan. Kondisi mata dan gigi yang sangat terbatas, tapi mereka membutuhkan asupan gizi dari ikan yang kandungannya dikenal tinggi. Betapa mudahnya mereka memakan ikan dengan sumpit. Memotongnya, mengunyahnya, tanpa harus takut memakan tulang ikan yang sangat kecil tapi menyakitkan.
Subhanallah...
Wajah bapak itu kelihatan bahagia memandang mereka. Mata saya pun berkaca-kaca. Bapak, sungguh mulia upayamu, untuk memudahkan urusan saudaramu.
Jadi ingat perkataan seorang rekan, ajaranNya itu luar biasa. Meski yang melaksanakan ajarannya bukan orang yang percaya padaNya, mereka akan mendapatkan hasil yang luar biasa atas perbuatannya itu. Apalagi bila disertai iman padaNya...
Semoga kita senantiasa mendapatkan taufik dan hidayahNya...
--Teringat nenek, dan para bapak dan ibu tetangga yang mulai tua di kampung halaman... Semoga saja ada yang senantiasa menolong mereka...
Comments
mbak, saya barusan kirim comment di salah satu tulisan mbak, tapi lupa yang mana..
cuma mau kenalan dan ngundang ke blog-ku:www.nuyi.blogdrive.com
terus juga nanya arti waiyyakum itu apa??
oiya, salam kenal...nama saya nuri.
alaikumussalam wrwb
udah dijawab kok, di tulisan [dalam hening] dan dah dikirim pesan juga di blognya :)
salam kenal lagi (untuk ketiga kalinya :D)
Assalamualaikum,
Salam kenal ya tante...Zubia suka baca blognya:-)
salam kenal buat zubia & mommy. tante dah liat blognya, loh ^_^ liat gigi kelima juga ;)