Skip to main content

Sembilanbelas

Bocah itu muncul dalam kehidupan anak perempuan usia 7 tahun setengah. Bayi laki-laki yang tampan. Sangat manis. Dia senang sekali menggendongnya, dan melihatnya sebagai bayi tertampan sedunia.

Tahun demi tahun berlalu, bocah dan dua kakaknya sering bermain bersama. Seringkali mereka berpura-pura menjadi tiga anak yatim piatu yang hidup bersama, saling menyayangi. Tak jarang sepeda mungil itu bergoyang goyang karena mereka naiki bertiga.

Jarak tujuh tahun lebih membentangkan berbedabra realitas zaman yang dihadapi. Karakter diri pun jauh berbeda. Si sulung sangat suka mengamati, dan betah membaca selama berjam-jam atau mengotak atik angka. Si bungsu sangat lincah bergerak. Dia bisa bersepeda roda dua di usia tiga tahun, menyusul pada tahun-tahun kemudian motor dan mobil.

Ada masa-masa saat mereka berbagi tugas, misalnya saat berolah raga-otak dengan game computer. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kecepatan gerak-semisal menghindari mahluk-mahluk penjerat-menjadi jatah si bungsu, sementara si sulung mengotak atik teka teki yang harus dipecahkan.

Saat bungsu masuk SMU, dan si sulung tingkat akhir kuliah, mereka sering berboncengan. Sulung yang penakut di jalanan hanya menganalisa kemungkinan jalan yang mereka pilih dengan kecepatan, pemandangan dan kemacetan yang mungkin terjadi. Si bungsu yang bekerja menyalip aneka kendaraan di jalan raya, dengan kecepatan yang membuat orang tua menjadi tegang.

Si bungsu lebih mudah bergaul dan ringan tangan. Keterampilannya berkomputer membuatnya sering dipanggil saudara dan tetangga. Dia tak canggung dan mudah akrab. Teman kakak-kakaknya adalah temannya juga.

Sembilan belas tahun ia pada hari ini.

Ada kecemasan yang meliputi hati, tentang kedewasaan, kemantapan diri dalam mengambil jalan hidup. Merasakan betapa kekanak-kanakannya ia hingga hari ini. Pada banyak hal ia seperti berada pada dunia yang amat berbeda. Seringkali penyesalan menyesakkan dada, betapa diri lebih banyak disibukkan oleh urusan lain dari pada bersamanya, disisinya. Mengajaknya menepati jalan ini...

Ya Rahman...berikan jalan untuknya menujuMu. Bimbing ia senantiasa meniti jalan yang lurus...kami ingin bersama kembali saat pulang ke kampung halaman nanti...

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R