Skip to main content

Citacita [2]

Setahun menjelang kelulusan, *uh...tesis baru permulaan sudah mikir mau lulus* pikiran tentang ingin melakukan apa dan ingin menjadi apa, berkecamuk di dalam kepala.

Apakah tetap bertahan dengan rencana semula, atau harus kembali mengatur posisi mengingat harus banyak dikompromikan. Rasanya-rasanya banyak orang tahu persis apa yang diinginkan, tapi saya selalu merasa segalanya serba abstrak. Pengennya kemana, tapi perginya kemana.

Ketika teman-teman sebaya bercerita tentang keinginan mereka untuk bekerja di kantor besar di gedung yang tinggi, saya membayangkan pinggiran hutan, tanah pertanian yang asri, pedesaan untuk menjadi tempat tinggal dan bekerja. Tapi alih-alih memasuki kedokteran *supaya menjadi dokter di desa* malah daftar di itb, yang kebanyakan lulusannya bekerja di berbagai industri.

Sekarang pertanyaannya adalah, akan dimana saya belajar berkontribusi? Ah, saya yakin, sebenarnya, dimana saja, ladang amal bisa dicari. Pekerjaan tak akan ada habisnya bila dicari. Selalu ada celah. Tapi tuntutan sosial, harapan banyak pihak menginginkan kontribusi yang mestinya bisa sesuai. Tapi definisi sesuai itu sendiri masih merupakan tekateki. Pengaruh? Finansial? Jabatan?

Hemmm...

Kadang saya berpikir, seandainya dulu itu saya memilih untuk meneruskan bekerja di bidang yang sangat saya sukai, apakah saya akan mengulang resah seperti ini?

Rekan-rekan senasib saya memiliki pikiran yang cukup jelas untuk berkecimpung di bidang akademis setelah melanjutkan ke doktor.

Saya suka mengajar dan selalu ingin mengajar. Tapi apakah harus menjadi doktor dulu?

Ada ide?

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R