Setahun menjelang kelulusan, *uh...tesis baru permulaan sudah mikir mau lulus* pikiran tentang ingin melakukan apa dan ingin menjadi apa, berkecamuk di dalam kepala.
Apakah tetap bertahan dengan rencana semula, atau harus kembali mengatur posisi mengingat harus banyak dikompromikan. Rasanya-rasanya banyak orang tahu persis apa yang diinginkan, tapi saya selalu merasa segalanya serba abstrak. Pengennya kemana, tapi perginya kemana.
Ketika teman-teman sebaya bercerita tentang keinginan mereka untuk bekerja di kantor besar di gedung yang tinggi, saya membayangkan pinggiran hutan, tanah pertanian yang asri, pedesaan untuk menjadi tempat tinggal dan bekerja. Tapi alih-alih memasuki kedokteran *supaya menjadi dokter di desa* malah daftar di itb, yang kebanyakan lulusannya bekerja di berbagai industri.
Sekarang pertanyaannya adalah, akan dimana saya belajar berkontribusi? Ah, saya yakin, sebenarnya, dimana saja, ladang amal bisa dicari. Pekerjaan tak akan ada habisnya bila dicari. Selalu ada celah. Tapi tuntutan sosial, harapan banyak pihak menginginkan kontribusi yang mestinya bisa sesuai. Tapi definisi sesuai itu sendiri masih merupakan tekateki. Pengaruh? Finansial? Jabatan?
Hemmm...
Kadang saya berpikir, seandainya dulu itu saya memilih untuk meneruskan bekerja di bidang yang sangat saya sukai, apakah saya akan mengulang resah seperti ini?
Rekan-rekan senasib saya memiliki pikiran yang cukup jelas untuk berkecimpung di bidang akademis setelah melanjutkan ke doktor.
Saya suka mengajar dan selalu ingin mengajar. Tapi apakah harus menjadi doktor dulu?
Ada ide?
Apakah tetap bertahan dengan rencana semula, atau harus kembali mengatur posisi mengingat harus banyak dikompromikan. Rasanya-rasanya banyak orang tahu persis apa yang diinginkan, tapi saya selalu merasa segalanya serba abstrak. Pengennya kemana, tapi perginya kemana.
Ketika teman-teman sebaya bercerita tentang keinginan mereka untuk bekerja di kantor besar di gedung yang tinggi, saya membayangkan pinggiran hutan, tanah pertanian yang asri, pedesaan untuk menjadi tempat tinggal dan bekerja. Tapi alih-alih memasuki kedokteran *supaya menjadi dokter di desa* malah daftar di itb, yang kebanyakan lulusannya bekerja di berbagai industri.
Sekarang pertanyaannya adalah, akan dimana saya belajar berkontribusi? Ah, saya yakin, sebenarnya, dimana saja, ladang amal bisa dicari. Pekerjaan tak akan ada habisnya bila dicari. Selalu ada celah. Tapi tuntutan sosial, harapan banyak pihak menginginkan kontribusi yang mestinya bisa sesuai. Tapi definisi sesuai itu sendiri masih merupakan tekateki. Pengaruh? Finansial? Jabatan?
Hemmm...
Kadang saya berpikir, seandainya dulu itu saya memilih untuk meneruskan bekerja di bidang yang sangat saya sukai, apakah saya akan mengulang resah seperti ini?
Rekan-rekan senasib saya memiliki pikiran yang cukup jelas untuk berkecimpung di bidang akademis setelah melanjutkan ke doktor.
Saya suka mengajar dan selalu ingin mengajar. Tapi apakah harus menjadi doktor dulu?
Ada ide?
Comments