Skip to main content

Puzzle 22 [Lontong alumunium]

Sebagai pemakan segala, perempuan itu hampir tak pernah risau soal makanan. Kata ayahnya, semua makanan buatnya hanya punya dua rasa: enak dan enak banget. Jadinya, suami yang mengaku tak pandai memasak selalu takjub tak percaya mendengarkannya memuji masakannya.

Uniknya lelaki ternyata mempunyai level yang lebih rendah lagi tentang rasa. Dia tak pernah risau dengan rasa pada makanan. Meski perempuan itu bisa mengira-ngira, kapan suaminya makan dengan lahap berpiring-piring dengan mata berbinar, dan kapan biasa saja. Mungkin tarbiyah Allah di pesantren dan rantau selama bertahun-tahun, berada dalam kehidupan yang super sederhana, telah menyulapnya menjadi seseorang yang selalu sangat bersyukur dengan rizki makanan yang ia terima.

Tapi perubahan telah terjadi selama sepekan ini. Perempuan itu menjadi sangat sensitif, tak tahan dengan aroma bawang dan juga nasi. Kadang ia meminta ia setuju dangan menu hari itu, tapi tak sesuap pun bisa dimakannya. Hasilnya bisa diduga, tubuh menjadi lemas tak bertenaga. Kepala sering berkunang-kunang.

Pada hari-hari awal, ia beruntung, karena distributor indomi di kampung tokodai sudah kembali menawarkan dagangannya. Pagi pesan, malamnya adik kelasnya itu mengantar ke rumah, dan langsung dimasakkan oleh suaminya. Enak dan ia makan dengan lahap.

Selanjutnya, indomilah yang ada di kepalanya. Tapi tiga hari-berturut turut makan indomi? Banyak yang cemas juga. (sejak lama ia termasuk penganut paham indomi hanya boleh dimakan sekali dalam tiga hari untuk membiarkan tubuh tuntas mencernanya).

Roti mungkin bisa jadi pilihan. Sayang, lelaki ini belum bisa pergi berbelanja makanan jadi sendiri karena masih buta kanji. Saat jumatan saja, ia bisa pulang membawa roti hasil petunjuk kawan muslim lain.

Kali lain, eksperimen membuat cake sendiri dengan petunjuk perempuan itu. Enak, alhamdulillah...

Sebenenarnya, ternyata, kadang ia bisa juga makan nasi, saat menjamu tamu. Meski tak lebih dari lima suap saja. Seorang tamu yang datang pun sempat memasakknya tomyam yang aromanya sangat segar berbekal daun jeruk dari tetangga belakang rumah.

Hari ini, akhirnya terpikir olehnya untuk meminta lelaki itu membuat lontong. Lelaki itu mencari resep lontong di mbah gogel (mengikuti jejak istrinya kala bingung mengolah bahan). Daun digantinya dengan alumunium foil. Dan sekian jam kemudian, saat perempuan itu menahan mual dan sakit, jadilah lontong pertama seumur hidupnya. Perempuan itu terharu saat memotongnya. Mirip ketupat...

Lalu, apa lauknya?

Perempuan itu tak ada ide. Sungguh tak ingin makan apa-apa rasanya. Tapi perutnya berteriak minta diisi. Dan bunuh diri namanya kalau ia tak makan. Lamaaaaaa....lepas ashar baru ada ide. Buat sate yang ditusuk dengan tusuk gigi. Untung masih ada ayam di kulkas. Ayam terakhir mereka...

Sungguh kasihan lelaki itu hari ini. Di tengah shaum seninnya, berkutat sendiri di dapur. istrinya hanya mampu mengupas bawang, dan langsung terbirit karena tak tahan. Jelang maghrib, longtong, sate ayam, dan sambal kacang siap di hadapan mata. Sayang, saat ia berbuka, mereka tak bisa makan bersama. Ia memilih untuk menghabiskan nasi, istrinya tak tahan melihat nasi yang ia makan. Mereka tak bisa duduk manis-makan sepiring berdua-seperti biasa. Tapi mereka cukup senang karena satu longtong besar dan 8 tusuk sate berhasil dimakan perempuan itu.

Ya Rahman, tolong terima amal shalihnya dan tolong sayangi ia,
seperti ia telah menyayangiku dan calon bayi ini...

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R