Skip to main content

Sharing buku [2:periksa dulu]

Di tengah-tengah kabar dari tanah air tentang aneka peristiwa yang dialami banyak anak. Bukan hanya kurang gizi, saat orang tua tak mampu memberikan makanan yang cukup, tapi juga penyiksaan, penganiayaan, bahkan pelecehan seksual. Hiks...pelampiasan himpitan kemiskinan? Pelampiasan iman yang semakin bocor sana sini (lebih parah dari menipis...)

Ya Rahman...pemilik segala kekuatan, penolong yang tiada duanya,
bantu kami...berikan kami keikhlasan dan kekuatan untuk menyayangi dan mendidik anak-anak yang Engkau amanahkan kepada kami...
sesungguhnya Engkaulah sebaik-baiknya penolong


***
Masih cerita dari buku
. Di bab yang sama, setelah kita mencoba memaknai tujuan dan hakikat tarbiyah anak, maka sepatutnya kita mengawali langkah eksekusi kita, dengan menelisik lebih teliti. Pada apa?

Pada diri kita sendiri (orang tua/pendidik)

Saya jadi teringat bahwa seseorang tak kan bisa memberi bila dia tak bisa menerima. Maka untuk bisa memberi, menyuplai anak-anak, mencoba mengarahkan mereka, maka kita sendiri harus memiliki kemampuan untuk itu. Seumpama ingin membuat garis tentu kita memerlukan benda yang memiliki sifat seperti penggaris. Disini, kita perlu memiliki sifat penggaris.

Lalu bagaimana kalau kita tak seperti penggaris-padahal kita ingin sekali membuat garis???

Disinilah diperlukan sebuah proses yang disebut penulis buku ini proses SEARCHING (Search, Evaluate, Acknowledge, Reinforce, Change, and Hang on).

Bagaimana kita menelusuri kepribadian/prilaku kita. Melihat ke masa kecil dan remaja, bagaimana prilaku yang kita tangkap/terima dari orang tua kita. Mencari sumber gaya menjadi orang tua yang tersembunyi. Di buku tersedia contoh kuisioner sederhana untuk ini.

Setelah itu kita evaluasi, mana diantara aksi-prilaku kita yang positif, suportif dan berdasarkan pada nilai-nilai Islam dan pendidikan. Evaluasi juga sifat mana yang justru negatif. (kuesioner tentang ini juga ada di buku).

Mengakui
kekuatan dan kelemahan, setelah melihat hasil evaluasi, adalah langkah pertama dalam memperbaiki sikap. Lalu tanamkan keyakinan kepada Allah dan komitmen untuk membuat perubahan yang positive.

Aneka karakter yang positif harus dijaga, diperkuat dan dipraktekan pada anak-anak, sementara karakter negatif harus diubah menjadi lebih positif. Tentunya ini bukan pekerjaan mudah dan butuh waktu. Tapi teruslah berusaha, jangan mudah menyerah.

Motivasi diri dengan banyak ayat dan hadits tentang keutamaan menjadi orang tua dengan anak shalih, anak shalih yang menjadi amal jariyah, keutamaan mendidik anak/mendidik anak perempuan, dll. (Misalnya QS Yasin:12)

Selain cara diatas, orang tua juga dapat mengkaji faktor-faktor apa yang menyebabkan prilaku negatif pada dirinya. Secara umum, beberapa faktor penyebab yang mungkin adalah:
- kurang pengalaman (sering terjadi untuk anak pertama)
- memakai metode warisan (padahal belum tentu sesuai untuk kondisi anaknya)
- mencontoh buta dari orang tua lain
- keinginan masa kecil yang belum terpenuhi
- tekanan sehari-hari (dari lingkungan) dan kurangnya kemampuan

*insya Allah, bersambung*
buat kaka, sabar ya, dikit2 nih ^_^

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar