Skip to main content

Puzzle 27 (Umm...)

"Sepatu ade kelihatan tua sekali..." Lelaki itu berkata tiba-tiba, dalam kereta, pada keremangan shubuh sepulang kami itikaf di salah satu masjid di Tokyo.

Perempuan itu sedikit terkejut, sambil memandang sepatu coklatnya yang sudah berusia sama dengan lamanya ia tinggal di Jepang, dua tahun lebih. Sepatu itu memang terlihat lusuh. Mungkin karena terlalu sering dipakai, atau ia memang kurang telaten merawatnya.

"Kaka belikan mau yaa..."

Perempuan itu lupa, bagaimana ia menjawab pertanyaan itu. Tapi pikirannya jadi melayang ke kejadian malam sebelumnya, saat mereka justru sedang menuju masjid.

"Tadi di bazaar ade beli jilbab. Terus ada yang ngasih hadiah juga, ngebeliin ade jilbab. Jadi dapet dua deeh...seneng..." Ujar perempuan itu.

"Dia kasihan kali abisnya jilbab ade dah lusuh." Lelaki itu memegang kepala istrinya.

Perempuan itu bengong? Lusuh? Jilbab ini lusuh? Apa iyaa???

***

Perhatian tiba-tiba di dua hari berturut-turut masih saja memenuhi benak perempuan itu. Jujur saja, ia sendiri memiliki perasaan yang sama. Ia memang bukan tipe perempuan yang senang membeli baju atau pernak pernik penampilan lainnya, meski senang juga kalau bisa tampil manis dan rapi. Selama ini, mamanyalah yang lebih banyak 'mendandani' memilihkan kain, menjahitkan ke tukang jahit, dll. Dia juga yang seringkali ribut ingin membelikan tas atau sepatu.

Tapi lelaki itu, dia datang dengan membawa hanya beberapa potong celana dan baju yang sama sekali tak bisa dibilang baru. Walau ia pun belajar menyukai kesederhanaan, menerima kondisi suaminya, tapi rasanya tak tega dan prihatin. Apalagi saat lelaki itu mulai bekerja paruh waktu. Saat ada rejeki mengajaknya pergi ke toko untuk membeli sekedar beberapa potong baju yang harganya masih terjangkau.

***

Ia berpikir-pikir, kenapa mereka bisa saling seperti itu? Seberapa pentingkah kondisi penampilan pasangan bagi diri mereka masing-masing? Kenapa itu penting?

Seperti ia yang tak terlalu peduli, kadang membiarkan dirinya memakai baju kusut, tapi ia pasti memaksa menyetrika dulu baju suaminya. Rasa bersalah melihat lelaki itu semakin kurus setelah menikah, dll.

Apakah karena citra suaminya itu akan mempengaruhi citranya sebagai seorang istri? Umm...rasanya naif sekali...

Apakah itu tanda cinta dan perhatian yang justru berpusat pada keinginan untuk melihat pasangan semakin baik, dipandang baik, dsb?

Kalau yang pertama, maka upaya perbaikan itu hanya akan ada pada taraf yang zahir, yang terlihat oleh manusia-manusia lain. Yang akan mengomentari dengan pujian atau celaan.

Kalau memang yang kedua, maka mestinya perhatian itu juga ditujukan juga untuk yang kebaikan yang sifatnya tersembunyi, yang dinilai oleh Allah SWT.

Mata perempuan itu berkaca...ya, mestinya perhatian itu lebih dari itu. Seumpama kecerewetan untuk beribadah, lebih lembut hati, lebih peduli, lebih aktif, dll. Supaya bisa saling menjaga, dari panasnya api neraka...

...dan jagalah diri dan keluargamu dari api neraka...

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar