"Sepatu ade kelihatan tua sekali..." Lelaki itu berkata tiba-tiba, dalam kereta, pada keremangan shubuh sepulang kami itikaf di salah satu masjid di Tokyo.
Perempuan itu sedikit terkejut, sambil memandang sepatu coklatnya yang sudah berusia sama dengan lamanya ia tinggal di Jepang, dua tahun lebih. Sepatu itu memang terlihat lusuh. Mungkin karena terlalu sering dipakai, atau ia memang kurang telaten merawatnya.
"Kaka belikan mau yaa..."
Perempuan itu lupa, bagaimana ia menjawab pertanyaan itu. Tapi pikirannya jadi melayang ke kejadian malam sebelumnya, saat mereka justru sedang menuju masjid.
"Tadi di bazaar ade beli jilbab. Terus ada yang ngasih hadiah juga, ngebeliin ade jilbab. Jadi dapet dua deeh...seneng..." Ujar perempuan itu.
"Dia kasihan kali abisnya jilbab ade dah lusuh." Lelaki itu memegang kepala istrinya.
Perempuan itu bengong? Lusuh? Jilbab ini lusuh? Apa iyaa???
***
Perhatian tiba-tiba di dua hari berturut-turut masih saja memenuhi benak perempuan itu. Jujur saja, ia sendiri memiliki perasaan yang sama. Ia memang bukan tipe perempuan yang senang membeli baju atau pernak pernik penampilan lainnya, meski senang juga kalau bisa tampil manis dan rapi. Selama ini, mamanyalah yang lebih banyak 'mendandani' memilihkan kain, menjahitkan ke tukang jahit, dll. Dia juga yang seringkali ribut ingin membelikan tas atau sepatu.
Tapi lelaki itu, dia datang dengan membawa hanya beberapa potong celana dan baju yang sama sekali tak bisa dibilang baru. Walau ia pun belajar menyukai kesederhanaan, menerima kondisi suaminya, tapi rasanya tak tega dan prihatin. Apalagi saat lelaki itu mulai bekerja paruh waktu. Saat ada rejeki mengajaknya pergi ke toko untuk membeli sekedar beberapa potong baju yang harganya masih terjangkau.
***
Ia berpikir-pikir, kenapa mereka bisa saling seperti itu? Seberapa pentingkah kondisi penampilan pasangan bagi diri mereka masing-masing? Kenapa itu penting?
Seperti ia yang tak terlalu peduli, kadang membiarkan dirinya memakai baju kusut, tapi ia pasti memaksa menyetrika dulu baju suaminya. Rasa bersalah melihat lelaki itu semakin kurus setelah menikah, dll.
Apakah karena citra suaminya itu akan mempengaruhi citranya sebagai seorang istri? Umm...rasanya naif sekali...
Apakah itu tanda cinta dan perhatian yang justru berpusat pada keinginan untuk melihat pasangan semakin baik, dipandang baik, dsb?
Kalau yang pertama, maka upaya perbaikan itu hanya akan ada pada taraf yang zahir, yang terlihat oleh manusia-manusia lain. Yang akan mengomentari dengan pujian atau celaan.
Kalau memang yang kedua, maka mestinya perhatian itu juga ditujukan juga untuk yang kebaikan yang sifatnya tersembunyi, yang dinilai oleh Allah SWT.
Mata perempuan itu berkaca...ya, mestinya perhatian itu lebih dari itu. Seumpama kecerewetan untuk beribadah, lebih lembut hati, lebih peduli, lebih aktif, dll. Supaya bisa saling menjaga, dari panasnya api neraka...
...dan jagalah diri dan keluargamu dari api neraka...
Perempuan itu sedikit terkejut, sambil memandang sepatu coklatnya yang sudah berusia sama dengan lamanya ia tinggal di Jepang, dua tahun lebih. Sepatu itu memang terlihat lusuh. Mungkin karena terlalu sering dipakai, atau ia memang kurang telaten merawatnya.
"Kaka belikan mau yaa..."
Perempuan itu lupa, bagaimana ia menjawab pertanyaan itu. Tapi pikirannya jadi melayang ke kejadian malam sebelumnya, saat mereka justru sedang menuju masjid.
"Tadi di bazaar ade beli jilbab. Terus ada yang ngasih hadiah juga, ngebeliin ade jilbab. Jadi dapet dua deeh...seneng..." Ujar perempuan itu.
"Dia kasihan kali abisnya jilbab ade dah lusuh." Lelaki itu memegang kepala istrinya.
Perempuan itu bengong? Lusuh? Jilbab ini lusuh? Apa iyaa???
***
Perhatian tiba-tiba di dua hari berturut-turut masih saja memenuhi benak perempuan itu. Jujur saja, ia sendiri memiliki perasaan yang sama. Ia memang bukan tipe perempuan yang senang membeli baju atau pernak pernik penampilan lainnya, meski senang juga kalau bisa tampil manis dan rapi. Selama ini, mamanyalah yang lebih banyak 'mendandani' memilihkan kain, menjahitkan ke tukang jahit, dll. Dia juga yang seringkali ribut ingin membelikan tas atau sepatu.
Tapi lelaki itu, dia datang dengan membawa hanya beberapa potong celana dan baju yang sama sekali tak bisa dibilang baru. Walau ia pun belajar menyukai kesederhanaan, menerima kondisi suaminya, tapi rasanya tak tega dan prihatin. Apalagi saat lelaki itu mulai bekerja paruh waktu. Saat ada rejeki mengajaknya pergi ke toko untuk membeli sekedar beberapa potong baju yang harganya masih terjangkau.
***
Ia berpikir-pikir, kenapa mereka bisa saling seperti itu? Seberapa pentingkah kondisi penampilan pasangan bagi diri mereka masing-masing? Kenapa itu penting?
Seperti ia yang tak terlalu peduli, kadang membiarkan dirinya memakai baju kusut, tapi ia pasti memaksa menyetrika dulu baju suaminya. Rasa bersalah melihat lelaki itu semakin kurus setelah menikah, dll.
Apakah karena citra suaminya itu akan mempengaruhi citranya sebagai seorang istri? Umm...rasanya naif sekali...
Apakah itu tanda cinta dan perhatian yang justru berpusat pada keinginan untuk melihat pasangan semakin baik, dipandang baik, dsb?
Kalau yang pertama, maka upaya perbaikan itu hanya akan ada pada taraf yang zahir, yang terlihat oleh manusia-manusia lain. Yang akan mengomentari dengan pujian atau celaan.
Kalau memang yang kedua, maka mestinya perhatian itu juga ditujukan juga untuk yang kebaikan yang sifatnya tersembunyi, yang dinilai oleh Allah SWT.
Mata perempuan itu berkaca...ya, mestinya perhatian itu lebih dari itu. Seumpama kecerewetan untuk beribadah, lebih lembut hati, lebih peduli, lebih aktif, dll. Supaya bisa saling menjaga, dari panasnya api neraka...
...dan jagalah diri dan keluargamu dari api neraka...
Comments