Skip to main content

Terapi

Saya tidak tahu kuat atau tidaknya hubungan antara menulis dengan kesehatan jiwa. Tapi rasanya lain sekali saat membiarkan blog ini kosong selama bilangan hari, bahkan pekan, dibandingkan saat rutin menulis setiap hari.

Memangnya kalau tidak menulis di blog artinya sama sekali tak menulis?


Uhm...kurang lebih begitu, sepertinya.

Saat dulu itu, di sepanjang jalan dari sekolah, di kereta, saya suka merenungkan apa saja. Menemukan inspirasi dari banyak kejadian hari itu. Kemudian menjelang tidur menuangkannya di sini.

Setidaknya ada tiga hal yang menguntungkan dari rutin menulis disini. Pertama, membuat kita menemukan sesuatu, serupa cahaya: pencerahan. Kedua membantu menstrukturkan pikiran. Melihat apa yang ada di kepala dari luar. Ketiga, saat membuka arsip, rasanya menyenangkan. Mengulang rasa yang pernah ada, karena terkadang tak semua yang pernah melintas di kepala, akan tetap bersarang pada ingatan, apalagi menghujam di hati.

Membaca kembali tulisan-tulisan lama, bisa menghangatkan hati.

Lalu, kenapa kebiasaan baik seperti itu bisa terhenti?


Mungkin karena ada sesuatu di jiwa ini, sehingga tak mampu menemukan yang dapat ditulis. Atau karena lama tak menulis, ada sesuatu yang kurang di hati dan itu membuat makin tak menulis.

Baiklah, azamkan lagi, mulailah menulis kembali.
Owh, tepatnya, azamkan lagi, mengasah hati, agar bisa menangkap cahaya di sekitar...

---ramadhan tinggal sepertiga...harus semakin bergegas...

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Berhenti Sejenak

Pagi itu kami berempat (saya dan A3-A5) menuju stasiun. Baby Anas (A5) setia duduk di strolernya. Dinginnya menggigil tapi matahari menyapa dengan hangat. Tujuan kami adalah Kabe, rumah mba Nita tuk bersilaturahim dengan sahabat Azzahra. Di tengah jalan, di area favorit anak-anak untuk berhenti, Azmi (A3) tiba-tiba bertanya, "Bunda, itu tulisannya apa?" Ia menunjuk setengah bola yang biasanya mereka duduk bermain di atasnya.  Setiap melewati area ini memang mereka hampir selalu berhenti untuk bermain. Tapi pagi ini (seperti biasa) kami sedang mengejar waktu. Jadi saya menjawab sekenanya, "Engga tahu. Ayo kereta menunggu!" "Karena jauh ga keliatan? Ayo kesana!" Ah...  "Seperti ini tulisannya. Apa bacanya bunda? Tapi ini kanji bunda ga ngerti ya?" Akhirnya saya (seperti biasa, harus) mengalah. Berjongkok mengamati tulisan. Ternyata.... Tulisannya adalah "Saturn" lengkap dengan kanji di bawahnya dan angka2.... Saya lalu melihat ke sekelili...

Puzzle 46 (Terkurung di rumah)

Puzzle 46 (Terkurung di rumah) Puzzle terakhir ditulis 28 Desember 2009. Seperti apa kepingan yang ada 10 tahun kemudian? Dengan covid-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia. perempuan itu bekerja dari rumah. Sewaktu-waktu lelaki itu juga di rumah. Serasa liburan tapi banyak kerjaan. Mereka berbagi tugas. Siapa yang belanja siapa yang masak. Siapa yang beres-beres siapa yang menemani anak belajar. Ada banyak istri stress karena suaminya di rumah. Repot katanya. Tapi perempuan itu bahagia. Ada hari-hari dimana ia bisa puas memandang suaminya sepanjang hari. Alhamdulillah. Pekerjaan lebih ringan, hati juga lebih lapang. Ada banyak target yang bisa dikejar, alhamdulillah