Oase iman di Eramuslim, seringkali menghangatkan hati saya. Dan khusus untuk yang hari ini, saya ingin mengenangnya disini. Rasanya sangat pas dengan suasana hati.
Doa dan Bungkusan yang Ruwet
Oleh Bahtiar HS
Malam Jum’at di Masjid Rungkut Jaya. Suatu kali.
Beberapa ayat telah dikupas dari berbagai tafsir: Jalalain, Al-Mishbah, Al-Azhar, Adz-Dzikra, Fii Dzilalil Qur’an, dan beberapa tafsir berbahasa Jawa dan Inggris.
“Saya pernah berdoa yang tak biasa, Pak,” kata Bu Kus membuka sesi pertanyaan.
“Apa itu, Bu Kus?” tanya Pak Suherman Rosyidi, Sang Ustadz.
“Suatu kali saya berdoa: Ya Allah, jadikan saya isteri yang selalu terlihat cantik di mata suami.”
“Doa yang bagus, dong,” sergah Pak Ustadz, “lalu apa yang terjadi?”
“Ya, memang bagus, Pak Herman. Tetapi, esok harinya wajah saya mulai ditumbuhi jerawat yang saya tidak tahu darimana datangnya. Banyak. Beberapa hari kemudian malah memenuhi seluruh wajah. Saya jadi kebingungan. Akhirnya mau tidak mau saya harus menjalani perawatan kecantikan wajah ke sebuah salon kecantikan, suatu hal yang tidak pernah saya lakukan. Saya harus datang ke tempat itu untuk membersihkan jerawat di muka saya. Berkali-kali. Berhari-hari. Hasilnya tentu saja mengejutkan saya. Wajah saya menjadi lebih bersih dari semula. Lebih cantik.”
“Berarti doa ibu dikabulkan sama Allah. Ya nggak?”
“Ya, sih Pak. Tetapi itu belum seberapa, Pak.”
“Maksudnya gimana?”
“Saya juga pernah berdoa yang tak biasa, Pak. Doa yang lain.”
“Apa itu?”
“Saya berdoa agar Allah menjadikan saya isteri yang setia pada suami.”
“Doa yang bagus juga. Lalu apa yang terjadi, Bu?”
“Esok harinya, suami saya jatuh sakit. Tak bisa bangun. Ia harus dirawat di rumah sakit. Berhari-hari. Saya mau tak mau harus menungguinya selama terbaring itu. Saya bahkan sampai merasa itu semua seperti ujian bagi saya. Ujian terhadap kesetiaan saya, apakah saya tetap setia pada suami apa tidak. Saya seketika teringat akan doa yang pernah saya panjatkan sebelumnya.”
“Berarti doa ibu dikabulkan sama Allah. Ya nggak?”
“Ya, sih, Pak.”
“Lalu sekarang, pertanyaannya Ibu apa?”
“Bukan pertanyaan, Pak.”
“Lalu apa?”
“Sekarang ini, saya justru merasa takut untuk berdoa. Gimana ini?”
***
Sasa sudah bertekat bulat untuk tidak melanjutkan mondok di tempat ini. Anak sulung Pak Khoirul, teman sekantorku itu, seperti sudah patah arang. Beberapa lama dicoba hingga satu semester berlalu, tetapi rasanya tak juga kerasan tinggal di pondok semodern ini lebih lama lagi. Mana jarak Ngawi dan Surabaya buatnya begitu jauh. Apalagi terpisah dengan orang tua.
Sudah banyak upaya yang dilakukan Pak Khoirul dan isterinya agar Sasa bertahan dan bersabar untuk tetap melanjutkan pendidikan di pondok itu. Semua jalan dan cara sepertinya sudah ditempuh. Mengunjungi Sasa setiap pekan atau liburan. Menyediakan untuknya segala yang diperlukan. Memberikan kesempatan padanya untuk menelepon ke rumah, interlokal, kapan saja ia perlu. Meminta bantuan ustadzah-ustadzah di sana untuk memberikan arahan dan support pada Sasa. Termasuk pendekatan pada teman-teman Sasa seasrama. Namun semua itu rasanya tak bisa menyurutkan niat Sasa untuk pergi.
Tak henti Pak Khoirul berdoa bagi Sasa, agar anak sulungnya itu tetap mondok di sana, menimba dan memperdalam ilmu agama. Hingga pada suatu saat, beliau merasa mentok, dan akhirnya hanya bisa pasrah. “Ya Allah, saya tidak punya lagi cara dan upaya agar Sasa tetap mondok di tempat ini. Semuanya saya serahkan dan pasrahkan pada-Mu. Jika keberadaannya di pondok pesantren ini baik baginya, berilah kesempatan padanya untuk tetap berada di sini. Jika memang sebaliknya, kami pasrah jika seandainya ia pulang dan tidak kembali ke tempat ini.”
Tak lama kemudian, Sasa justru jatuh sakit di pondok ketika masa liburan baru saja tiba. Ia bahkan harus menjalani rawat inap di klinik pondok tempatnya belajar. Bapak dan ibunya akhirnya datang dari Surabaya dan pontang-panting mengurusi dirinya, menungguinya terbaring di klinik. Berhari-hari.
Namun di sinilah rupanya titik balik itu bermula.
Di klinik tersebut ada beberapa kakak kelas Sasa yang juga terbaring sakit. Rawat inap seperti Sasa. Dan karena terbaring di tempat yang sama, terjalinlah komunikasi di antara mereka. Saling mengenal. Saling menyapa. Saling bercerita, mengungkapkan pengalaman masing-masing selama di pondok. Dan tidak seperti teman-teman sebayanya di asrama, kakak kelas senasib di klinik ini mampu menulari Sasa semangat, nasihat, dan dorongan yang selama ini tak didapatkannya dari teman-temannya. Sasa serasa mendapatkan “kakak”. Sasa menjadi merasa tidak sendirian di tempat ini.
Tentu saja Pak dan Bu Khoirul gembira. Bahkan saking gembiranya, secara diam-diam, Bu Khoirul menitipkan uang kepada kakak kelas yang sama-sama terbaring di klinik itu untuk dipakai membelikan sesuatu buat Sasa, mengajaknya makan, atau kegiatan-kegiatan lain, semata agar Sasa merasa mendapatkan teman yang cocok di lingkungan ini.
Ketika sudah sembuh dari sakitnya, maka Pak dan Bu Khoirul kembali merasa deg-degan, kalau-kalau Sasa tetap ingin pergi dan tak kembali. Namun, ditunggu beberapa lama, tak juga ada ajakan yang dikhawatirkan itu. Sasa tak pernah lagi mengutarakan rencananya untuk pulang dan tak kembali ke pondok. Setidaknya hingga detik ini.
Bahkan ia mengaku mulai kerasan di pondok itu.
***
“Apakah Tuhan memberikan apa yang engkau harap dengan mengantarkannya dalam bungkusan yang indah?”
Neno Warisman pernah bertanya demikian pada sebuah acara di televisi, mengutip pernyataan seorang pakar yang aku lupa namanya.
“Tidak!” lanjut Neno. “Tuhan tidak mengantarkan apa yang engkau minta dalam sebuah bungkusan yang menarik lagi indah. Bahkan Ia mengantarkannya dalam bungkusan yang jelek, ruwet, carut-marut, dan kelihatannya sukar untuk dibuka. Pertanyaannya adalah: mengapa?”
“Itu tidak lain karena Ia ingin melihat bagaimana engkau membuka bungkusan itu dengan penuh kesabaran, telaten, bersusah-payah lapis demi lapis, sedikit demi sedikit, terus, terus, dan terus. Tak pernah berhenti apalagi berpaling. Hingga pada akhirnya bungkus terakhir terbuka dan engkau mendapatkan sesuatu yang engkau harapkan ada di dalamnya.”
Bukankah Allah pasti akan mengabulkan apa yang hamba-Nya pinta? Kuncinya kalau begitu adalah: jangan pernah berhenti memuja. Jangan pernah berhenti berharap.
Allah tidak tidur.
Allah mahamengetahui.
Allah mahamendengar.
Dia maharahman dan rahim.
Sungguh tak ada yang sepatutnya kita lakukan kecuali selalu berprasangka baik pada setiap pemberian-Nya. Entah nikmat, entah musibah. Karena musibah pun mungkin hanyalah bungkus belaka; yang selayaknya kita yakini bahwa itu semua hanya karena Ia ingin melihat kita membukanya dengan sepenuh cinta.
***
Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com
Doa dan Bungkusan yang Ruwet
Oleh Bahtiar HS
Malam Jum’at di Masjid Rungkut Jaya. Suatu kali.
Beberapa ayat telah dikupas dari berbagai tafsir: Jalalain, Al-Mishbah, Al-Azhar, Adz-Dzikra, Fii Dzilalil Qur’an, dan beberapa tafsir berbahasa Jawa dan Inggris.
“Saya pernah berdoa yang tak biasa, Pak,” kata Bu Kus membuka sesi pertanyaan.
“Apa itu, Bu Kus?” tanya Pak Suherman Rosyidi, Sang Ustadz.
“Suatu kali saya berdoa: Ya Allah, jadikan saya isteri yang selalu terlihat cantik di mata suami.”
“Doa yang bagus, dong,” sergah Pak Ustadz, “lalu apa yang terjadi?”
“Ya, memang bagus, Pak Herman. Tetapi, esok harinya wajah saya mulai ditumbuhi jerawat yang saya tidak tahu darimana datangnya. Banyak. Beberapa hari kemudian malah memenuhi seluruh wajah. Saya jadi kebingungan. Akhirnya mau tidak mau saya harus menjalani perawatan kecantikan wajah ke sebuah salon kecantikan, suatu hal yang tidak pernah saya lakukan. Saya harus datang ke tempat itu untuk membersihkan jerawat di muka saya. Berkali-kali. Berhari-hari. Hasilnya tentu saja mengejutkan saya. Wajah saya menjadi lebih bersih dari semula. Lebih cantik.”
“Berarti doa ibu dikabulkan sama Allah. Ya nggak?”
“Ya, sih Pak. Tetapi itu belum seberapa, Pak.”
“Maksudnya gimana?”
“Saya juga pernah berdoa yang tak biasa, Pak. Doa yang lain.”
“Apa itu?”
“Saya berdoa agar Allah menjadikan saya isteri yang setia pada suami.”
“Doa yang bagus juga. Lalu apa yang terjadi, Bu?”
“Esok harinya, suami saya jatuh sakit. Tak bisa bangun. Ia harus dirawat di rumah sakit. Berhari-hari. Saya mau tak mau harus menungguinya selama terbaring itu. Saya bahkan sampai merasa itu semua seperti ujian bagi saya. Ujian terhadap kesetiaan saya, apakah saya tetap setia pada suami apa tidak. Saya seketika teringat akan doa yang pernah saya panjatkan sebelumnya.”
“Berarti doa ibu dikabulkan sama Allah. Ya nggak?”
“Ya, sih, Pak.”
“Lalu sekarang, pertanyaannya Ibu apa?”
“Bukan pertanyaan, Pak.”
“Lalu apa?”
“Sekarang ini, saya justru merasa takut untuk berdoa. Gimana ini?”
***
Sasa sudah bertekat bulat untuk tidak melanjutkan mondok di tempat ini. Anak sulung Pak Khoirul, teman sekantorku itu, seperti sudah patah arang. Beberapa lama dicoba hingga satu semester berlalu, tetapi rasanya tak juga kerasan tinggal di pondok semodern ini lebih lama lagi. Mana jarak Ngawi dan Surabaya buatnya begitu jauh. Apalagi terpisah dengan orang tua.
Sudah banyak upaya yang dilakukan Pak Khoirul dan isterinya agar Sasa bertahan dan bersabar untuk tetap melanjutkan pendidikan di pondok itu. Semua jalan dan cara sepertinya sudah ditempuh. Mengunjungi Sasa setiap pekan atau liburan. Menyediakan untuknya segala yang diperlukan. Memberikan kesempatan padanya untuk menelepon ke rumah, interlokal, kapan saja ia perlu. Meminta bantuan ustadzah-ustadzah di sana untuk memberikan arahan dan support pada Sasa. Termasuk pendekatan pada teman-teman Sasa seasrama. Namun semua itu rasanya tak bisa menyurutkan niat Sasa untuk pergi.
Tak henti Pak Khoirul berdoa bagi Sasa, agar anak sulungnya itu tetap mondok di sana, menimba dan memperdalam ilmu agama. Hingga pada suatu saat, beliau merasa mentok, dan akhirnya hanya bisa pasrah. “Ya Allah, saya tidak punya lagi cara dan upaya agar Sasa tetap mondok di tempat ini. Semuanya saya serahkan dan pasrahkan pada-Mu. Jika keberadaannya di pondok pesantren ini baik baginya, berilah kesempatan padanya untuk tetap berada di sini. Jika memang sebaliknya, kami pasrah jika seandainya ia pulang dan tidak kembali ke tempat ini.”
Tak lama kemudian, Sasa justru jatuh sakit di pondok ketika masa liburan baru saja tiba. Ia bahkan harus menjalani rawat inap di klinik pondok tempatnya belajar. Bapak dan ibunya akhirnya datang dari Surabaya dan pontang-panting mengurusi dirinya, menungguinya terbaring di klinik. Berhari-hari.
Namun di sinilah rupanya titik balik itu bermula.
Di klinik tersebut ada beberapa kakak kelas Sasa yang juga terbaring sakit. Rawat inap seperti Sasa. Dan karena terbaring di tempat yang sama, terjalinlah komunikasi di antara mereka. Saling mengenal. Saling menyapa. Saling bercerita, mengungkapkan pengalaman masing-masing selama di pondok. Dan tidak seperti teman-teman sebayanya di asrama, kakak kelas senasib di klinik ini mampu menulari Sasa semangat, nasihat, dan dorongan yang selama ini tak didapatkannya dari teman-temannya. Sasa serasa mendapatkan “kakak”. Sasa menjadi merasa tidak sendirian di tempat ini.
Tentu saja Pak dan Bu Khoirul gembira. Bahkan saking gembiranya, secara diam-diam, Bu Khoirul menitipkan uang kepada kakak kelas yang sama-sama terbaring di klinik itu untuk dipakai membelikan sesuatu buat Sasa, mengajaknya makan, atau kegiatan-kegiatan lain, semata agar Sasa merasa mendapatkan teman yang cocok di lingkungan ini.
Ketika sudah sembuh dari sakitnya, maka Pak dan Bu Khoirul kembali merasa deg-degan, kalau-kalau Sasa tetap ingin pergi dan tak kembali. Namun, ditunggu beberapa lama, tak juga ada ajakan yang dikhawatirkan itu. Sasa tak pernah lagi mengutarakan rencananya untuk pulang dan tak kembali ke pondok. Setidaknya hingga detik ini.
Bahkan ia mengaku mulai kerasan di pondok itu.
***
“Apakah Tuhan memberikan apa yang engkau harap dengan mengantarkannya dalam bungkusan yang indah?”
Neno Warisman pernah bertanya demikian pada sebuah acara di televisi, mengutip pernyataan seorang pakar yang aku lupa namanya.
“Tidak!” lanjut Neno. “Tuhan tidak mengantarkan apa yang engkau minta dalam sebuah bungkusan yang menarik lagi indah. Bahkan Ia mengantarkannya dalam bungkusan yang jelek, ruwet, carut-marut, dan kelihatannya sukar untuk dibuka. Pertanyaannya adalah: mengapa?”
“Itu tidak lain karena Ia ingin melihat bagaimana engkau membuka bungkusan itu dengan penuh kesabaran, telaten, bersusah-payah lapis demi lapis, sedikit demi sedikit, terus, terus, dan terus. Tak pernah berhenti apalagi berpaling. Hingga pada akhirnya bungkus terakhir terbuka dan engkau mendapatkan sesuatu yang engkau harapkan ada di dalamnya.”
Bukankah Allah pasti akan mengabulkan apa yang hamba-Nya pinta? Kuncinya kalau begitu adalah: jangan pernah berhenti memuja. Jangan pernah berhenti berharap.
Allah tidak tidur.
Allah mahamengetahui.
Allah mahamendengar.
Dia maharahman dan rahim.
Sungguh tak ada yang sepatutnya kita lakukan kecuali selalu berprasangka baik pada setiap pemberian-Nya. Entah nikmat, entah musibah. Karena musibah pun mungkin hanyalah bungkus belaka; yang selayaknya kita yakini bahwa itu semua hanya karena Ia ingin melihat kita membukanya dengan sepenuh cinta.
***
Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com
Comments