Skip to main content

Sekolah dini (2)

Catatan seputar hari-hari pertama sekolah bubu

24 Mei
Berbekal peta, bunda dan bubu pergi. Jalannya mendaki lalu menurun Uhm... kenapa ada bukit di antara kita (rumah-hoikuen, red)?

Bunda kebingungan di batas turunan, salah membaca peta rupanya. Naik kembali, sambil mendorong kereta bubu. Aha, sepertinya bangunan itu. Warna warni. Bisik hati bunda melihat bangunan sekian lantai. Tapiiii... dimana pintu masuknya ya? Masa meski gerbangnya bagus, jalannya kayak tangga di kampung. Seperti jalan tikus.

Ya masuk saja dulu. Bunda mengambil bubu dari kereta, lalu memangkunya. Kereta dilipat dan dibiarkan saja disitu. Sekolah terlihat sepi. Bunda meluaskan pandangan, dan akhirnya menemukan seorang kakak yang sedang mengasuh adik bayi. Wah, calon teman bubu sepertinya...

Bunda melihat pagar digembok. Dengan bahasa isyarat bunda bertanya, apakah masuknya dari situ? Kakak itu kebingungan lalu memanggil temannya.

Ternyata-seperti sudah diduga-itu pintu belakang. Pintu depan ada di depan (lah iya) lalu salah seorang keluar dan berbaik hati mengantar kami ke depan. Karena sekalian ingin mengajarkan jalan masuk sekaligus mengambil kereta, dipilih cara memutar ke depan.

Bubu tetap di gendongan, dan kakak itu mendorong kereta. Setelah mengitari blok itu, kami pun sampai di depan gedung. Wah, jelas lebih cantik. Kakak itu mengajari bunda cara membuka pagar, parkir kereta bayi, dan diajari kode rahasia pintu masuk otomatis ke dalam gedung.

Di kantor sekolah yang letaknya persis samping pintu itu bunda hanya menyerahkan satu berkas dokumen dari kuyakusho (kantor kecamatan). Lalu bunda diberitahu kalau kakak itu akan menjadi salah satu sensei (guru) bubu.

Sebentar kemudian kami pamit karena jadwal periksa kesehatan dan wawancara baru akan dilakukan besok. Untung juga disuruh kesana maksimal sehari sebelumnya. Kalau langsung besok bisa terlambat karena nyasar.

Bubu juga pamit pada mereka dengan senyum khasnya. Bye bye, sampai ketemu besok yaa...

25 Mei
Tepat pukul sepuluh pagi bunda sampai di sana lagi. Bunda langsung masuk gedung bermodalkan kode rahasia. Ternyata di kantor petugasnya sudah bersiap. Bunda langsung diajak ke atas. Agendanya:
- ukur berat dan panjang oleh dia sendiri
- periksa kesehatan oleh dokter
- pengarahan

Bubu baik sekali. Dia anteng di boks bayi ditemani mainan kincring. Waktu diperiksa dokter juga senang-senang saja. Yang lucu, anak-anak usia 3-4 di kelas yang sedang belajar malah membubarkan diri dan mengelilingi bubu dan dokter yang berada di samping-belakang kelas mereka.

Hihi...bubu lucu kali yaa. Bunda baru tahu kemudian kalau ternyata ia adalah siswa paling muda di sekolah tersebut...

Saat pengarahan sekaligus wawancara bubu pun tetap anteng. Bunda ditanya macam-macam tentang keluarga, kebiasaan bubu, kesehatan bubu, imunisasi, dll. Sebenarnya ini cek ulang dari catatan kuyakusho dan boshitecho (buku kesehatan ibu dan anak).

Bunda juga diberi:
- brosur hoikuen
- kertas perkenalan teman grup
- form kontak darurat
- buku catatan harian bubu yang akan diisi oleh bunda dan sensei bergantian

Hari ini hari ketiga bubu sekolah. Masih belum mau minum banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar