Skip to main content

Mengawamkan diri

Seseorang dari masa lalu, menemukan saya di friendster. Dia, adik kelas masa smu, yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Apalagi berbincang dalam dan akrab. Meski saya bersyukur, sekali-kali, saat waktu kuliah di bandung, saya menemukannya dalam forum-forum yang relatif baik semisal kajian, itikaf ramadhan, sampai aksi untuk palestina di jalanan. Setidaknya saya tahu...ia-dan adik-adik yang lain-masih 'baik-baik' saja.

Satu hal yang seringkali menjeduk hati saat berinteraksi (lagi) dengan mereka-setelah terputus sekian lama-adalah betapa sering mereka ungkapkan apa yang pernah saya sampaikan dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan mereka. Sementara terkadang (bahkan seringnya) saya lupa tentang itu, baik itu lupa di kepala, maupun lupa karena sedang lalai mengamalkannya.

Misalnya saja, ungkapan "saya masih ingat bagaimana saat teteh menyemangati kami tentang qiyamu lail..." saya terima di saat saya jatuh bangun untuk merutinkannya kembali.

Terkadang saya meminta, tolong sampaikan kembali apa yang dulu pernah saya katakan. Saya ingin dengar, saya ingin disemangati. Tapi mereka tentu saja lebih sering menolak. "Ah teteh...," hindarnya.

Tapi sungguh, dalam banyak perkara, saya ingin diam-diam menjadi orang awam. Mendengarkan nasihat-nasihat bernas tentang berbagai macam hal. Nasihat yang mungkin sudah pernah saya tahu atau dengar, tapi lupa. Lupa dalam ingatan dan lupa dalam amalan.

Seperti satu waktu, saat saya kehabisan energi untuk meneruskan amanah yang tertunda: menyelesaikan tesis. Pekerjaan seperti tembok raksasa yang membuat saya merasa sempit dan terdesak. Bagaimana caranya menenggelamkan diri dalam paper-paper dan buku tentang riset sementara keinginan untuk mempelajari banyak hal tentang bayi, anak, dan menjadi orang tua adalah hasrat yang sedang menggelora pada benak ini?

Ternyata hidayahNya datang, salah satunya saat saya duduk manis dalam sebuah pertemuan yang digagas untuk para mahasiswa baru disini. Saya diundang bukan sebagai pembicara (karena merasa sangat tidak sanggup untuk menyampaikan apapun), hanya diminta datang dan bercerita (kalau diperlukan).

Duduk manis, mendengarkan seorang mbak berbicara. Ia berbicara tentang keutamaan mencari ilmu. Hadits-hadits itu sudah pernah saya dengar dan bicarakan. Catatan-catatan itu pun pernah ada dalam catatan-catatan hidup saya. Tapi akhir-akhir ini menguap entah kemana.

Saya terggugu...teringat di masa lalu, setiap keluar untuk sekolah ataupun mendatangi majlis ilmu, saya selalu bayangkan sayap-sayap malaikat yang mengatup karena mereka senang pada para pencari ilmu.

Ya rahman, bukan lagi tumpukan kertas dan deadline. Cahaya...saya sedang berusaha menemukan cahaya...cahaya dariMu...astaghfirullah betapa lalainya saya...

Iya, mengawamkan diri. Biar saja pura-pura tidak tahu, agar merasa baru. Tercerahkan (lagi)

Maha benar Allah yang berfirman:
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya" (Ali Imran 79)

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar