Skip to main content

Membangun keluarga (bagian ke-2)

3. Memulai membangun keluarga idaman

Bangun paradigma. Di dunia tak ada yang sempurna. Tapi, al Quran mematok yang sempurna. Paparan dalam al Quran adalah paparan tentang keluarga ideal, keluarga idaman ada sekitar 90%. Kenapa?

Dalam psikologi Islam, esensi manusia ada pada jiwanya yang terdiri dari beberapa komponen. Tapi ada satu substansi, yaitu ad dakhiliyyah (ruh, an nafs, aql, qalbu). Proses kerja bathiniyah dalam ad dakhiliyyah ini kemudin tercermin dalam bentuk pikiran, perasaan, sikap, prilaku. Potensi ini yang memanusiakan manusia dibandingkan seonggok daging.

Sekarang bagaimana ia memiliki energi positif dalam jiwa sehingga bisa melahirkan prilaku-prilaku yang islami.

Salah satu karakter jiwa/nafs/ruh adalah sifat tanpa batas dan rasa tidak pernah puas. [kebayangnya rasa ini yang melahirkan perkembangan teknologi-teknologi baru, dll] Kenapa? Karena ingin mencapai kesempurnaan.

Puncak pencapaian manusia adalah syurga. Syurga dan neraka digambarkan Allah swt sebagai sesuatu yang ghaib. Allah juga ghaib, pun malaikatnya, supaya kita terus mencapai dan mencapainya.

Jannah itu menjadi simbol kebahagiaan. Ada pun sekarang semua hal menjadi serba relatif. Kita tak bisa dalam kondisi bahagia terus. Susah senang, sedih gembira, berganti-ganti. Standar juga terus berubah. Yang pasti jadikan standar utama kita adalah standar ideal, dimana apa yang kita tempuh sekarang adalah menuju kesana. Berada di jalan yang lurus alias on the track (shiratal mustaqim).

Bukan berarti lurus terus, tapi setiap kali belok, selalu balik lagi. Putar arah kembali ke jalan yang benar.

4. Menghadapi pasang surut dalam keluarga

Jangan dikira bahwa keluarga nabi saw juga tidak pernah mengalami hal demikian. Aisyah ra pernah melemparkan makanan ke muka pembantunya Hafsyah ra karena terbakar api cemburu. Itu dinamika. Yang penting kembalinya: sadar, istighfar, kembali lagi. Tapi beloknya jangan kejauhan. Takutnya tak sempat pulang, nyasar ke neraka. [Hiks..]

5. Modal membangun keluarga

Kalau mau pergi ke Surabaya, kita harus tahu dimana Surabaya itu, naik apa, lama perjalanan, apa saja yang diperlukan, dll. Begitupun kalau kita mau ke syurga, membawa keluarga kita ke syurga, berapa lama perjalanannya, mau naik apa, dengan bekal apa, dan yang lebih penting harmonisasi suami istri.

Modal yang paling utama adalah taqwa. Ketika membangun pondasi keluarga suami istri harus sama suhu taqwanya. Bagaimana mencapai taqwa? Dimulai dengan memahami kehidupan. Orang baru mencapai derajat taqwa ketika ia memahami dirinya, untuk apa ia diciptakan. Dia memahami sebuah kehidupan, dia mengenali Tuhannya. Kalau sudah mengenal Tuhannya ia akan tahu diri (tidak sombong).

Jadi ciri-ciri orang bertakwa: tidak sombong, selalu mau belajar, selalu ingat Allah dimana saja ia berada, dan selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Ingat cerita Umar ketika ditanya tentang taqwa, taqwa itu katanya berjalan hati-hati, seperti hati-hati berjalan di atas jalan berkerikil dan berduri.

Seorang yang beriman, berhati-hati memilih pasangannya. Dipertimbangankan baik-baik urusan agamanya. Saat bertemu, suami istri bertemu dalam suhu yang sama dia seperti mendapatkan sebakul takwa dari berbakul-bakul yang harus diperolehnya. Nantu suhu takwanya akan meningkat lagi (dengan sholat berjamaah, baca al quran, dzikir, tilawah, ke masjid, suasana al quran dibuka dalam rumah), dan terus meningkat lagi.

6. Tips-tips pribadi membangun keluarga

Pertama adalah doa.
Terutama pada saat awal meminta pasangan yang baik, yang bisa diajak kerja sama. Sejak usia 13 bergabung dalam pergerakan islam, dan berbaiat pada dakwah Islam sehingga berharap suami yang bisa diajak kerjasama untuk ini.

[doa ini termasuk terus menerus mengharapkan kemudahan, kekuatan dan pertolongan Allah dalam mengarungi samudera kehidupan ya]

Kedua, kerja sama.
Tak ada pekerjaan yang bisa berhasil tanpa kerja sama/amal jamai.
Kerja sama artinya berkomunikasi. Komunikasi dalam Islam adalah keterbukaan, qoulan syadidan (perkataan lemah lembut), qoulan Ma'rufan (perkataan yang baik), qulan Layyinan (bahasanya halus dan transparan), saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.

Saling menasihati mengisyaratkan adanya kesediaan untuk mendengar dan berlapang dada saat dikoreksi.

[hemm...indah ya...]

7. Kiat dan tahapan mendidik anak

(bersambung lagi)

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar