Menjadi seorang istri itu ternyata adalah salah satu episode yang sangat menakjubkan. Serupa mengembara pada hutan liar yang belum terjamah. Meski bekalan-bekalan telah banyak diupayakan, tetap saja banyak kejutan di perjalanan.
Salah satu yang mencengangkan adalah mengenali emosi diri.
Perempuan itu merasa cukup yakin bahwa selama ini, akalnya telah bekerja dengan cukup baik, nyaris sama baiknya dengan perasaannya. Meskipun dia sangat perasa, tapi akalnya bisa diandalkan untuk mengendalikannya agar tak sampai merusak suasana. Selama ini kawan-kawannya menganggapnya bukan perempuan biasa, karena hal itu.
Betapa pada banyak hal dimana perempuan seringkali terjebak dan jatuh tersungkur, dia bisa meloloskan diri. Setidaknya meski sambil lecet-lecet, ia tak sampai babak belur.
Tapi menjadi istri, seperti menambah bobot emosi yang seringkali tak ia kenali. Dia masih memerlukan waktu yang sangat panjang untuk bisa mengendalikannya. Sedih, gembira, resah, rindu, kesal, terharu, bagaikan warna yang mudah berganti-ganti dalam hatinya. Ia juga menjadi sangat sensitif. Reaksinya atas segala sesuatu amat tak terbayangkan dan tak terduga. Dia sendiri masih tak bisa mengerti, apalagi orang asing yang baru dalam bilangan hari mengenalnya.
Namun ada masa-masa dimana akalnya bekerja dengan sangat baik. Saat orang yang dirindukannya itu sedikit mengecewakannya, ia memilih untuk berwudhu, dan sholat. Mengendalikan debaran hati, kecut, hingga ketika windows YMnya terbuka, dia sudah bisa tersenyum manis. Diputuskan saat itu untuk tidak sebel. Hehe...
Ya, bilangan jenak, terlalu singkat untuk berada pada kungkungan marah...
Salah satu yang mencengangkan adalah mengenali emosi diri.
Perempuan itu merasa cukup yakin bahwa selama ini, akalnya telah bekerja dengan cukup baik, nyaris sama baiknya dengan perasaannya. Meskipun dia sangat perasa, tapi akalnya bisa diandalkan untuk mengendalikannya agar tak sampai merusak suasana. Selama ini kawan-kawannya menganggapnya bukan perempuan biasa, karena hal itu.
Betapa pada banyak hal dimana perempuan seringkali terjebak dan jatuh tersungkur, dia bisa meloloskan diri. Setidaknya meski sambil lecet-lecet, ia tak sampai babak belur.
Tapi menjadi istri, seperti menambah bobot emosi yang seringkali tak ia kenali. Dia masih memerlukan waktu yang sangat panjang untuk bisa mengendalikannya. Sedih, gembira, resah, rindu, kesal, terharu, bagaikan warna yang mudah berganti-ganti dalam hatinya. Ia juga menjadi sangat sensitif. Reaksinya atas segala sesuatu amat tak terbayangkan dan tak terduga. Dia sendiri masih tak bisa mengerti, apalagi orang asing yang baru dalam bilangan hari mengenalnya.
Namun ada masa-masa dimana akalnya bekerja dengan sangat baik. Saat orang yang dirindukannya itu sedikit mengecewakannya, ia memilih untuk berwudhu, dan sholat. Mengendalikan debaran hati, kecut, hingga ketika windows YMnya terbuka, dia sudah bisa tersenyum manis. Diputuskan saat itu untuk tidak sebel. Hehe...
Ya, bilangan jenak, terlalu singkat untuk berada pada kungkungan marah...
Comments