Skip to main content

Kemana

Kemanakah saya, karena tak ada postingan baru selama tiga hari ini?

Saya menyepi, mencari arti diri. Mencoba bersih-bersih diri. Meski sekian banyak air dan sabun tak dapat menghilangkan nodanya. Hanya kasih sayang, rahmat, dan ampunanNya saja, yang bisa melenyapkan noda dari jiwa.

Ada beberapa kejadian dan cerita yang saya temukan beberapa hari ini. Akan saya ceritakan satu satu...

---
LENGKET

Baru saja aku selesai menggosok gigi dan mencuci muka di wastafel toilet di sebuah masjid di tengah kota Tokyo. Seremoni pertama, episode satu mabitku malam ini. Namanya mabit, bukan itikaf. Aku hanya mampu beritikaf di hari pertama saja, karena di malam kedua, ada deadline yang menghadang, sebelum kemudian di malam ketiga, si bulan datang berkunjung. Maka malam dihidupkan dengan `cara yang tidak wajar`

Seorang bunda dengan dua anak, masuk ke toilet. Kakaknya, anak peremupuan tiga tahunan, mengeluh ingin buang air kecil. Tentu harus ditemani bunda. Bunda pergi mengantar kakak, si adik pun menangis. Aku memeluknya, menggendongnya. Berusaha meredakan tangisnya. Tapi malah semakin keras. Seorang sister menutup pintu toilet sambil memberi isyarat untuk tidak membuat berisik. Tarawih baru saja dimulai.

Hanya pelukan bunda, dan sentuhannya saja yang membuat si adik menghentikan tangis...

Ini bukan kali pertama aku melihat, adik yang lengket dengan bundanya, sehingga bundanya tak bisa kemana-mana. Terjerat pelukan si kecil.

Jelang tengah malam, break tidur, kupasangan kursi-kursi, membentuk susunan yang bisa untuk tidur. Agak sulit karena kursinya ada papan di bagian lengan, untuk menulis. Tak kurang akal, kuselipkan kaki diantara jeruji besi. Yah, susunan tiga kursi bisa membuat tubuh imut ini terbaring nyaman.

Memang di masjid ini, ada satu lantai khusus peremupuan. Ada ruangan terbuka seperti ruang tamu, lengkap dengan meja dan kursi serta rak buku, toilet, kelas-kelas, dan tentu saja ruang sholat yang menyatu dengan bangunan mesjid sebenarnya, serupa balkon. Ibu-ibu dengan bayi atau anak-anak sholat di salah satu ruang sholat. Ruangan itu juga dipakai untuk tidur bila mereka ingin beritikaf. Ada AC, karpet, dan kursi-kursi untuk membuat bayi-bayi itu nyaman.

Hari itu banyak muslimah yang datang, jadinya aku memilih untuk tidur di kursi. Resikonya satu saja, badan pegal-pegal. Tak khawatir jatuh karena sama sekali tidak lasak. Hehe...

Pukul dua malam, episode kedua dimulai. Semua siap-siap sholat tahajjud. Aku saja yang masih duduk dengan terjemah Al Quran di tangan. Kulihat bunda yang lain sholat di dekat balita-balita yang terbaring di kelas. Aku menghampirinya, menawarkan diri untuk menjaga balita itu. Ia setuju, lalu masuk ke ruang masjid.

Duduk manis dengan terjemahan Quran di tangan. Berusaha menghidupkan hati, berharap keberkahanNya di malam-malam yang istimewa. Aku tak pernah menduga, pada aliran waktu, membaca lagi terjemah dengan runutan, membentuk potongan2 puzzle baru di kepala ini. Pantas saja, ustadz kesayangan itu mentausiyahkan untuk mengkhatamkan terjemahan, dan berusaha memahami terjemahan AQ. Tentunya ini edisi terbatas untuk yang tak faham bahasa arab.

Adik kecil, tiga tahun, laki-laki, bersuara lemah. Aku mengalihkan perhatian. Dia mengacungkan kedua tangan, dengan mata yang tetap terpejam. Tiba-tiba dia bangkit. Aku meraihnya, menggendongnya. Kepalanya tersandar di bahu. Rupanya dia mengantuk betul sehingga tak sadar, bukan bundanya yang menggendongnya.

Jalan-jalan sebentar, ia tak juga tidur. Akhirnya aku duduk kembali, dan membiarkannya tetap dalam pelukan. Alhamdulillah...dia tak sadar. Kasihan buat bunda yang sholatnya akan terganggu, kalau si kecil ini sadar siapa yang sedang bersamanya...

Aku pun berpikir tentang menjadi bunda. Mengingat banyak catatan tentang pengorbanan bunda. Bukan hanya kesenangan, tapi saat-saat bertaqarrub denganNya pun kadang terkikis, dengan lengketnya si kecil. Beberapa anak lengket pada banyak orang sehingga dengan mudah di oper kesana kemari. Banyak tante yang senang bersama si kecil. Seperti aku, yang menjadikan kebersamaan dengan anak sebagai masa bersenang-senang. Tapi ada yang tidak. Tak peduli si bunda sudah pegal-pegal, ataupun konsentrasinya buyar dengan anak dalam gendongan.

Untungnya, Allah Maha Pemurah. Wanita yang menjaga anak dan keluarganya, diberi karunia serupa laki-laki yang pergi berjihad. Ternyata lagi bukan semata-mata menjaga, karena menjagai berarti mengasihi, mendidik, dsb. Mendidik diri, mendidik jiwa saja masih terasakan beratnya. Bagaimana dengan mendidik jiwa lain, yang diharapkan jauh lebih berkualitas dari pada orangtuanya.

Duh...ya Rahman...sungguh, pertolonganMu sajalah yang bisa membuat kami semua sanggup menjalani setiap episode ini...

Karunikan kami anak-anak yang shalih dari sisiMu,
dan mampukan kami menjadi orangtua sekaligus anak yang shalih...

aamiin...

Comments

Anonymous said…
hikss... makasih yah. pagi2 gini, baca tulisan ini jadi terharu banget. inget sama emak di kampung. salam kenal dari aku yah. lagi blog jogging, hopping dari blog febi ke blog ini. -hany di toa payoh-
rieska oktavia said…
Alhamdulillah...
Makasih kembali mba, salam kenal dari saya ^_^

-rieska di tokyo-

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar