Cinta, apa duka masih bersemayam di hati?
Aku ingin menghiburmu dengan cerita tentang Rei.
Duduk manis dan baca yaa...
Sejak malam-malam yang lalu, ada yang meresahkan Rei. Kepalanya sering sakit tiba-tiba, dan akhir-akhir ini sering muncul, membuat tubuhnya sama sekali tak nyaman. Ia sempat merasa khawatir itu adalah gejala penyakit berat yang dideritanya.
Efek baiknya adalah ia lebih sadar bahwa kematian amat dekat dengannya. Namun disisi lain semangat hidupnya menjadi menipis. Setelah menenangkan diri dengan kitab suci, dia berhasil menepis sedikit kekhawatiran dengan pergi ke dapur, membuat gulai. Berharap dengan menyibukkan di sana, berkarya, berbincang dengan kawan, dan ditutup 'makan enak' akan membuat segalanya normal.
Esok harinya, sakit itu masih menggayuti kepalanya. Ia memaksa dirinya untuk tetap pergi ke sekolah, duduk selama dua jam setengah mendengarkan presentasi-presentasi evaluasi papers dalam bahasa Jepang. Kawan dekat disampinya ikut resah. Baiklah, istirahat siang, sebaiknya pergi ke klinik sekolah, pikirnya.
Tanpa makan siang, karena masih dalam suasana shaum syawal, di istirahat siang itu, dia pergi ke klinik. Dengan bahasa jepang yang terpatah-patah diterangkannya kondisinya akhir-akhir ini. Petugas disana memberinya termometer. Sambil mengisi formulir dia mengukur suhu tubuhnya. Normal.
Lalu tekanan darah diperiksa, siapa tahu darah rendahnya kumat. Tak ada masalah. Mata pun diperiksa, siapa tahu minusnya bertambah atau berkurang. Tapi matanya sehat, bahkan katanya tanpa kacamata pun dia masih bisa melihat jelas.
Akhirnya petugas itu menepuk-nepuk bahu Rei, mengajaknya berbicara.
"Mondai ga nai yo.."
Hiyaa...tak ada masalah dengan tubuhnya. Dia lebih yakin. Alhamdulillah... Tapi kenapa kepalanya nyut-nyut? Berbicara sebentar, tentang pengalaman sakit selama ini, kemungkinan urusan sekolah yang berat, stress, kesepian, dsb. Perlahan-lahan rasanya kepalanya menjadi segar. Sesekali, petugas itu menyentuh punggungnya, seolah berusaha memberi kekuatan.
Setelah merasa cukup, dan waktu untuk kelas berikutnya tiba, Rei pamit. Berkali-kali petugas itu memintanya untuk menemukan sumber sakitnya secara psikologis, dan bila tak ditemukan, maka ia disarankan ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih teliti.
Sambil melangkah, ia merenung. Pada banyak hal, amat terasa, betapa kehadiran seseorang dalam hidup kita amatlah penting. Kehadiran, menjadi ada adalah kekuatan yang sangat luar biasa. Sentuhan manusia, pada masanya, adalah merupakan suatu hal yang tak tergantikan. Delapan bulan yang lalu, dalam stress ujian masuknya, ia menangis di bahu guru bahasanya, dan itu membuat sebagian bebannya lenyap. Himpitan rasa yang dirasakannya berkurang.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ia telah benar menjadi ada untuk sekitarnya dan orang-orang yang disayanginya?
Aku ingin menghiburmu dengan cerita tentang Rei.
Duduk manis dan baca yaa...
Sejak malam-malam yang lalu, ada yang meresahkan Rei. Kepalanya sering sakit tiba-tiba, dan akhir-akhir ini sering muncul, membuat tubuhnya sama sekali tak nyaman. Ia sempat merasa khawatir itu adalah gejala penyakit berat yang dideritanya.
Efek baiknya adalah ia lebih sadar bahwa kematian amat dekat dengannya. Namun disisi lain semangat hidupnya menjadi menipis. Setelah menenangkan diri dengan kitab suci, dia berhasil menepis sedikit kekhawatiran dengan pergi ke dapur, membuat gulai. Berharap dengan menyibukkan di sana, berkarya, berbincang dengan kawan, dan ditutup 'makan enak' akan membuat segalanya normal.
Esok harinya, sakit itu masih menggayuti kepalanya. Ia memaksa dirinya untuk tetap pergi ke sekolah, duduk selama dua jam setengah mendengarkan presentasi-presentasi evaluasi papers dalam bahasa Jepang. Kawan dekat disampinya ikut resah. Baiklah, istirahat siang, sebaiknya pergi ke klinik sekolah, pikirnya.
Tanpa makan siang, karena masih dalam suasana shaum syawal, di istirahat siang itu, dia pergi ke klinik. Dengan bahasa jepang yang terpatah-patah diterangkannya kondisinya akhir-akhir ini. Petugas disana memberinya termometer. Sambil mengisi formulir dia mengukur suhu tubuhnya. Normal.
Lalu tekanan darah diperiksa, siapa tahu darah rendahnya kumat. Tak ada masalah. Mata pun diperiksa, siapa tahu minusnya bertambah atau berkurang. Tapi matanya sehat, bahkan katanya tanpa kacamata pun dia masih bisa melihat jelas.
Akhirnya petugas itu menepuk-nepuk bahu Rei, mengajaknya berbicara.
"Mondai ga nai yo.."
Hiyaa...tak ada masalah dengan tubuhnya. Dia lebih yakin. Alhamdulillah... Tapi kenapa kepalanya nyut-nyut? Berbicara sebentar, tentang pengalaman sakit selama ini, kemungkinan urusan sekolah yang berat, stress, kesepian, dsb. Perlahan-lahan rasanya kepalanya menjadi segar. Sesekali, petugas itu menyentuh punggungnya, seolah berusaha memberi kekuatan.
Setelah merasa cukup, dan waktu untuk kelas berikutnya tiba, Rei pamit. Berkali-kali petugas itu memintanya untuk menemukan sumber sakitnya secara psikologis, dan bila tak ditemukan, maka ia disarankan ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih teliti.
Sambil melangkah, ia merenung. Pada banyak hal, amat terasa, betapa kehadiran seseorang dalam hidup kita amatlah penting. Kehadiran, menjadi ada adalah kekuatan yang sangat luar biasa. Sentuhan manusia, pada masanya, adalah merupakan suatu hal yang tak tergantikan. Delapan bulan yang lalu, dalam stress ujian masuknya, ia menangis di bahu guru bahasanya, dan itu membuat sebagian bebannya lenyap. Himpitan rasa yang dirasakannya berkurang.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ia telah benar menjadi ada untuk sekitarnya dan orang-orang yang disayanginya?
Comments