Skip to main content

Mewah

Saya tak tahu apa sebenarnya definisi mewah dalam kamus bahasa Indonesia. Mungkin mewah itu sesuatu yang ditujukan untuk barang yang langka atau harganya sangat mahal. Yang pasti sesuatu yang sangat berharga.

Dulu, saat saya masih kanak-kanak-hingga dewasa di Indonesia, di masa sulit, ibu seringkali memasak 'hanya' tumis kangkung dan tempe goreng. Ada masa dimana menu itu menjadi favorit kami, ada masa juga dimana kami merasa benar-benar bosan. Tapi apadaya, harga daging terlalu mahal. Mewah menurut ukuran kami.

Disini, setiap kali saya membayangkan tempe goreng ataupun tumis kangkung, butuh waktu untuk mendapatkannya. Selain karena tempe hanya ada di toko-toko khusus atau momen-momen khusus, ia pun begitu mewah.

Kangkung hanya ada pada musim panas. Itupun tak selalu ada di setiap toko.Sepotong tempe berukuran kira-kira 20x15x3 cm setara dengan harga satu ekor ayam halal UTUH. Saya harus berpikir seribu kali. Menahan keinginan, hingga tempe terhidang hanya pada moment-moment istimewa (seperti ngidam? :D)

Mungkin benar, bahwa kemewahan, terkait ruang dan waktu.

Seperti kesempatan yang Ia berikan. Kesehatan. Saat sakit, betapa bekerja, memakan makanan yang kita sukai menjadi begitu mewah. Bahkan ada yang bernafas saja menjadi sebuah kemewahan. Adapula yang koma selama sekian lama, dimana kesadaran yang menjadi sifat kehidupan manusia menjadi amat mahal.

Dan lihatlah...penyesalan mereka di hari akhir. Waktu bertahun-tahun yang dikaruniakanNya seolah tak berguna. Saat di pengadilan besar nanti penyesalan demi penyesalan mendesak-desak jiwa.

Seandainya aku menjadi tanah saja...
Berilah waktu sesaat saja...supaya bisa beramal shalih...


Begitu banyak amal yang belum dikerjakan, maksiyat yang belum dihentikan, cinta yang belum terkatakan pada orang-orang terkasih.

Duhai jiwaku, bergeraklah...sebelum gerakan itu menjadi barang mewah untukmu...

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R...

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha...