Skip to main content

Tok tok [2]

Saya menekuni huruf-huruf di depan komputer, sampai kemudian mendengar ada yang mengetuk-ngetuk jendela kamar.

"Ame ga futte kimasu" (hujan turun, loh)

Huwaa....astaghfirullah...keasyikan membaca sampai tak sadar di luar hujan rintik-rintik.

"Hai, arigatou..." (Ya, makasih...) teriak saya sambil menyambar jilbab.

Seorang ibu-jepang berdiri di depan kamar. Saya tersenyum dan segera berusaha mengangkat jemuran. Menyadari tubuh saya yang mini-size, dia segera menawarkan bantuan. Mengambilkan pakaian satu persatu, lalu saya memasukkannya ke dalam rumah.

Tempat jemuran itu memang lumayan tinggi. Saya harus memanjangkan tubuh dari ujung lantai rumah-melalui jendela, jika ingin menjemur/mengambil pakaian. Karena itu, biasanya suami yang mendapat tugas jemur-angkat ini. Saya mendapat tugas ringan memasangkan pada gantungan saja setelah dicuci, dan melipat setelah kering/diangkat. Hee... pekerjaan mencuci pun tak bisa dikerjakan mandiri.

"Banyak juga jemurannya, ya."

Saya mengangguk. Maklumlah, hujan begitu senang mengunjungi kota kami di awal bulan ini. Setiap hari, bahkan juga sepanjang malam. Enaknya, udara yang panas dan lembab khas musim panas banyak terkurangi. Alhamdulillah. Tinggal mengantisipasi efek lainnya: cucian menumpuk Sehingga setiap ada kesempatan melihat matahari pagi, dengan perkiraan cuaca cukup cerah, harus dimanfaatkan dengan mencuci.

Beberapa kali bolak balik, semua pakaian sudah masuk kamar saya berterimakasih, sambil masih berpikir dari mana beliau ini berasal. Bukan tetangga kiri, bukan tetangga kanan, dan bukan pula tetangga depan.

"Makasih banyak...Kamar sebelah mana?" tanya saya membunuh kepenasaran.

"Itu dari atas. Sayonara..." katanya sambil berlari menembus hujan.

Tinggal saya terpaku. Dari atas rumah saya, ia melihat jemuran. Lalu berlari turun ke bawah untuk memberitahu saya. Saya menyesali kebodohan saya sendiri. Bagaimana saya bisa melupakan wajah dan juga nama tetangga atas itu, padahal saya pernah bertemu sekali dengannya dan mengobrol dalam perjalanan dari rumah hingga perempatan lampu merah pertama menuju stasiun.

Masih jauh dari profil tetangga yang semestinya...

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar