Skip to main content

Sukses

Sebenernya ingin ditulis kemarin malam, tapi entah kenapa kata-kata yang biasanya bergruntul dikepala, berebut untuk dituangkan menguap seiring mata yang memanas, karena hampir sepanjang hari menatapi layar komputer.

Membaca tulisan di web/blog salah seorang senpai yang saya kagumi karena keproduktifannya dalam berkarya, ezokanzo, tentang seorang penjual mobil nomor satu di dunia. Seorang dengan latar belakang yang nyaris tidak mungkin untuk sukses karena kemiskinan, keterbelakangan, kondisi sosial, dsb. tapi akhirnya berhasil mewujudkan apa yang ia harapkan. Berhasil tidak hanya secara materi, tapi juga kepribadian.

Ini menggugah saya, di tengah-tengah keputusasaan melihat betapa payahnya diri ini dalam mengelola masalah. Seringkali di benak saya hinggap perasaan, bahwa banyak orang sukses memang dilahirkan seperti itu. Bagaimana tempaan hidup, pendidikan orang tua, lingkungan, dsb., memang mendorong dia untuk seperti itu.

Sebut saja misalnya Imama Syafii, dengan dukungan ibunya yang amat menyadari kelebihan putranya, pindah ke Mekkah agar dekat dengan sumber ilmu: para ulama. Belum tokoh-tokoh lain, juga termasuk kawan saya, yang saya anggap sukses, rata-rata memang memiliki latar belakang yang memang menjadi pendorong keberhasilan tersebut.

Sebagai orang tua, tatkala saya memikirkan kehidupan kami sekeluarga, lingkungan serta pola pendidikan untuk anak-anak, saya harus berpikir keras dan berusaha yang terbaik yang saya bisa untuknya. Untuk kesuksesannya, tentu. Dan perlu dicatat, bahwa kesuksesan yang saya maksud bukan semata-mata bersifat materi, tapi lebih kepada kekuatan dirinya untuk menjadi abdillah dan khalifah dengan wujud yang sesungguhnya. Dengan daya dukung perkembangan kognitif, afektif, motorik, dan tentu ruhiyah yang optimal. Menjadi mujahid yang semestinya...

Akan tetapi, saat saya melihat diri sendiri, betapa sering rasa takut, tak percaya diri itu timbul. Begitu banyak kelemahan pada jiwa, hingga saya tak yakin, saya bisa melakukan amanah-amanah dalam hidup ini satu persatu, dengan hasil yang optimal untuk dihadapkan ke hadirat Allah SWT. Dan kelemahan itu, sebagian (barangkali) terjadi akibat proses pendidikan yang saya jalani sebelumnya, baik itu secara formal, informal, nonformal. (tentu saja, tanpa menafikan akan begitu banyak nilai plus yang juga menjadi latar belakang banyak kebaikan yang saya punya hari ini)

Berkaca pada kisah yang saya baca, dan mungkin juga kisah para sahabat Rasulullah SAW dengan latar belakang yang beragam, yang tak saya ketahui, smoga saja beraneka stigma itu bisa dihilangkan.

Menghancurkan batas yang dibuat sendiri, untuk tak pernah menyesali apa yang tidak punya, tapi terus berkreasi, melakukan perubahan. Hingga waktunya Ia mengubah kondisi kita...

Wallahu alam

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Berhenti Sejenak

Pagi itu kami berempat (saya dan A3-A5) menuju stasiun. Baby Anas (A5) setia duduk di strolernya. Dinginnya menggigil tapi matahari menyapa dengan hangat. Tujuan kami adalah Kabe, rumah mba Nita tuk bersilaturahim dengan sahabat Azzahra. Di tengah jalan, di area favorit anak-anak untuk berhenti, Azmi (A3) tiba-tiba bertanya, "Bunda, itu tulisannya apa?" Ia menunjuk setengah bola yang biasanya mereka duduk bermain di atasnya.  Setiap melewati area ini memang mereka hampir selalu berhenti untuk bermain. Tapi pagi ini (seperti biasa) kami sedang mengejar waktu. Jadi saya menjawab sekenanya, "Engga tahu. Ayo kereta menunggu!" "Karena jauh ga keliatan? Ayo kesana!" Ah...  "Seperti ini tulisannya. Apa bacanya bunda? Tapi ini kanji bunda ga ngerti ya?" Akhirnya saya (seperti biasa, harus) mengalah. Berjongkok mengamati tulisan. Ternyata.... Tulisannya adalah "Saturn" lengkap dengan kanji di bawahnya dan angka2.... Saya lalu melihat ke sekelili...

Puzzle 46 (Terkurung di rumah)

Puzzle 46 (Terkurung di rumah) Puzzle terakhir ditulis 28 Desember 2009. Seperti apa kepingan yang ada 10 tahun kemudian? Dengan covid-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia. perempuan itu bekerja dari rumah. Sewaktu-waktu lelaki itu juga di rumah. Serasa liburan tapi banyak kerjaan. Mereka berbagi tugas. Siapa yang belanja siapa yang masak. Siapa yang beres-beres siapa yang menemani anak belajar. Ada banyak istri stress karena suaminya di rumah. Repot katanya. Tapi perempuan itu bahagia. Ada hari-hari dimana ia bisa puas memandang suaminya sepanjang hari. Alhamdulillah. Pekerjaan lebih ringan, hati juga lebih lapang. Ada banyak target yang bisa dikejar, alhamdulillah