Sebenarnya bukan tok-tok, tapi TOK!
Ada suara di pintu depan (eh belakang? :D). Kami berpandangan.
"Tolong diliat, Ka. Ada apa..."
Suami bergegas membuka pintu. Seperti biasa aku mendengar dibalik pintu kamar sambil membenahi kostum rumah, jaga-jaga kalau harus keluar. Terdengar suara ibu-ibu dengan bahasa Jepang yang amat sopan. Wah, sepertinya percakapan yang agak rumit. Betul saja, tak lama suami memanggil, setelah ia menyampaikan pada tamu itu bahwa ia tak pandai berbahasa Jepang.
"Ade, kesini dulu deh, kaka ga ngerti."
Aku segera ke arah mereka. Seorang ibu dengan wajah yang agak familiar tersenyum di depan pintu. Uhm...ketemu dimana, ya? Pikirku ketika tersenyum dan menyapa beliau. Tanpa diminta beliau memperkenalkan diri.
"Kita pernah bertemu di jalan. Masih ingat?"
Ah ya, suatu sore, entah pulang sekolah atau pulang dari masjid, aku pernah bertemu beliau ini dengan anjing mungilnya di belokan dekat rumah. Dia tiba-tiba saja menyapaku karena jilbab yang kupakai. Lalu mengobrol tentang orang-orang malaysia di sekitar rumah (meski mayoritas orang Jepang, di dekat rumah ini ada beberapa tetangga Malaysia dan Indonesia). Setelah itu macam-macam yang diobrolkan. Lamaaa...sampai tiga kali berhenti di jalan.
Aku tersenyum dan segera menjawab. "Iya...ibu dengan anjing yang lucu."
Ternyata dia menawarkan makanan. Di rumahnya ada banyak makanan, karena musim apa itu namanya yaa...dimana banyak pegawai yang memberikan hadiah, dan sebagian berupa makanan, hingga akhirnya makanan menumpuk. Salah satunya adalah somen (mie jepang, itu loh...yang kayak berbentuk batang-batang). Dia menawarkan somen itu untuk si dede kecil di perut.
Dia juga menulis surat yang kemudian diberikannya padaku, karena khawatir tak ada di rumah (sedang sekolah). Wah, untung ketemu, kalau tidak agak repot juga membaca kanji tulisan tangan, pikirku. Tapi ternyata setelah diperhatikan, dia menyertakan hiragananya di sebelah kanji (sebagai panduan membaca kanji). Duh, baik sekali...
Tak lama, kami ke rumahnya, karena barang itu cukup berat katanya. Rumahnya terletak di jalan yang sama. Sebuah mansion bertingkat empat, bila aku tak salah hitung. Kami datang disambut gugukan anjing. Untung dia tahu kalau aku takut, sehingga kemudian dia mengurung anjing itu.
Kami pulang membawa satu kardus kecil, ukuran 10x20x30 cm persegi, serta satu kantung makanan dan minuman. Berjalan ke rumah bersama sang ibu. Ternyata ia harus pergi ke rumah sakit untuk berobat, ada sesuatu pada tangannya.
Saat dibuka, di rumah, ternyata kardus itu penuh dengan somen. Somen itu diikat per diameter kira-kira 2 cm. Bisa untuk mie rebus, mie goreng, atau menjadi pengganti bihun pada harumaki. Uhm...berbulan-bulan belum tentu habis. Rasanya banyak sekali. Langsung terbayang ingin membagi tetangga-tetangga yang lain...
ps.
T*****-san, terima kasih banyak. Saya semakin yakin, bahwa usia tak pernah menjadi penghalang untuk bersahabat. Biar saja kita menjadi cucu-nenek yang kompak.
Untuk para penggemar somen, kalau ada yang mau, silakan dijapri.
Hai, seseorang di tepi laut, mau paket somen juga kah?
Ada suara di pintu depan (eh belakang? :D). Kami berpandangan.
"Tolong diliat, Ka. Ada apa..."
Suami bergegas membuka pintu. Seperti biasa aku mendengar dibalik pintu kamar sambil membenahi kostum rumah, jaga-jaga kalau harus keluar. Terdengar suara ibu-ibu dengan bahasa Jepang yang amat sopan. Wah, sepertinya percakapan yang agak rumit. Betul saja, tak lama suami memanggil, setelah ia menyampaikan pada tamu itu bahwa ia tak pandai berbahasa Jepang.
"Ade, kesini dulu deh, kaka ga ngerti."
Aku segera ke arah mereka. Seorang ibu dengan wajah yang agak familiar tersenyum di depan pintu. Uhm...ketemu dimana, ya? Pikirku ketika tersenyum dan menyapa beliau. Tanpa diminta beliau memperkenalkan diri.
"Kita pernah bertemu di jalan. Masih ingat?"
Ah ya, suatu sore, entah pulang sekolah atau pulang dari masjid, aku pernah bertemu beliau ini dengan anjing mungilnya di belokan dekat rumah. Dia tiba-tiba saja menyapaku karena jilbab yang kupakai. Lalu mengobrol tentang orang-orang malaysia di sekitar rumah (meski mayoritas orang Jepang, di dekat rumah ini ada beberapa tetangga Malaysia dan Indonesia). Setelah itu macam-macam yang diobrolkan. Lamaaa...sampai tiga kali berhenti di jalan.
Aku tersenyum dan segera menjawab. "Iya...ibu dengan anjing yang lucu."
Ternyata dia menawarkan makanan. Di rumahnya ada banyak makanan, karena musim apa itu namanya yaa...dimana banyak pegawai yang memberikan hadiah, dan sebagian berupa makanan, hingga akhirnya makanan menumpuk. Salah satunya adalah somen (mie jepang, itu loh...yang kayak berbentuk batang-batang). Dia menawarkan somen itu untuk si dede kecil di perut.
Dia juga menulis surat yang kemudian diberikannya padaku, karena khawatir tak ada di rumah (sedang sekolah). Wah, untung ketemu, kalau tidak agak repot juga membaca kanji tulisan tangan, pikirku. Tapi ternyata setelah diperhatikan, dia menyertakan hiragananya di sebelah kanji (sebagai panduan membaca kanji). Duh, baik sekali...
Tak lama, kami ke rumahnya, karena barang itu cukup berat katanya. Rumahnya terletak di jalan yang sama. Sebuah mansion bertingkat empat, bila aku tak salah hitung. Kami datang disambut gugukan anjing. Untung dia tahu kalau aku takut, sehingga kemudian dia mengurung anjing itu.
Kami pulang membawa satu kardus kecil, ukuran 10x20x30 cm persegi, serta satu kantung makanan dan minuman. Berjalan ke rumah bersama sang ibu. Ternyata ia harus pergi ke rumah sakit untuk berobat, ada sesuatu pada tangannya.
Saat dibuka, di rumah, ternyata kardus itu penuh dengan somen. Somen itu diikat per diameter kira-kira 2 cm. Bisa untuk mie rebus, mie goreng, atau menjadi pengganti bihun pada harumaki. Uhm...berbulan-bulan belum tentu habis. Rasanya banyak sekali. Langsung terbayang ingin membagi tetangga-tetangga yang lain...
ps.
T*****-san, terima kasih banyak. Saya semakin yakin, bahwa usia tak pernah menjadi penghalang untuk bersahabat. Biar saja kita menjadi cucu-nenek yang kompak.
Untuk para penggemar somen, kalau ada yang mau, silakan dijapri.
Hai, seseorang di tepi laut, mau paket somen juga kah?
Comments