Skip to main content

Tok tok [3]

Sebenarnya bukan tok-tok, tapi TOK!

Ada suara di pintu depan (eh belakang? :D). Kami berpandangan.

"Tolong diliat, Ka. Ada apa..."

Suami bergegas membuka pintu. Seperti biasa aku mendengar dibalik pintu kamar sambil membenahi kostum rumah, jaga-jaga kalau harus keluar. Terdengar suara ibu-ibu dengan bahasa Jepang yang amat sopan. Wah, sepertinya percakapan yang agak rumit. Betul saja, tak lama suami memanggil, setelah ia menyampaikan pada tamu itu bahwa ia tak pandai berbahasa Jepang.

"Ade, kesini dulu deh, kaka ga ngerti."

Aku segera ke arah mereka. Seorang ibu dengan wajah yang agak familiar tersenyum di depan pintu. Uhm...ketemu dimana, ya? Pikirku ketika tersenyum dan menyapa beliau. Tanpa diminta beliau memperkenalkan diri.

"Kita pernah bertemu di jalan. Masih ingat?"

Ah ya, suatu sore, entah pulang sekolah atau pulang dari masjid, aku pernah bertemu beliau ini dengan anjing mungilnya di belokan dekat rumah. Dia tiba-tiba saja menyapaku karena jilbab yang kupakai. Lalu mengobrol tentang orang-orang malaysia di sekitar rumah (meski mayoritas orang Jepang, di dekat rumah ini ada beberapa tetangga Malaysia dan Indonesia). Setelah itu macam-macam yang diobrolkan. Lamaaa...sampai tiga kali berhenti di jalan.

Aku tersenyum dan segera menjawab. "Iya...ibu dengan anjing yang lucu."

Ternyata dia menawarkan makanan. Di rumahnya ada banyak makanan, karena musim apa itu namanya yaa...dimana banyak pegawai yang memberikan hadiah, dan sebagian berupa makanan, hingga akhirnya makanan menumpuk. Salah satunya adalah somen (mie jepang, itu loh...yang kayak berbentuk batang-batang). Dia menawarkan somen itu untuk si dede kecil di perut.

Dia juga menulis surat yang kemudian diberikannya padaku, karena khawatir tak ada di rumah (sedang sekolah). Wah, untung ketemu, kalau tidak agak repot juga membaca kanji tulisan tangan, pikirku. Tapi ternyata setelah diperhatikan, dia menyertakan hiragananya di sebelah kanji (sebagai panduan membaca kanji). Duh, baik sekali...

Tak lama, kami ke rumahnya, karena barang itu cukup berat katanya. Rumahnya terletak di jalan yang sama. Sebuah mansion bertingkat empat, bila aku tak salah hitung. Kami datang disambut gugukan anjing. Untung dia tahu kalau aku takut, sehingga kemudian dia mengurung anjing itu.

Kami pulang membawa satu kardus kecil, ukuran 10x20x30 cm persegi, serta satu kantung makanan dan minuman. Berjalan ke rumah bersama sang ibu. Ternyata ia harus pergi ke rumah sakit untuk berobat, ada sesuatu pada tangannya.

Saat dibuka, di rumah, ternyata kardus itu penuh dengan somen. Somen itu diikat per diameter kira-kira 2 cm. Bisa untuk mie rebus, mie goreng, atau menjadi pengganti bihun pada harumaki. Uhm...berbulan-bulan belum tentu habis. Rasanya banyak sekali. Langsung terbayang ingin membagi tetangga-tetangga yang lain...

ps.
T*****-san, terima kasih banyak. Saya semakin yakin, bahwa usia tak pernah menjadi penghalang untuk bersahabat. Biar saja kita menjadi cucu-nenek yang kompak.
Untuk para penggemar somen, kalau ada yang mau, silakan dijapri.
Hai, seseorang di tepi laut, mau paket somen juga kah?

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar