Beberapa orang pernah bertanya kepada perempuan itu, yang kurang lebih berarti: apakah kemampuan ekonomi seorang laki-laki menjadi sebuah prasyarat ketika dia mengajukan proposal kepada seorang wanita?
Ia harus berpikir keras untuk menemukan jawabannya. Tapi akhirnya keluar jawaban mantap: iya. Harus. Tapi dengan catatan. Catatan? Tak ada bilangan mutlak, standar gaji, apalagi segala perlengkapan pribadi. Lebih kepada tanggung jawab. Maksudnya? Ada tanggung jawab, upaya, seorang suami untuk menafkahi istrinya. Tentu, sebatas kemampuannya.
Visi menjadi suami yang bertanggung jawab ini harus dibangun oleh para pemuda, sehingga tak hanya persiapan fisik dan mental yang harus ia siapkan, tapi juga masalah ekonomi ini. Yakin saja, ada kemauan, insya Allah ada jalan.
Tapi kasusnya tak selalu mulus.
Perempuan itu tinggal di sebuah negara yang biaya hidupnya amat tinggi. Beasiswa suaminya yang merupakan penghasilan utamanya di negara lain hanya kira-kira 1/17.5 beasiswanya disini, alias 1/3.5 biaya sewa bulanan asramanya. Dan saat ia ditanya berapa yang sanggup disisihkan untuk istrinya? Nilainya sama dengan satu kali makan di kantin sekolah, atau satu kali pulang pergi asrama-kampus kala itu. Perempuan itu hanya tersenyum, dan berharap yang sedikit itu menjadi amal shalih bagi suaminya.
Maka lelaki itu selalu saja menyimpan rasa bersalah, atas ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang satu itu. Mencatatnya sebagai hutang yang harus dibayarnya satu hari nanti.
Tapi sejak semalam, ada bintang di mata lelaki itu, meski tubuhnya membasah oleh hujan dan keringat. Setelah menunggu selama empat bulan, ia pun bisa mulai bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan pengepakan sayur. Kerja yang membutuhkan banyak tenaga, membuatnya remuk redam pada hari pertama. Mata perempuan itu berkaca, saat memandangnya penuh haru. Teringat hadits rasul, tentang keutamaan suami yang bekerja untuk keluarganya.
Ia telah belajar menyempurnakan perannya, sekarang, bagaimana denganmu perempuan?
Ia harus berpikir keras untuk menemukan jawabannya. Tapi akhirnya keluar jawaban mantap: iya. Harus. Tapi dengan catatan. Catatan? Tak ada bilangan mutlak, standar gaji, apalagi segala perlengkapan pribadi. Lebih kepada tanggung jawab. Maksudnya? Ada tanggung jawab, upaya, seorang suami untuk menafkahi istrinya. Tentu, sebatas kemampuannya.
Visi menjadi suami yang bertanggung jawab ini harus dibangun oleh para pemuda, sehingga tak hanya persiapan fisik dan mental yang harus ia siapkan, tapi juga masalah ekonomi ini. Yakin saja, ada kemauan, insya Allah ada jalan.
Tapi kasusnya tak selalu mulus.
Perempuan itu tinggal di sebuah negara yang biaya hidupnya amat tinggi. Beasiswa suaminya yang merupakan penghasilan utamanya di negara lain hanya kira-kira 1/17.5 beasiswanya disini, alias 1/3.5 biaya sewa bulanan asramanya. Dan saat ia ditanya berapa yang sanggup disisihkan untuk istrinya? Nilainya sama dengan satu kali makan di kantin sekolah, atau satu kali pulang pergi asrama-kampus kala itu. Perempuan itu hanya tersenyum, dan berharap yang sedikit itu menjadi amal shalih bagi suaminya.
Maka lelaki itu selalu saja menyimpan rasa bersalah, atas ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang satu itu. Mencatatnya sebagai hutang yang harus dibayarnya satu hari nanti.
Tapi sejak semalam, ada bintang di mata lelaki itu, meski tubuhnya membasah oleh hujan dan keringat. Setelah menunggu selama empat bulan, ia pun bisa mulai bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan pengepakan sayur. Kerja yang membutuhkan banyak tenaga, membuatnya remuk redam pada hari pertama. Mata perempuan itu berkaca, saat memandangnya penuh haru. Teringat hadits rasul, tentang keutamaan suami yang bekerja untuk keluarganya.
Ia telah belajar menyempurnakan perannya, sekarang, bagaimana denganmu perempuan?
Comments