Skip to main content

Puzzle 23 [Tanggung Jawab]

Beberapa orang pernah bertanya kepada perempuan itu, yang kurang lebih berarti: apakah kemampuan ekonomi seorang laki-laki menjadi sebuah prasyarat ketika dia mengajukan proposal kepada seorang wanita?

Ia harus berpikir keras untuk menemukan jawabannya. Tapi akhirnya keluar jawaban mantap: iya. Harus. Tapi dengan catatan. Catatan? Tak ada bilangan mutlak, standar gaji, apalagi segala perlengkapan pribadi. Lebih kepada tanggung jawab. Maksudnya? Ada tanggung jawab, upaya, seorang suami untuk menafkahi istrinya. Tentu, sebatas kemampuannya.

Visi menjadi suami yang bertanggung jawab ini harus dibangun oleh para pemuda, sehingga tak hanya persiapan fisik dan mental yang harus ia siapkan, tapi juga masalah ekonomi ini. Yakin saja, ada kemauan, insya Allah ada jalan.

Tapi kasusnya tak selalu mulus.

Perempuan itu tinggal di sebuah negara yang biaya hidupnya amat tinggi. Beasiswa suaminya yang merupakan penghasilan utamanya di negara lain hanya kira-kira 1/17.5 beasiswanya disini, alias 1/3.5 biaya sewa bulanan asramanya. Dan saat ia ditanya berapa yang sanggup disisihkan untuk istrinya? Nilainya sama dengan satu kali makan di kantin sekolah, atau satu kali pulang pergi asrama-kampus kala itu. Perempuan itu hanya tersenyum, dan berharap yang sedikit itu menjadi amal shalih bagi suaminya.

Maka lelaki itu selalu saja menyimpan rasa bersalah, atas ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang satu itu. Mencatatnya sebagai hutang yang harus dibayarnya satu hari nanti.

Tapi sejak semalam, ada bintang di mata lelaki itu, meski tubuhnya membasah oleh hujan dan keringat. Setelah menunggu selama empat bulan, ia pun bisa mulai bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan pengepakan sayur. Kerja yang membutuhkan banyak tenaga, membuatnya remuk redam pada hari pertama. Mata perempuan itu berkaca, saat memandangnya penuh haru. Teringat hadits rasul, tentang keutamaan suami yang bekerja untuk keluarganya.

Ia telah belajar menyempurnakan perannya, sekarang, bagaimana denganmu perempuan?

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar