Skip to main content

TentangMaaf

Sudah lama pengen nulis tentang ini, nanggepin tulisannya Dilla. Mau masukin di comments, berasa panjang banget, jadinya nulis disini.
Udah gitu...karena lama terpendam, ada inspirasi baru deh.


---
Tentang Maaf

Perempuan itu sedang berpikir-pikir...kepada siapakah akhir-akhir ini paling banyak minta maaf dan dimintai maaf?

Selama selang berapa waktu sekali, ia menghubungkan HPnya dengan HP lelaki di belahan bumi lain. Pada jam tertentu, hubungan itu adalah untuk ajakan untuk memenuhi undangan perjamuan denganNya, kali lain adalah hanya sekedar pernyataan 'i m thinking `bout u deeply'.

Yang juga tak kalah sering adalah adanya permintaan khasnya,
"Kaka chatting yuuu..." atau
"Boleh chatting sekarang?"


Di ujung sana, komentar yang datang beragam,
"Tunggu 15 menit lagi yaa",
"Ade, ini dah mau tidur" atau
"Malam aja yaa..."


Nyatanya meski kepayahan, karena harus pergi ke warnet, lelaki itu senantiasa berusaha memenuhi permintaan istrinya itu. Seringkali hambatan datang, membuatnya hadir melewati waktu yang ditetapkan. Sekali waktu alasannya adalah antrian yang panjang, kali lain ketiduran. Koneksi pun tak selalu manis. Ada masa speaker yang bermasalah, sampai komputer nge-hang hingga ia harus berganti warnet (warnet sodara-sodara, bukan komputer lagi...).

Dan sesaat setelah mereka berdua menggulung bentangan jarak, ia selalu meminta maaf.
"Maaf ya ka, selalu merepotkan"

Maaf tanpa keinginan untuk tidak mengulanginya kemudian. Karena telepon permintaan itu tetap berulang, dan ia tetap merepotkan.

Pun lelaki itu, selain karena keterlambatan, dia sering meminta maaf karena banyak permintaan yang tak bisa dipenuhinya, atau karena banyak hal yang (ia rasa) belum ia lakukan untuk istrinya itu.

Nyatanya, setidaknya kata maaf itu membuatnya teringatkan untuk mengikhlaskan segala apa yang terjadi. Ikhlash itu artinya, menerima dengan lapang dada, dan tak mengungkit-ungkitnya sebagai kesalahan satu sama lain di kemudian hari.

---

Tidak terlalu nyambung tapi masih terkait, aku tak tahu apakah kemudian maaf itu menjadi suatu barang yang murah atau tidak. Aku pikir alasan untuk meminta maaf itu sudah cukup jelas. Tapi apakah alasan untuk memberi maaf?

Dulu pertanyaan ini pernah memenuhi benakku. Mungkin aku cukup beruntung, tak ada orang yang pernah menyakiti hati sampai rasanya dalam dan fatal, hingga tak mampu memaafkan. Aku memang mudah terluka sekaligus mudah lupa sakit itu hingga tak perlu menunggu lama, sampai aku merasa lega untuk memaafkan.

Tapi aku masih menemukan fenomena orang yang menyakiti orang lain lahir batin, sehingga orang itu terluka sedemikian dalam, hingga untuk sebuah maaf saja rasanya sangat sulit. Sampai memutuskan hubungan persaudaraan, atau permusuhan hingga sekian turunan. Sampai seberapa sakitkah kita boleh tidak memaafkan?

Pertanyaaan itu kemudian baru tuntas terjawab saat aku menemukan ini.

Di Quran surat an nuur ada cerita tentang hadist ifki atau berita bohong. Tentang bunda Aisyah yang difitnah dan dituduh melakukan perbuatan tercela. Tak ada saksi lain, hingga Allah lah yang kemudian membersihkan namanya dengan firmanNya.

Saat itu penduduk Madinah terbagi dua, ada yang sangat percaya pada kesungguhan akhlaq bunda Aisyah, ada pula yang lebih percaya berita itu, bahkan ikut menyebar-nyebarkannya. Beberapa kerabat Abu Bakar ra, ayahanda Aisyah, yang selama ini beliau santuni, ikut menyebarkannya dari mulut ke mulut.

Tak terbayangkan sakit hatinya beliau, mengetahui kerabatnya sendiri yang selama ini dibantunya, ikut menyebar-nyebarkan berita bohong tentang putrinya terkasih. Abu Bakar menjadi marah, dan berjanji untuk menghentikan bantuan finansial kepada mereka, saudara-saudaranya yang ikut menyebarkan fitnah ini. Dan apa yang Allah firmankan untuk mengingatkan Abu Bakar?

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu?
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
(QS 24:22)


Kemudian Abu Bakar membatalkan janjinya itu, dan ia tetap menyantuni kerabatnya itu.

Ternyata, itulah satu-satunya alasan kuat memaafkan. Barangkali kita boleh menolak untuk memberikan maaf pada orang lain, bila kita sudah tak inginkan lagi ampunanNya.

Comments

sarah said…
setuju.. setuju!

Selamat hari raya mbak Rieska..

Maaf Lahir Batin..

Moga ALlah berkati kalian berdua! Ameen ya Robbal 'alameen..
rieska oktavia said…
Makasih yaa...
Jazaakillah khair untuk doanya
dils said…
Hiks, gitu ya, mbak...
makasih buat pesan2nya, udah mengingatkan...
Mbak Riska, "Lintasannya" saya link, ya...
Makasi sebelumnya...
rieska oktavia said…
To Dilla,
sama-sama...^_^
u know, that ur thought in ur blog ve been made me think deeply and wanna write a lot comments on it. but sometimes, i couldnt make it clear as in verbal comments :)
doozo kalo mo dilink

::doozo=silakan (japanese)
Anonymous said…
Subhanallah tulisan2 teh Rieska ini bagus2 dan penuh hikmah. Tak segan saya mem-bookmark link website ini.
Jazakallahu khairan katsira. salam dari bandung
-dani-

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar