Skip to main content

Bunda

Dulu aku pernah menulis tentang ayah disini, menjelang ulang tahunnya yang ke 49. Sekarang bukan ulang tahun bunda, tapi aku ingin menulis tentangnya disini.

Tak banyak yang kuingat. Karena saat kecil ia lebih banyak sibuk dengan adik-adik, sementara aku lebih banyak diasuh ayah. Apalagi anak perempuan satu-satunya ini juga kelewat mandiri. Banyak hal yang tak dibagi dengannya, sehingga dalam hati ia seringkali bertanya-tanya tentang aku. Tapi biar sedikit, kutulis saja.

Bunda di benakku, tak seperti bunda dalam banyak bayangan. Tidak anggun, tidak lembut, tidak ayu, tidak rapi, tidak... apalagi ya? Tidak seperti sosok bunda yang ada pada film, cerita, ataupun sinetron.

Seingatku, ia gagah tapi perasa. Pemain volley yang sangat hebat. Bakat yang sama sekali tak kupunya. Rasanya sebelah jari ini bisa menghitung berapa kali servis volleyku masuk.

Dia juga pintar memasak dan membuatku selalu berpikir, kenapa harus memasak selama ada mamah? Bahkan setelah aku menikah, setiap pagi, ia tetap memanggil-manggil kami untuk makan. Papap dan mamah senang sekali memasakkan makanan untuk putri manjanya ini.

Alhamdulillah bakat ini tertular kepada adikku yang menjamuku dengan sangat baik kala aku main ke rumahnya (sebaliknya, ia kelaparan saat aku jamu di rumahku :D). 'Penyakit' ini pun terlihat menggejala pada lelaki yang baru datang itu. Membuat kedua pipi ini semakin enak untuk dicubit karena gembilnya. Siapa sih yang tak lahap makan kalau dimasakin?

Ah bukan hanya itu...

Dia juga seperti para bunda dalam bayangan. Para bunda terkenal kuat, selalu penuh perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian. Pun bundaku...

Rumah kami dulu jauh dari kota: Banjaran, kabupaten Bandung. Padahal sekolah SMP, SMU, sampai kampusku ada di pusat kota Bandung. Bada subuh aku harus pergi sekolah, ditemani fajar. Hingga aku selalu menatap langit, menunggu-nunggu apa yang akan dilukisNya untukku setiap pagi.

Dan untuk ongkos, mamah membuat es teh yang dititipkan di warung-warung. Aku dan adik-adik pergi mengantar dan mengambil termosnya setiap pagi dan petang. Aku ingat, rasa malu pernah hinggap. Apalagi saat itu aku beranjak remaja. Tapi kekuatan dan keyakinannya membuat rasa itu hilang.

Saat di bangku kuliah, menjelang kelulusan, aku harus selalu berebut cucian dengannya. Aku harus mengunci kamar rapat-rapat. Bila tidak, maka baju-baju kotor akan hilang, dan beberapa hari kemudian baju-harum-tersetrika-rapi datang. Membuat mataku berkaca-kaca kala malas belajar... Tangan-tangan itu ya Rabb mengucek-ngucek baju kotorku...

Ah mamah...lagi-lagi malam ini kupandangi foto kita sekeluarga. Ada rindu yang menggigit, apalagi mengingat bentangan jarak antara Tokyo-Bandung. Seperti dulu, doaku saat menatap foto masih saja sama...

Ya rahman...titip kedua orang tuaku...jagalah meraka dalam taqwa hanya kepadaMu
Mohon ampunilah mereka, dan berilah hidayah bagi mereka
Kumpulkanlah kami di syurgaMu...
aamiin...

Comments

eka said…
Kenapa ya setiap kita ingat Ibu, selalu dibarengi dada sesak dan mata berkaca2. Begitu appreciate-nya, saat ingat kejelekan2 ibu kitapun, dengan lapang hati kita berkata, ibu kan manusia biasa tidak pernah lepas dari kesalahan dan kekurangan. Mungkin karena beliau satu-satunya orang yg paling kita percaya. Dan sejahat-jahatnya seorang wanita, nggak mungkin tega menyakiti anaknya sendiri.

Tapi bagaimana ya dgn berita2 ttg kaum ibu yg membunuh anak yg dilahirkan sendiri? karena malu akan aib atau kesulitan ekonomi yg akan ditanggungnya jika sang bayi dibiarkan terus hidup.
Sekali lagi, mungkin, Ibu tetap manusia biasa yang mudah khilaf. Dan saya kira para ibu yg telah melakukan hal keji tsb, akan dikejar2 oleh penyesalannya sendiri.
Wallahualam.
dils said…
iya, setuju juga sama Mbak Eka, setiap kali ingat ibu, selalu jadi mengharu biru. Rasanya jadi nyesek, pengen nangis. Apalagi kalo udah lama banget nggak ketemu.
*hiks*
rieska oktavia said…
Iya mba eka, dil, memang begitulah kira2. Meskipun kalo saya kadang mengharu birunya pas jauhan. Pas ketemu mah heboh melulu. Huhu...

Tentang ibu yang membunuh bayinya, saya asli masih ga kebayang... Belum jadi ibu, rasanya belum tahu. Tapi kalau ada yang tega melakukan itu. Mungkin itu berarti lilitan emosi dan pengaruh setannya gede banget yaa...sampe2 yang kata orang normal ga mungkin dilakukan ternyata dilakukan juga...

Smoga kita semua terhindar dari hal-hal yang demikian yaa. Aamiin...
Anonymous said…
ibu ya...,mungkin saya kali satu2nya orang di dunia ini yg selalu mengeluh ttg ibu. ibu saya bukan seorang yang profesional, kadang galak, dan suka marah2..

tp saya juga sedih, karena tidak bisa jd anak lelaki kebanggaannya...

satu alasan katanya...
saya tak pernah bisa MANDIRI......

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R