Skip to main content

Setara

Jalan-jalan ke annida online, dan nemu tulisan bagus. Berkesan banget, tulisannya sakti wibowo. Berikut ini cuplikannya:

Apakah aku mulai menimbang-nimbang tentang keimanan? Aku tak tahu. Yang kurasakan hanyalah rasa penerimaan yang begitu mewah. Mungkin benar kata Shameer, tak ada yang lebih realistis dalam kehidupan ini selain kesetaraan. Secara naluriah, manusia membutuhkan persamaan hak, sebuah tuntutan sederhana yang telah begitu purba. Cermin yang kulihat tadi dengan nyata memproyeksikan kebersamaan dan kesetaraan. Tak ada cinta yang perlu merana. Bahkan, seorang kulit hitam leluasa untuk mencintai saudaranya yang berkulit putih. Alangkah….

selengkapnya

Dulu perasaan tersisihkan dari kelas sosial yang ada pernah menghantui pikiran. Seorang lulusan SD pinggiran kota, masuk ke SMP favorit kota bandung. Disadari atau tidak, merasa berbeda adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi. Rata-rata anak-anak yang sekolah disitu berasal dari keluarga terpelajar dan berada. Pinter-kaya-cakep pula.

Aku cukup bersyukur, tak sampai kesepian. Masih ada beberapa kawan dekat, yang rata-rata orang-orang yang lebih dulu membuka diri. Mengikis kesungkanan hati sehingga bisa berteman dekat.

Mungkin perasaan itu terlalu berlebihan tapi nyata adanya. Baru setelah masuk smu, ada lingkungan yang lebih leluasa dimana kita tak banyak dinilai dari merk baju atau sepatu yang dipakai. Tapi di lingkungan itu pun kemudian terjadi lagi pengelasan sosial, antara orang-orang yang hafalannya lebih banyak, lebih berpengetahuan, lebih sholih, dsb.

Rupanya kelas sosial itu adalah sebuah kenyataan yang tak pernah bisa dihindari. Ada dalam setiap komunitas sosial manusia. Yang lebih penting kemudian adalah adanya kesetaraan pada hak-hak dasar yang ada. Hak untuk diterima, tidak disakiti, disisihkan, dsb.

Rasa diterima, pada suatu komunitas itu adalah sebuah hal yang cukup mendasar untuk membuat sebuah komitmen. Meskipun kita kemudian menjadi terasing ataupun aneh di komunitas lain (karena tak mungkin menyenangkan banyak orang).

...

Duuh...mau ngomong apa sih ini???

Cuman pengen bilang, betapa ajaran agama kita sudah mengajarkan hal yang begitu manis dan indah tentang persamaan. Tentang persaudaraan tanpa memandangang kulit, suku, bangsa, dsb. Tapi pada kenyataannya sulit sekali berkompromi dengan perasaan kita sendiri.

Kendalanya macam-macam, sebagian besar berasal dari diri kita sendiri. Salah satunya misalnya adalah kendala bahasa.

Terlunta-lunta di bandara Casa, dengan sekeliling orang muslim misalnya, tak lantas membuat otimatis rasa ukhuwah itu hadir. Saling menanggung beban malah kemudian hadir dengan seorang ibu dari Kanada. Alasannya sederhana: karena kami bisa berbicara dengan bahasa Inngris dan punya niatan untuk berbagi sebagai sesama orang yang terdampar.

Ada juga ibu dari Libya, yang tak pandai bahasa Inggris. Ia berbicara denganku dengan patahan sedikit kata bahasa arab yang aku tahu dari Al Quran.

Rupanya memang, selain niatan dari hati, pengetahuan untuk menyambungkan diri juga harus terus digali supaya nilai-nilai yang indah itu jadi lebih terasakan. Satunya kesatuan bahasa.

Belajar bahasa arab yuk...

Comments

sarah said…
bagus Ries..

terus belajar yuk..
semoga kita dapat berbagi dengan lebih ramai orang..
menzahirkan semangat berukhuwah yang kuat di dalam hati..
kasihan.. semangat itu terdampar disebabkan bahasa..

Thanks for inspiring..

Wassalam

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R