Skip to main content

Tigasatuduabelasnolempat

Tiga satu desember, turun salju di Tokyo. Lebih deras dari yang dua hari sebelumnya. Hanya tiga jam saja, tapi cukup untuk memutihkan komaba. Aku mengintip dari jendela, melihat hamparan serupa gula halus mulai menghiasi pepohonan, ranting, bunga dan daun, juga atap serta jalan.

Potongan terakhir pisang goreng selesai kumakan, saat aku membaca tulisan di blog imb.'Masihkan kita bisa makan dengan enak, ketika saudara kita tak punya sebutir nasipun untuk dimakan?' tulisnya.

Ya. Pisang goreng itu terasa enak sekali, aku habis banyak. Makan berdua kawan se-asrama yang datang ke kamar untuk ikut nge-print. Tapi dia hanya makan dua atau tiga potong. Sisanya, sewadah penuh aku yang habiskan.

Aku masih makan enak...

Sejak kemarin-kemarin, berita Aceh ini memang menyesakkan dada, membuat airmata ini mengucur. Ada cemas, sedih, khawatir, dsb. Apalagi mencari/mendengarkan kabar tentang keluarga-keluarga kenalan. Tak lupa, kutelp mama di rumah untuk mengingatkan agar baju-baju yang tak seberapa di rumah bisa dititipkan kepada lembaga terkait untuk ikut disumbangkan.

Tapi aku tetap makan dengan lahap. [Semenjak aku merasa khawatir dengan kesehatanku, aku lebih peduli untuk memasak dan makan dengan cara yang lebih baik meski itu sedikit menghabiskan waktu]. Keinginan untuk menjadi sukarelawanpun hanya ada pada bayangan. Penggalangan dana pun masih sebatas bantu-bantu sebisanya, belum sampai mengerahkan seluruh kemampuan diri.

Berpikir tentang ini, membuatku mengulang ingatan tentang dua hal yang amat aku idam-idamkan tahun ini. Menjadi orang yang lebih bertanggung jawab serta menjadi orang yang lebih mampu mencintai orang lain dan bekerja sama dengan mereka.

Dua hal yang aku makin hari makin merasa, karakter itu masih sangat jauh dari jiwa ini. Baru sebatas di hati, belum sampai berbuah menjadi suatu tindakan, apalagi terasakan oleh lingkungan.

Bahkan hingga waktu sampai di ujung tahun, memburuk atau membaikkah diri ini?

Aku membayangkannya dengan rasa ngeri. Pesan demi pesan tentang kematian yang menghampiri belum mampu membuatku melesat maju. Rasa-rasanya sama saja. Hiks... Sama? Artinya kau merugi!
Lebih buruk? Benar-benar celaka, wahai jiwa!

Astaghfirullah...

Kumohon ampunanMu ya Rabb. Untuk segala kelemahan yang ada pada jiwa ini.
Tolong sayangi kami.
Hapuskanlah sifat-sifat yang buruk, dan gantilah ia dengan sifat-sifat baik, lebih banyak, lebih kental di jiwa.
Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa, Berkehendak, Penyayang, dan Pemberi Rahmat...

Aamiin

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar