Dipikir-pikir, ko niat banget ya, nulis sampe tiga bagian...udah gitu, ga biasa-biasanya cerita detil tentang satu event.
Sesampainya di stasiun, bayangan manusia yang menyemut terlihat nyata. Tak hanya di depan loket tiket, tapi juga di halte bis, dan tempat menyetop taksi. Kami hanya bertatapan. Akhirnya seorang kawan menelepon suaminya, menanyakan dan meminta kemungkinan jemputan. Sepertinya bisa, tapi harus menunggu entah satu-dua jam, karena jalanan pun macet. Tol juga tak bisa dipakai katanya.
"Nanti diantar saja sama suami, kita tunggu sama-sama." kata kawanku.
"Duh tapi mungkin harus sampai shibuya...jauh sekali." Aku merasa tak enak merepotkan.
Kami berempat (berlima plus adik kecil yang tampak polos di kereta dorongnya) terbagi dua aliran arah kereta. Dua kawan muslimah ina, serta aku dan seorang muslimah jepang.
Sebuah trem lewat dengan frekuensi yang lebih sering di depan kami.
"Trem ini sampai waseda, kita bisa naik, lalu jalan ke nishi-waseda kemudian ganti kereta sampai kudanshita, lalu ke rumah" usul kawanku yang lain seorang muslimah jepang yang rumahnya satu line kereta denganku. Ah, tentang ini pun baru kutahu sore tadi, saat berbincang-bincang.
Akhirnya dia menelepon, menanyakan kemungkinan jalur tersebut. Sambil menunggu kami berjalan ke arah toko sushi. Adik kecil lapar, dan aku sendiri baru sadar kalau sudah keroncongan. Akhirnya kami membeli beberapa sushi disana.
"Tak bisa, jalur Ginza dan Hibiya tak bisa dipakai." kabar kawanku.
Tak ada pilihan lain, kembali ke masjid, menunggu jemputan saja. Sebelum berbalik, sempat kuliah kereta lewat yang tak berhenti di stasiun kami itu. Ah, tapi kami bisa naik kereta itu di satu stasiun setelah ini, lalu berhenti di shibuya. Dari shibuya, kalau tak ada kereta, bisa pakai bis sampai beberapa stasiun terdekat.
"Boleh minta diantar sampai ikebukouro saja, ya." pintaku sambil menyebut stasiun setelah stasiun ini.
Ia mengangguk.
Kami pun kembali ke masjid. Saat itu sholat jamaah maghrib sudah dimulai. Kawan-kawan lain terheran-heran dengan kembalinya kami. Tak kalah heran ketika hari semakin malam, satu persatu kawan-kawan lain berdatangan.
Sushi kami makan sama-sama. Tak lama, hidangan makan malam yang dimasak brother datang. Masakan srilangka, lengkap dengan saladnya. Kami makan bersama-sama, meski hanya sedikit saja mengingat suami kawanku sudah datang dan menunggu di luar.
Akhirnya kami pulang dengan mobil itu, ditambah dua orang penumpang tambahan, dua-duanya muslimah jepang. Salah satunya mba yang membaya bayi tiga bulan yang berniat jalan sampai ke stasiun ikebukoro. Jarak antara dua stasiun lumayan juga, loh.
Di sana manusia menyemut. Tapi meski begitu kami masih bisa menemukan kereta ke shibuya, dan di shibuya pun menemukan kereta pulang. Alhamdulillah...sampai di rumah selamat meski dalam kondisi super pegal dan kehausan pada pukul 10 malam. *biasanya aku pulang dari masjid saat maghrib.
***
Nyatanya pikiranku menerawang mengenang hari itu. Tentang ketakpastian, ketakbiasaan, dan bagaimana Allah masih melindungi kami dari gempa berkekuatan 5-6 SR ini. Tak ada korban, katanya. Alhamdulillah.
Aku juga mencatat dengan baik, bahwa lain kali aku harus punya jadwal alternatif bis, tak hanya mengandalkan kereta.
Disisi lain, terjebak selama berjam-jam di masjid memberi kesempatan untuk lebih saling mengenal, saling bercerita banyak hal. Menguatkan jalinan ukhuwah antar muslimah berbagai bangsa. Kami juga sempat menulisi kartu kenangan untuk seorang muslimah yang akan pulang ke negaranya, mesir, pada tengah agustus ini.
Aku juga merasa semakin menyayangi mereka. Apalagi rekan muslimah yang menjadi kawan seperjalananku. Semangatnya belajar Islam dan mengikuti kelas kami selama ini, juga permasalahan-permasalahan yang melingkupinya, membuatku bertambah kagum. Ah, smoga saja aku bisa lebih baik sejak ini. Tak hanya menyampaikan ilmu di kelas, tapi juga menjadi saudara yang seharusnya, yang mencintai mereka karenaNya dengan sepenuh jiwa. Aamiin ya Rahman...
Dan yang penting, senantiasa meluruskan niat dan berdoa saat pergi keluar rumah, karena kita tak tahu, apakah kita akan pulang atau tidak...
Sesampainya di stasiun, bayangan manusia yang menyemut terlihat nyata. Tak hanya di depan loket tiket, tapi juga di halte bis, dan tempat menyetop taksi. Kami hanya bertatapan. Akhirnya seorang kawan menelepon suaminya, menanyakan dan meminta kemungkinan jemputan. Sepertinya bisa, tapi harus menunggu entah satu-dua jam, karena jalanan pun macet. Tol juga tak bisa dipakai katanya.
"Nanti diantar saja sama suami, kita tunggu sama-sama." kata kawanku.
"Duh tapi mungkin harus sampai shibuya...jauh sekali." Aku merasa tak enak merepotkan.
Kami berempat (berlima plus adik kecil yang tampak polos di kereta dorongnya) terbagi dua aliran arah kereta. Dua kawan muslimah ina, serta aku dan seorang muslimah jepang.
Sebuah trem lewat dengan frekuensi yang lebih sering di depan kami.
"Trem ini sampai waseda, kita bisa naik, lalu jalan ke nishi-waseda kemudian ganti kereta sampai kudanshita, lalu ke rumah" usul kawanku yang lain seorang muslimah jepang yang rumahnya satu line kereta denganku. Ah, tentang ini pun baru kutahu sore tadi, saat berbincang-bincang.
Akhirnya dia menelepon, menanyakan kemungkinan jalur tersebut. Sambil menunggu kami berjalan ke arah toko sushi. Adik kecil lapar, dan aku sendiri baru sadar kalau sudah keroncongan. Akhirnya kami membeli beberapa sushi disana.
"Tak bisa, jalur Ginza dan Hibiya tak bisa dipakai." kabar kawanku.
Tak ada pilihan lain, kembali ke masjid, menunggu jemputan saja. Sebelum berbalik, sempat kuliah kereta lewat yang tak berhenti di stasiun kami itu. Ah, tapi kami bisa naik kereta itu di satu stasiun setelah ini, lalu berhenti di shibuya. Dari shibuya, kalau tak ada kereta, bisa pakai bis sampai beberapa stasiun terdekat.
"Boleh minta diantar sampai ikebukouro saja, ya." pintaku sambil menyebut stasiun setelah stasiun ini.
Ia mengangguk.
Kami pun kembali ke masjid. Saat itu sholat jamaah maghrib sudah dimulai. Kawan-kawan lain terheran-heran dengan kembalinya kami. Tak kalah heran ketika hari semakin malam, satu persatu kawan-kawan lain berdatangan.
Sushi kami makan sama-sama. Tak lama, hidangan makan malam yang dimasak brother datang. Masakan srilangka, lengkap dengan saladnya. Kami makan bersama-sama, meski hanya sedikit saja mengingat suami kawanku sudah datang dan menunggu di luar.
Akhirnya kami pulang dengan mobil itu, ditambah dua orang penumpang tambahan, dua-duanya muslimah jepang. Salah satunya mba yang membaya bayi tiga bulan yang berniat jalan sampai ke stasiun ikebukoro. Jarak antara dua stasiun lumayan juga, loh.
Di sana manusia menyemut. Tapi meski begitu kami masih bisa menemukan kereta ke shibuya, dan di shibuya pun menemukan kereta pulang. Alhamdulillah...sampai di rumah selamat meski dalam kondisi super pegal dan kehausan pada pukul 10 malam. *biasanya aku pulang dari masjid saat maghrib.
***
Nyatanya pikiranku menerawang mengenang hari itu. Tentang ketakpastian, ketakbiasaan, dan bagaimana Allah masih melindungi kami dari gempa berkekuatan 5-6 SR ini. Tak ada korban, katanya. Alhamdulillah.
Aku juga mencatat dengan baik, bahwa lain kali aku harus punya jadwal alternatif bis, tak hanya mengandalkan kereta.
Disisi lain, terjebak selama berjam-jam di masjid memberi kesempatan untuk lebih saling mengenal, saling bercerita banyak hal. Menguatkan jalinan ukhuwah antar muslimah berbagai bangsa. Kami juga sempat menulisi kartu kenangan untuk seorang muslimah yang akan pulang ke negaranya, mesir, pada tengah agustus ini.
Aku juga merasa semakin menyayangi mereka. Apalagi rekan muslimah yang menjadi kawan seperjalananku. Semangatnya belajar Islam dan mengikuti kelas kami selama ini, juga permasalahan-permasalahan yang melingkupinya, membuatku bertambah kagum. Ah, smoga saja aku bisa lebih baik sejak ini. Tak hanya menyampaikan ilmu di kelas, tapi juga menjadi saudara yang seharusnya, yang mencintai mereka karenaNya dengan sepenuh jiwa. Aamiin ya Rahman...
Dan yang penting, senantiasa meluruskan niat dan berdoa saat pergi keluar rumah, karena kita tak tahu, apakah kita akan pulang atau tidak...
Comments
---umm nida---