MAKANAN
Salah satu persoalan yang lumayan berat yang dihadapi disini adalah makanan, karena sedikitnya makanan yang bisa dimakan.
Pertama adalah karena daging sembelihannya tak bisa dimakan, sehingga bila ingin makan daging kita harus beli di toko khusus yang menjual daging halal.
Kedua adalah karena masakan disini hampir semuanya menggunakan sake dan mirin sebagai bumbu masakan, pemberi citarasa.
Ketiga belum ada MUI yang memeriksa kehalalan suatu produk sehingga kita harus mengenali sendiri kandungan bahan makanan, sesuai dengan yang tertera pada kemasan.
Selain berbicara tentang makanan segar, ini juga tentu berlaku untuk turunannya, misalnya keripik rasa daging, mie instan (yang ini sering ada daging babi atau ekstraknya malah), dsb.
Di awal kedatangan, kebingungan yang terjadi adalah karena saya buta kanji, saya hanya berani membeli produk kemasan yang sudah direkomendasikan. Begitupun ketika makan di kantin, pilihannya sangat terbatas, menunggu dari orang yang lebih tau, yang mana yang bisa dimakan.
Alhamdulillah...banyak saudara=banyak petunjuk=banyak bantuan yang saya peroleh. Misalnya, dimana toko halal, bagaimana memilih makanan, terutama beberapa terkait kebutuhan yang cukup sering dipakai dan rawan kandungannya.
Memasak kemudian menjadi suatu keharusan. Alhamdulillah bekal-bekal bumbu instan masih ada untuk masa adaptasi sebelum bisa masak betulan, hehe...
Beberapa hari setelah awal kedatangan, lab saya bermaksud mengadakan welcome party buat saya, dan mereka menanyakan makanan yang bisa saya makan. Mereka bermaksud membeli pizza. Saya sungguh tak tahu.
Saya lalu bilang,
"Kudamono dake ii desu" (buah-buahan aja cukup deh).
Tapi mereka masih tak terima. Akhirnya sms kesana sini, disarankan minta pizza seafood atau pizza untuk vegetarian. Hemm...
Akhirnya malam itu saya makan apel, pisang, dan anggur, plus seafood pizza, hehe...kombinasi ajaib.
Di asrama ceritanya lain lagi. Sesuai sunnah Rasul, saya belajar membiasakan diri bagi-bagi makanan. Nyatanya mereka yang rata-rata tak beragama, juga senang, apalagi kalau mendapat kiriman cake atau kue. Tak peduli itu kue adalah eksperimen saya yang ke-kue-annya masih dipertanyakan. Komentar mereka senantiasa sama.
"Oishii yo..." (enak loh)
Meskipun dari pandangan mata saya coba mengira-ngira...ini enaknya banget, lumayan, atau biasa aja (asal layak dimakan, hihi...).
Alhamdulillah rasanya tidak terlalu parah ternyata, karena kali lain, saat kawannya salah satu kawan saya itu ulang tahun, dia mengajak saya membuat kue bersama.
Nah, hal tak enaknya adalah mereka kan suka masak babi, jadi saya tak bisa memakan masakan mereka. Walaupun yang mereka masak sayuran ataupun seafood. Jadinya agak tak enak juga. Tapi alhamdulillah biarpun menyimpan keheranan, mereka tetap oke-oke saja.
Yang sering membuat saya terharu adalah kalau pas pulang kampung atau bepergian jauh, mereka sering membawa oleh-oleh buat saya. Sekali waktu masih belum terlatih, bawa mie instan rasa daging, huwaa...sekantung lagi. Dengan berat hati saya hibahkan ke tetangga yang lain.
Tapi kali lain sudah memilihkan yang benar. Kripik buah atau mie instan seafood adalah salah dua yang pernah mereka bawa. Subhanallah..
Saya seringkali sedih, saat dengan semangat 45 mereka menawari makanan.
"Butaniku iranai yo" (Ga ada babinya looh...)
Tiba-tiba binar mata mereka meredup, setelah saya temukan bahan-bahan yang lain
"Chotto...nyukazai arundeskedo...dame desuyone...sumimasen"
(Ngng...maaf yaa...ada emulsifiernya, masih ga bole...maaf)
Kali lain ada makanan mengandung sake yang mereka belum tahu.
Baru setelah beberaoa bulan, mereka benar-benar terlatih. Bahkan sanggup menerangkan kepada kawan yang lain yang baru bertemu saya.
Antara merepotkan mereka yang memberatkan hati, dan keterharuan melihat kesedian mereka memahami, seringkali menghangatkan hati saya. Bila makan di luar kami harus berputar-putar mencari restoran yang menyediakan makanan yang bisa saya makan.
Pernah pula, teman di lab ada yang sengaja membelikan tart strawberry. Kali lain saat masak bersama, kawan di asrama memilih menu seafood, menggunakan bumbu yang bisa saya makan, dan juga menggunakan peralatan memasak saya dan kawan muslim lain, dari mulai pisau, talenan, baskom, sampai panci dan wajan. Padahal dia punya wajan khusus untuk masakan itu yang jauh lebih besar.
Saya selalu berharap bahwa Allah menjaga dan meneguhkan kaum muslimin yang ada di negeri asing seperti ini, agar perutnya hanya diisi dengan makanan yang halal saja. Sungguh neraka lebih berhak membakar daging yang terbiat dari barang yang haram.
Dan sungguh...hiburanNya, menghadirkan orang-orang yang tulus, di tengah kesulitan-kesulitan yang ada adalah bagian dari pertolonganNya pula.
Karena walau bagaimana, persahabatan, tanpa menggadaikan iman kita, adalah hal istimewa yang bisa menghangatkan jiwa di perantauan.
Salah satu persoalan yang lumayan berat yang dihadapi disini adalah makanan, karena sedikitnya makanan yang bisa dimakan.
Pertama adalah karena daging sembelihannya tak bisa dimakan, sehingga bila ingin makan daging kita harus beli di toko khusus yang menjual daging halal.
Kedua adalah karena masakan disini hampir semuanya menggunakan sake dan mirin sebagai bumbu masakan, pemberi citarasa.
Ketiga belum ada MUI yang memeriksa kehalalan suatu produk sehingga kita harus mengenali sendiri kandungan bahan makanan, sesuai dengan yang tertera pada kemasan.
Selain berbicara tentang makanan segar, ini juga tentu berlaku untuk turunannya, misalnya keripik rasa daging, mie instan (yang ini sering ada daging babi atau ekstraknya malah), dsb.
Di awal kedatangan, kebingungan yang terjadi adalah karena saya buta kanji, saya hanya berani membeli produk kemasan yang sudah direkomendasikan. Begitupun ketika makan di kantin, pilihannya sangat terbatas, menunggu dari orang yang lebih tau, yang mana yang bisa dimakan.
Alhamdulillah...banyak saudara=banyak petunjuk=banyak bantuan yang saya peroleh. Misalnya, dimana toko halal, bagaimana memilih makanan, terutama beberapa terkait kebutuhan yang cukup sering dipakai dan rawan kandungannya.
Memasak kemudian menjadi suatu keharusan. Alhamdulillah bekal-bekal bumbu instan masih ada untuk masa adaptasi sebelum bisa masak betulan, hehe...
Beberapa hari setelah awal kedatangan, lab saya bermaksud mengadakan welcome party buat saya, dan mereka menanyakan makanan yang bisa saya makan. Mereka bermaksud membeli pizza. Saya sungguh tak tahu.
Saya lalu bilang,
"Kudamono dake ii desu" (buah-buahan aja cukup deh).
Tapi mereka masih tak terima. Akhirnya sms kesana sini, disarankan minta pizza seafood atau pizza untuk vegetarian. Hemm...
Akhirnya malam itu saya makan apel, pisang, dan anggur, plus seafood pizza, hehe...kombinasi ajaib.
Di asrama ceritanya lain lagi. Sesuai sunnah Rasul, saya belajar membiasakan diri bagi-bagi makanan. Nyatanya mereka yang rata-rata tak beragama, juga senang, apalagi kalau mendapat kiriman cake atau kue. Tak peduli itu kue adalah eksperimen saya yang ke-kue-annya masih dipertanyakan. Komentar mereka senantiasa sama.
"Oishii yo..." (enak loh)
Meskipun dari pandangan mata saya coba mengira-ngira...ini enaknya banget, lumayan, atau biasa aja (asal layak dimakan, hihi...).
Alhamdulillah rasanya tidak terlalu parah ternyata, karena kali lain, saat kawannya salah satu kawan saya itu ulang tahun, dia mengajak saya membuat kue bersama.
Nah, hal tak enaknya adalah mereka kan suka masak babi, jadi saya tak bisa memakan masakan mereka. Walaupun yang mereka masak sayuran ataupun seafood. Jadinya agak tak enak juga. Tapi alhamdulillah biarpun menyimpan keheranan, mereka tetap oke-oke saja.
Yang sering membuat saya terharu adalah kalau pas pulang kampung atau bepergian jauh, mereka sering membawa oleh-oleh buat saya. Sekali waktu masih belum terlatih, bawa mie instan rasa daging, huwaa...sekantung lagi. Dengan berat hati saya hibahkan ke tetangga yang lain.
Tapi kali lain sudah memilihkan yang benar. Kripik buah atau mie instan seafood adalah salah dua yang pernah mereka bawa. Subhanallah..
Saya seringkali sedih, saat dengan semangat 45 mereka menawari makanan.
"Butaniku iranai yo" (Ga ada babinya looh...)
Tiba-tiba binar mata mereka meredup, setelah saya temukan bahan-bahan yang lain
"Chotto...nyukazai arundeskedo...dame desuyone...sumimasen"
(Ngng...maaf yaa...ada emulsifiernya, masih ga bole...maaf)
Kali lain ada makanan mengandung sake yang mereka belum tahu.
Baru setelah beberaoa bulan, mereka benar-benar terlatih. Bahkan sanggup menerangkan kepada kawan yang lain yang baru bertemu saya.
Antara merepotkan mereka yang memberatkan hati, dan keterharuan melihat kesedian mereka memahami, seringkali menghangatkan hati saya. Bila makan di luar kami harus berputar-putar mencari restoran yang menyediakan makanan yang bisa saya makan.
Pernah pula, teman di lab ada yang sengaja membelikan tart strawberry. Kali lain saat masak bersama, kawan di asrama memilih menu seafood, menggunakan bumbu yang bisa saya makan, dan juga menggunakan peralatan memasak saya dan kawan muslim lain, dari mulai pisau, talenan, baskom, sampai panci dan wajan. Padahal dia punya wajan khusus untuk masakan itu yang jauh lebih besar.
Saya selalu berharap bahwa Allah menjaga dan meneguhkan kaum muslimin yang ada di negeri asing seperti ini, agar perutnya hanya diisi dengan makanan yang halal saja. Sungguh neraka lebih berhak membakar daging yang terbiat dari barang yang haram.
Dan sungguh...hiburanNya, menghadirkan orang-orang yang tulus, di tengah kesulitan-kesulitan yang ada adalah bagian dari pertolonganNya pula.
Karena walau bagaimana, persahabatan, tanpa menggadaikan iman kita, adalah hal istimewa yang bisa menghangatkan jiwa di perantauan.
Comments
* s m i l e *
Seneng deh baca blog-nya Teh Rieska. Simple tapi isinya daleem.
Eetoo...mo ngebenerin dikit nih mba, dikalimat "buta ni wa iranai" = ngga ada buta nikunya...mustinya "buta niku wa haitteinai/hairanai" hehe...kanjinya sih sama hairu=iru. Ijou desu.
Ditunggu ya teh tulisan-tulisan yang laen
Wassalamu`alaikum wr.wb
Melia
(yang diem2 penggemar Teh Rieska:))
Kadang-kadang saya bertanya-tanya, dengan apa kalian melewati ini semua, sampai bisa jago banget kayak sekarang ini...
makasih ya sarah ^_^