Skip to main content

About Me & Tokyo [3]

MAKANAN

Salah satu persoalan yang lumayan berat yang dihadapi disini adalah makanan, karena sedikitnya makanan yang bisa dimakan.
Pertama adalah karena daging sembelihannya tak bisa dimakan, sehingga bila ingin makan daging kita harus beli di toko khusus yang menjual daging halal.
Kedua adalah karena masakan disini hampir semuanya menggunakan sake dan mirin sebagai bumbu masakan, pemberi citarasa.
Ketiga belum ada MUI yang memeriksa kehalalan suatu produk sehingga kita harus mengenali sendiri kandungan bahan makanan, sesuai dengan yang tertera pada kemasan.

Selain berbicara tentang makanan segar, ini juga tentu berlaku untuk turunannya, misalnya keripik rasa daging, mie instan (yang ini sering ada daging babi atau ekstraknya malah), dsb.

Di awal kedatangan, kebingungan yang terjadi adalah karena saya buta kanji, saya hanya berani membeli produk kemasan yang sudah direkomendasikan. Begitupun ketika makan di kantin, pilihannya sangat terbatas, menunggu dari orang yang lebih tau, yang mana yang bisa dimakan.

Alhamdulillah...banyak saudara=banyak petunjuk=banyak bantuan yang saya peroleh. Misalnya, dimana toko halal, bagaimana memilih makanan, terutama beberapa terkait kebutuhan yang cukup sering dipakai dan rawan kandungannya.

Memasak kemudian menjadi suatu keharusan. Alhamdulillah bekal-bekal bumbu instan masih ada untuk masa adaptasi sebelum bisa masak betulan, hehe...

Beberapa hari setelah awal kedatangan, lab saya bermaksud mengadakan welcome party buat saya, dan mereka menanyakan makanan yang bisa saya makan. Mereka bermaksud membeli pizza. Saya sungguh tak tahu.

Saya lalu bilang,
"Kudamono dake ii desu" (buah-buahan aja cukup deh).
Tapi mereka masih tak terima. Akhirnya sms kesana sini, disarankan minta pizza seafood atau pizza untuk vegetarian. Hemm...

Akhirnya malam itu saya makan apel, pisang, dan anggur, plus seafood pizza, hehe...kombinasi ajaib.

Di asrama ceritanya lain lagi. Sesuai sunnah Rasul, saya belajar membiasakan diri bagi-bagi makanan. Nyatanya mereka yang rata-rata tak beragama, juga senang, apalagi kalau mendapat kiriman cake atau kue. Tak peduli itu kue adalah eksperimen saya yang ke-kue-annya masih dipertanyakan. Komentar mereka senantiasa sama.
"Oishii yo..." (enak loh)
Meskipun dari pandangan mata saya coba mengira-ngira...ini enaknya banget, lumayan, atau biasa aja (asal layak dimakan, hihi...).

Alhamdulillah rasanya tidak terlalu parah ternyata, karena kali lain, saat kawannya salah satu kawan saya itu ulang tahun, dia mengajak saya membuat kue bersama.

Nah, hal tak enaknya adalah mereka kan suka masak babi, jadi saya tak bisa memakan masakan mereka. Walaupun yang mereka masak sayuran ataupun seafood. Jadinya agak tak enak juga. Tapi alhamdulillah biarpun menyimpan keheranan, mereka tetap oke-oke saja.

Yang sering membuat saya terharu adalah kalau pas pulang kampung atau bepergian jauh, mereka sering membawa oleh-oleh buat saya. Sekali waktu masih belum terlatih, bawa mie instan rasa daging, huwaa...sekantung lagi. Dengan berat hati saya hibahkan ke tetangga yang lain.

Tapi kali lain sudah memilihkan yang benar. Kripik buah atau mie instan seafood adalah salah dua yang pernah mereka bawa. Subhanallah..

Saya seringkali sedih, saat dengan semangat 45 mereka menawari makanan.
"Butaniku iranai yo" (Ga ada babinya looh...)
Tiba-tiba binar mata mereka meredup, setelah saya temukan bahan-bahan yang lain
"Chotto...nyukazai arundeskedo...dame desuyone...sumimasen"
(Ngng...maaf yaa...ada emulsifiernya, masih ga bole...maaf)


Kali lain ada makanan mengandung sake yang mereka belum tahu.

Baru setelah beberaoa bulan, mereka benar-benar terlatih. Bahkan sanggup menerangkan kepada kawan yang lain yang baru bertemu saya.

Antara merepotkan mereka yang memberatkan hati, dan keterharuan melihat kesedian mereka memahami, seringkali menghangatkan hati saya. Bila makan di luar kami harus berputar-putar mencari restoran yang menyediakan makanan yang bisa saya makan.

Pernah pula, teman di lab ada yang sengaja membelikan tart strawberry. Kali lain saat masak bersama, kawan di asrama memilih menu seafood, menggunakan bumbu yang bisa saya makan, dan juga menggunakan peralatan memasak saya dan kawan muslim lain, dari mulai pisau, talenan, baskom, sampai panci dan wajan. Padahal dia punya wajan khusus untuk masakan itu yang jauh lebih besar.

Saya selalu berharap bahwa Allah menjaga dan meneguhkan kaum muslimin yang ada di negeri asing seperti ini, agar perutnya hanya diisi dengan makanan yang halal saja. Sungguh neraka lebih berhak membakar daging yang terbiat dari barang yang haram.

Dan sungguh...hiburanNya, menghadirkan orang-orang yang tulus, di tengah kesulitan-kesulitan yang ada adalah bagian dari pertolonganNya pula.

Karena walau bagaimana, persahabatan, tanpa menggadaikan iman kita, adalah hal istimewa yang bisa menghangatkan jiwa di perantauan.

Comments

sarah said…
Sweet-nya Rieska.. rasa macam comel sahaja Ries cerita... erm selamat berpuasa ya Ries.. moga ALlah beri kamu ketabahan dan keberkahan dalam hidup. Ameen

* s m i l e *
Anonymous said…
Assalamu`alaikum wr.wb

Seneng deh baca blog-nya Teh Rieska. Simple tapi isinya daleem.
Eetoo...mo ngebenerin dikit nih mba, dikalimat "buta ni wa iranai" = ngga ada buta nikunya...mustinya "buta niku wa haitteinai/hairanai" hehe...kanjinya sih sama hairu=iru. Ijou desu.
Ditunggu ya teh tulisan-tulisan yang laen

Wassalamu`alaikum wr.wb
Melia
(yang diem2 penggemar Teh Rieska:))
rieska oktavia said…
Kaget, ternyata ada melia. Makasih yaa koreksinya. Ampun deh...dah setaun lewat, tetep aja masih payah banget nihonggonya.
Kadang-kadang saya bertanya-tanya, dengan apa kalian melewati ini semua, sampai bisa jago banget kayak sekarang ini...
rieska oktavia said…
aamiin...
makasih ya sarah ^_^

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar