"It looks tasty, but ginger is not suit with onion"
Seorang kawan asal vietnam mengomentari masakanku malam ini. Tanpa merasakan, hanya menatap dan mencium aromanya. Aku hanya manggut-manggut sambil menikmati sesuap demi sesuap beserta aroma jahe yang menyegarkan penciumanku. Benar juga...persaingan jahe dan bawang dalam aroma dan rasa sepertinya kurang sehat. Meskipun begitu, di lidahku rasanya tetap baik-baik saja, dan aku menghabiskan jatah makan malamku dengan sepenuh hati.
Eksperimenku di dapur kali ini adalah soup ayam jahe. Karena hanya untuk konsumsi diri sendiri, aku mencampur-campur stok bahan makanan yang ada sesukaku saja, tanpa resep. Bila harus memasak kala tamu datang, atau untuk suatu acara khusus, dimana dengan aku diharuskan memasak, barulah aku tanya mbah google, hingga eksperimenku punya guidance yang lebih tepat.
Baru setahun ini, sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di Tokyo aku lebih berani bereksperimen dan mulai meyakini feeling sebagai penakar bahan-bahan untuk menghasilkan suatu masakan. Sebelumnya aku sama sekali tak mengerti bagaimana itu bisa dilakukan!
Dulu aku lebih suka membuat kue. Terutama menjelang lebaran tiba, saatnya berdekat-dekat dengan ibu di dapur. Kadang-kadang di waktu luang aku juga membuat kue untuk keluarga atau untuk memenuhi pesanan tetangga. Lumayan buat tambahan uang saku.
Kenapa kue lebih disukai?
Karena takarannya jelas. Terigu sekian gram, gula sekian gram, dsb. Lain dengan masakan yang sering kali disebutkan garam dan gula secukupnya. Hehe...
Kejelasan itu bagiku sangat penting. Kadang-kadang aku membuat ukuran potongan lengkuas cukup presisi, 1 atau 2 cm misalnya, sesuai resep. Untung saja, aku tak sampai membawa-bawa penggaris ke dapur. Mamah seringkali geleng-geleng kepala dengan kecerewetanku menanyakan berapa buah bawang dan cabai yang harus aku blender kala membuat bumbu balado. Karena kecerewetan itu barangkali ia lebih suka memberi tugas teknis semisal memblender bumbu atau memarut kelapa, ketimbang meracik bumbu. Huwaa..aku jadi senyum-senyum sendiri bila mengingatnya.
Dan ternyata, seiring berjalannya waktu, disini, memasak kue pun aku gunakan feeling. Jarang sekali aku bisa membuat kue yang sama lebih dari sekali. Karena setelah membuatnya sekali, aku suka mencoba perpaduan lain, mengandalkan resep lain. atau hanya sekedar feeling. Misalnya, satu waktu, saat aku buat cheese cake, aku memasukkan lebih banyak terigu. Lalu aku menyadari adonannya lebih mengental dari biasa, lalu aku masukkan saja telur untuk membuatnya sedikit cair. Hasilnya? Alhamdulillah...enak sekali. Tapi saat seorang teteh memintaku mengirimkan resepnya, aku jadi tuing-tuing. Enaknya dikasi resep asli, edisi satu, dua, tiga, atau yang paling baru ini ya? Bentar-bentar...tadi apa aja yang dibuat lebih? Hehe...
Aku juga butuh waktu untuk menetapkan pada diriku bahwa aku harus memasak, atau minimal tahu bagaimana memasak. Dulu, kupikir cukup setelah berumah tangga saja aku belajar memasak. Saat remaja adalah waktunya belajar, berorganisasi dan lain-lain. Tapi pikiranku berubah waktu mamah sakit, dan aku merasa tak berguna. Karena ayahku harus bekerja dan juga memasak. Maka kira-kira akhir masa SMP aku mulai mau belajar memasak.
Saat kuliah aku tergerak lagi memasak karena pada suatu acara untuk penghematan dana, kami harus menyiapkan masakan sendiri. Meski aku lebih sering mendapat tugas bagian acara dari pada konsumsi, mulai kusadari, bahwa keterampilan itu salah satu skill hidup yang penting untuk dimiliki demi keberlangsungan acara. Tak mungkin meminta para lelaki untuk mengambil tanggung jawab itu, karena peran mereka lebih dibutuhkan di banyak posisi lain.
Tapi rasa tak percaya diri masih saja besar sehingga aku lebih suka bekerja di bagian teknis, seperti siap memotong apa saja dari pada yang lebih mengandalkan feeling.
Nyatanya makin lama, aku makin suka menggembargemborkan bahwa setiap orang harus bisa masak, jika ingin bertahan hidup. Tentunya tak perlu sepintar koki ternama, tapi minimal untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Misalnya saat berada di negeri asing seperti ini dimana makanan halal adalah benda langka yang lebih sering harus diciptakan sendiri.
Seorang kawan asal vietnam mengomentari masakanku malam ini. Tanpa merasakan, hanya menatap dan mencium aromanya. Aku hanya manggut-manggut sambil menikmati sesuap demi sesuap beserta aroma jahe yang menyegarkan penciumanku. Benar juga...persaingan jahe dan bawang dalam aroma dan rasa sepertinya kurang sehat. Meskipun begitu, di lidahku rasanya tetap baik-baik saja, dan aku menghabiskan jatah makan malamku dengan sepenuh hati.
Eksperimenku di dapur kali ini adalah soup ayam jahe. Karena hanya untuk konsumsi diri sendiri, aku mencampur-campur stok bahan makanan yang ada sesukaku saja, tanpa resep. Bila harus memasak kala tamu datang, atau untuk suatu acara khusus, dimana dengan aku diharuskan memasak, barulah aku tanya mbah google, hingga eksperimenku punya guidance yang lebih tepat.
Baru setahun ini, sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di Tokyo aku lebih berani bereksperimen dan mulai meyakini feeling sebagai penakar bahan-bahan untuk menghasilkan suatu masakan. Sebelumnya aku sama sekali tak mengerti bagaimana itu bisa dilakukan!
Dulu aku lebih suka membuat kue. Terutama menjelang lebaran tiba, saatnya berdekat-dekat dengan ibu di dapur. Kadang-kadang di waktu luang aku juga membuat kue untuk keluarga atau untuk memenuhi pesanan tetangga. Lumayan buat tambahan uang saku.
Kenapa kue lebih disukai?
Karena takarannya jelas. Terigu sekian gram, gula sekian gram, dsb. Lain dengan masakan yang sering kali disebutkan garam dan gula secukupnya. Hehe...
Kejelasan itu bagiku sangat penting. Kadang-kadang aku membuat ukuran potongan lengkuas cukup presisi, 1 atau 2 cm misalnya, sesuai resep. Untung saja, aku tak sampai membawa-bawa penggaris ke dapur. Mamah seringkali geleng-geleng kepala dengan kecerewetanku menanyakan berapa buah bawang dan cabai yang harus aku blender kala membuat bumbu balado. Karena kecerewetan itu barangkali ia lebih suka memberi tugas teknis semisal memblender bumbu atau memarut kelapa, ketimbang meracik bumbu. Huwaa..aku jadi senyum-senyum sendiri bila mengingatnya.
Dan ternyata, seiring berjalannya waktu, disini, memasak kue pun aku gunakan feeling. Jarang sekali aku bisa membuat kue yang sama lebih dari sekali. Karena setelah membuatnya sekali, aku suka mencoba perpaduan lain, mengandalkan resep lain. atau hanya sekedar feeling. Misalnya, satu waktu, saat aku buat cheese cake, aku memasukkan lebih banyak terigu. Lalu aku menyadari adonannya lebih mengental dari biasa, lalu aku masukkan saja telur untuk membuatnya sedikit cair. Hasilnya? Alhamdulillah...enak sekali. Tapi saat seorang teteh memintaku mengirimkan resepnya, aku jadi tuing-tuing. Enaknya dikasi resep asli, edisi satu, dua, tiga, atau yang paling baru ini ya? Bentar-bentar...tadi apa aja yang dibuat lebih? Hehe...
Aku juga butuh waktu untuk menetapkan pada diriku bahwa aku harus memasak, atau minimal tahu bagaimana memasak. Dulu, kupikir cukup setelah berumah tangga saja aku belajar memasak. Saat remaja adalah waktunya belajar, berorganisasi dan lain-lain. Tapi pikiranku berubah waktu mamah sakit, dan aku merasa tak berguna. Karena ayahku harus bekerja dan juga memasak. Maka kira-kira akhir masa SMP aku mulai mau belajar memasak.
Saat kuliah aku tergerak lagi memasak karena pada suatu acara untuk penghematan dana, kami harus menyiapkan masakan sendiri. Meski aku lebih sering mendapat tugas bagian acara dari pada konsumsi, mulai kusadari, bahwa keterampilan itu salah satu skill hidup yang penting untuk dimiliki demi keberlangsungan acara. Tak mungkin meminta para lelaki untuk mengambil tanggung jawab itu, karena peran mereka lebih dibutuhkan di banyak posisi lain.
Tapi rasa tak percaya diri masih saja besar sehingga aku lebih suka bekerja di bagian teknis, seperti siap memotong apa saja dari pada yang lebih mengandalkan feeling.
Nyatanya makin lama, aku makin suka menggembargemborkan bahwa setiap orang harus bisa masak, jika ingin bertahan hidup. Tentunya tak perlu sepintar koki ternama, tapi minimal untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Misalnya saat berada di negeri asing seperti ini dimana makanan halal adalah benda langka yang lebih sering harus diciptakan sendiri.
Comments
Agyl desukedo....Mmm....setuju juga tulisan yg di cetak tebal, soalnya (kalo mbak pernah liat) saya pernah menulis hal yg sama pada status YMsggr "kudu masak, kalo pengin tetep idup..." secara tak sengaja tanpa pernah membaca satu pun artikel mbak sama sekali....本当だ!! Kedo, takut juga kalo disalahartikan, nanti Allah marah. Alhamdulillah Allah membuatku menyadari hal ini. Jadinya, status diatas kudu direvisi: "kudu masak (sebagai ikhtiar), kalo pengin (Allah turunkan karunianya, sehingga bisa) tetep hidup (sebagai muslim sejati yang hidup mandiri dan tidak mendzolimi diri sendiri dengan tenggelam dalam kemalasan diri yg tak akan surut hingga ajal menjemput. Soalnya yg bikin males itu 2 "alat" yg saling lumayan kompak...Hawa nafsu dan musuh bebuyutan semua manusia, setan laknatullah 'alaih. Jadi kita sebagai muslim kudu bangkit mengontrol hawa nafsu dan mengendalikan diri sendiri, sehingga tidak hanya memasak; belajar, bekerja, beramal, baca Al-Qur'an Al-Karim, dsb (dengan tujuan masing2)juga akan menjadi senjata kita dalam berprestasi di dunia, dan siap dengan "perbekalan" cukup saat mudik ke kampung akherat, tanpa sempat setan membuat tipu daya n' nafsu melalaikan kita)..."
Ya...saya akui status yg direvisi ini cukup panjang, tapi yg saya harapkan ada manfaat yg bisa diambil dari tulisan saya yg tidak seberapa ini (selain bermanfaat untuk mengisi satu 席 kosong dalam commento fairu ini).
Akhirul kalam
Wassalamu'alaikum wr wb
tapi buat kue pon, tak gampang loh mbak. walau takaran nya jelas, sudah ditimbang seakurat mungkin, tetap saja ada faktor2 lain yg menentukan.
sebut saja feeling, atau faktor2 x lainnya.
terkadang, kalo ada bagian tepung yg tumpah (tidak masuk bowl secara sempurna), saya suka berdoa, ya Allah semoga bagian itu ad, bagian yg kelebihan waktu saya menakar tadi, sehingga nanti kuenya tidak keras. .. hehe
terlihat lucu memang,
tapi yang jelas, sebenarnya kata akurat itu gampang2 susah juga ya mbak...
dan yg jelas, manusia emang kudu ikhtiar, dsb