Di dunia ini, salah satu yang paling mengerikan buatku adalah pertengkaran dan segala turunannya, hingga permusuhan sampai peperangan. Satu-satunya perang yang aku mau terlibat di dalamnya adalah peperangan antara hak dan batil, di barisan hak tentu (amin).
Aku ingat dulu ketika aku menjadi senator dulu, aku pernah menahan tangis pada sebuah rapat, ketika ketegangan terjadi. Perdebatan yang memuncak, sampai seseorang pergi meninggalkan rapat sambil membanting pintu. Atau saat lain, saat aku berada di sebuah rumah dan mendengarkan teriakan-teriakan marah suami istri. Aku lebih suka meringkuk di sudut ruang, dan menangis diam-diam.
Kenapa manusia harus marah dan saling menyakiti?
Bukan karena tak boleh berbeda pendapat, bukan karena dilarang berselisih paham, tapi bagiku, pertengkaran itu senantiasa menjadikan emosi negatif sebagai panglima. Merasa diri paling benar, menyalahkan yang lain, kemudian tanpa sadar menyakiti, baik itu kata-kata ataupun fisik.
Betul bahwa kemudian mereka akan saling sadar lalu memaafkan. Tapi sepertinya menyakiti hati itu serupa menancapkan paku pada sebatang kayu. Ketika kau meminta maaf dan ia memaafkannya, maka itu seperti mencabut paku itu kembali. Ada lubang di batang itu, serupa luka yang akan tetap menganga dalam hati.
Hanya sedikit manusia pilihan yang memiliki hati yang sangat lembut, seluas samudra, hingga maaf bagi mereka adalah membalut luka, sampai benar-benar sembuh.
***
Kawanku berkata, bahwa setelah menikah, emosinya lebih mudah meledak. Rasa ingin marah, kesal, dan sebagainya kepada pasangan acapkali muncul. Barangkali karena setan itu senang mengobar-kan api kemarahan agar pasangan yang sudah berkeluarga bertengkar, saling menyakiti kemudian bercerai. Setan akan bersorak-sorai karenanya.
Sejauh ini aku belum pernah bertengkar dan berharap semoga tak pernah bertengkar sampai kapan pun. Kadang-kadang rasa kesal, ingin marah, menyelusup dalam hatiku. Tapi aku berusaha mengeset pikiranku dengan 1001 alasan, praduga baik. Kalau ada waktu yang lebih enak, kadang aku katakan hal itu secara terus terang. Karena aku sendiri tak ingin menahannya, seperti sebagian orang yang bisa berumah tangga dalam bilangan tahun namun kemudian emosinya meledak dan menghasilkan pertengkaran yang sangat hebat.
Betapa tidak, saat kita menahan emosi, maka perasaan yang acapkali muncul adalah merasa diri lebih baik, merasa benar, merasa sudah banyak mengalah. Dan ini adalah perasaan yang sama sekali tak sehat kupikir.
Dan aku pikir sebagian besar penyebab pertengkaran, baik itu perang panas atau pun dingin, terjadi karena salah sangka atau komunikasi yang kurang terjalin baik. Mungkin karena satu sama lain masih menjajagi apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya dilakukan. Tentu maksudnya disini adalah di luar aturan-aturan prinsipil yang sudah jelas aturannya.
Misalnya saja saat aku membayari keperluan dia, maka ada kemungkinan yang akan terjadi: dia akan tersingggung dan merasa direndahkan, atau menerimanya sebagai tanda cinta, atau menolaknya karena sayang dan tak mau merepotkan. Kali lain saat dia memberikan kebebasan padaku untuk sekolah, berada jauh darinya, maka bisa saja aku akan meresa beruntung karena diberi kesempatan untuk belajar banyak atau merasa sedih dan kecewa karena seolah tak dicintai dan tak dibutuhkan keberadaannya.
Pilihan yang sulit bukan?
Kupikir salah satu jawabannya adalah menganalisa itikad. Jujur pada diri sendiri serta pasangan (mengkomunikasikannya). Apakah bentuk cinta, sayang, dan sebaginya itu sudah dalam format yang tepat dan sesuai bagi keduanya. Bila kita hanya bereaksi atas aksi dari itikad itu, maka kemungkinan besar kita akan menemukan banyak kekecewaan-keecewaan. Karena apa yang kita sukai belum tentu yang dia sukai, pun sebaliknya.
Dalam pernikahan, atau hubungan antar manusia yang lain pun, mengalah seringkali menjadi jalan untuk kemenangan bersama. Bandwith toleransi perlu terus diperlebar agar hati kita tak mudah terkoyak bila ada yang tak sesuai dengan kehendak diri.
Saat kekecewaan sudah terjadi, lalu kita kesal dan ingin marah, ajaran Rasulullah SAW dalam menahan marah bisa dijalankan dengan diam, ganti posisi, berwudhu, dan/atau sholat. Mencegah agar jangan ada kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulit kita, apalagi ekspresi marah dengan tindakan fisik.
Dua bulan kami menikah, masih belum seumur jagung. Bentangan jarak membuat jenak-jenak pertemuan masih diluapi rindu dan cinta pengantin baru. Aku tak tahu, bagaimana jadinya saat kami bersama dalam rentang waktu yang lama. Sesuatu yang dekat cenderung akan saling bergesekan. Semoga saja, Allah menolong kami melewati semuanya. Waktu yang mendewasakan, dan kami akan senantiasa saling menyayangi dan saling memperbaiki, untuk menyempurnakan diri dalam berkhidmat kepadaNya.
Amin...
Aku ingat dulu ketika aku menjadi senator dulu, aku pernah menahan tangis pada sebuah rapat, ketika ketegangan terjadi. Perdebatan yang memuncak, sampai seseorang pergi meninggalkan rapat sambil membanting pintu. Atau saat lain, saat aku berada di sebuah rumah dan mendengarkan teriakan-teriakan marah suami istri. Aku lebih suka meringkuk di sudut ruang, dan menangis diam-diam.
Kenapa manusia harus marah dan saling menyakiti?
Bukan karena tak boleh berbeda pendapat, bukan karena dilarang berselisih paham, tapi bagiku, pertengkaran itu senantiasa menjadikan emosi negatif sebagai panglima. Merasa diri paling benar, menyalahkan yang lain, kemudian tanpa sadar menyakiti, baik itu kata-kata ataupun fisik.
Betul bahwa kemudian mereka akan saling sadar lalu memaafkan. Tapi sepertinya menyakiti hati itu serupa menancapkan paku pada sebatang kayu. Ketika kau meminta maaf dan ia memaafkannya, maka itu seperti mencabut paku itu kembali. Ada lubang di batang itu, serupa luka yang akan tetap menganga dalam hati.
Hanya sedikit manusia pilihan yang memiliki hati yang sangat lembut, seluas samudra, hingga maaf bagi mereka adalah membalut luka, sampai benar-benar sembuh.
***
Kawanku berkata, bahwa setelah menikah, emosinya lebih mudah meledak. Rasa ingin marah, kesal, dan sebagainya kepada pasangan acapkali muncul. Barangkali karena setan itu senang mengobar-kan api kemarahan agar pasangan yang sudah berkeluarga bertengkar, saling menyakiti kemudian bercerai. Setan akan bersorak-sorai karenanya.
Sejauh ini aku belum pernah bertengkar dan berharap semoga tak pernah bertengkar sampai kapan pun. Kadang-kadang rasa kesal, ingin marah, menyelusup dalam hatiku. Tapi aku berusaha mengeset pikiranku dengan 1001 alasan, praduga baik. Kalau ada waktu yang lebih enak, kadang aku katakan hal itu secara terus terang. Karena aku sendiri tak ingin menahannya, seperti sebagian orang yang bisa berumah tangga dalam bilangan tahun namun kemudian emosinya meledak dan menghasilkan pertengkaran yang sangat hebat.
Betapa tidak, saat kita menahan emosi, maka perasaan yang acapkali muncul adalah merasa diri lebih baik, merasa benar, merasa sudah banyak mengalah. Dan ini adalah perasaan yang sama sekali tak sehat kupikir.
Dan aku pikir sebagian besar penyebab pertengkaran, baik itu perang panas atau pun dingin, terjadi karena salah sangka atau komunikasi yang kurang terjalin baik. Mungkin karena satu sama lain masih menjajagi apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya dilakukan. Tentu maksudnya disini adalah di luar aturan-aturan prinsipil yang sudah jelas aturannya.
Misalnya saja saat aku membayari keperluan dia, maka ada kemungkinan yang akan terjadi: dia akan tersingggung dan merasa direndahkan, atau menerimanya sebagai tanda cinta, atau menolaknya karena sayang dan tak mau merepotkan. Kali lain saat dia memberikan kebebasan padaku untuk sekolah, berada jauh darinya, maka bisa saja aku akan meresa beruntung karena diberi kesempatan untuk belajar banyak atau merasa sedih dan kecewa karena seolah tak dicintai dan tak dibutuhkan keberadaannya.
Pilihan yang sulit bukan?
Kupikir salah satu jawabannya adalah menganalisa itikad. Jujur pada diri sendiri serta pasangan (mengkomunikasikannya). Apakah bentuk cinta, sayang, dan sebaginya itu sudah dalam format yang tepat dan sesuai bagi keduanya. Bila kita hanya bereaksi atas aksi dari itikad itu, maka kemungkinan besar kita akan menemukan banyak kekecewaan-keecewaan. Karena apa yang kita sukai belum tentu yang dia sukai, pun sebaliknya.
Dalam pernikahan, atau hubungan antar manusia yang lain pun, mengalah seringkali menjadi jalan untuk kemenangan bersama. Bandwith toleransi perlu terus diperlebar agar hati kita tak mudah terkoyak bila ada yang tak sesuai dengan kehendak diri.
Saat kekecewaan sudah terjadi, lalu kita kesal dan ingin marah, ajaran Rasulullah SAW dalam menahan marah bisa dijalankan dengan diam, ganti posisi, berwudhu, dan/atau sholat. Mencegah agar jangan ada kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulit kita, apalagi ekspresi marah dengan tindakan fisik.
Dua bulan kami menikah, masih belum seumur jagung. Bentangan jarak membuat jenak-jenak pertemuan masih diluapi rindu dan cinta pengantin baru. Aku tak tahu, bagaimana jadinya saat kami bersama dalam rentang waktu yang lama. Sesuatu yang dekat cenderung akan saling bergesekan. Semoga saja, Allah menolong kami melewati semuanya. Waktu yang mendewasakan, dan kami akan senantiasa saling menyayangi dan saling memperbaiki, untuk menyempurnakan diri dalam berkhidmat kepadaNya.
Amin...
Comments
Saya agung sastrawan van komaba haha ;-)
Ass. Wr. Wb.
Saya menikmati tulisan nya. Enak di baca. Yg nggak dibaca cuman:...dua bulan...hehehe :) Moga2 perkawinannya barokah.
wass.
agung/
alhamdulillah...
amiin...
makasih doanya
iyah, ini rieska TIT alias tokodai.
emang nemu halaman ini dari mana? :D
-rieska-