Nikmatilah masa-masa awal menikah, supaya bisa dikenang saat nanti anak-anak mulai hadir dan tumbuh di tengah-tengah kita...
Demikianlah salah satu nasihat yang seringkali didengar perempuan yang baru menikah belum genap tiga purnama itu. Saat ia bercerita tentang bagaimana pengalaman barunya menikah. Mata yang berbinar-binar serta pipi yang bersemu merah seringkali menjadi bahan godaan bagi mba-mbanya yang memiliki jam terbang yang cukup tinggi dalam berumah tangga.
Ceritanya itupun kadang mengingatkan lagi senior-seniornya. Mereka pun bisa mengenang banyak hal dari cerita-cerita pasangan muda. Namun tak sedikit pula ada komentar yang mengingatkan perempuan itu untuk bersiap siaga menghadapi fase lain dalam pernikahannya.
Iya, kalau awal-awal semuanya serba baik...nanti tuh...mmmm
Ada yang bilang enaknya menikah itu hanya saat bulan madu, saat bandwith toleransi sedemikan besar. Kekurangan-kekurangan tertutupi karena kacamata cinta yang digunakan. Semua bisa dimaklumi. Setelah itu gesekan akan terjadi, dan yang berbicara kemudian adalah tuntutan-tuntutan.
Perempuan itu menghela nafasnya. Ada masa-masa tertentu, dalam diam ia merenungkan banyak hal.
Belajar dari banyak orang, menimba pengalaman dari berbagai guru kehidupan adalah sama pentingnya dengan membaca sekian banyak buku seperti yang ia lakukan sejak dulu sampai sekarang. Namun pernikahan jauh lebih kompleks dari pendekatan apapun yang pernah ada. Dan setiap pasangan itu sangat unik, seunik setiap orang yang diciptakanNya.
Sehingga pada akhirnya pengetahuan-pengetahuan baik itu teori atau lapangan harus ia kombinasikan dengan intuisi dan bisikan hatinya, untuk memilah dan memilih serta menetapkan tindakan tepat yang perlu ia ambil. Juga dalam memberikan respons atas stumuli yang diberikan lingkungan kepadanya.
Mungkinkah madu itu terasakan sepanjang musim?
Seperti juga iman, yang naik serta turun, dan perlu senantiasa diperbarui, demikian pula halnya dengan cinta. Cinta serupa tanaman yang harus disemai, dijaga, dan dipelihara agar tumbuh, berkembang, berbunga, hingga kemudian berbuah. Jika dasarnya baik, cara memliharanya baik, maka buahnyapun akan baik.
Smoga cinta yang ada di hati-hati kita tak seperti sakura, yang hanya tumbuh pada rentang waktu yang singkat di musim semi. Apalagi bila ia disemai dari sumber cahaya yang tak pernah pudar, maka akarnya akan tumbuh menghujam ke bumi. Batangnya kokoh, daunnya rimbun, berbunga harum, dan buahnya lebat sepanjang tahun...
Seperti sebuah fragmen yang pernah ia lihat bertahun-tahun yang lalu, di suatu siang di pertigaan Ganesha Bandung. Sepasang kakek dan nenek di angkot Kelapa-Dago yang mengantarnya ke kampus. Ia melihat saat nenek itu turun dari angkot, kepala nenek itu terantuk bagian atas angkot. Sang kakek refleks membelai kepala nenek itu dengan penuh kasih. Mata perempuan itu membasah memandangi mereka, dan ingatan tentang itu senantiasa tergambar dengan jelas di benaknya.
Jika 'manusia biasa' saja bisa melakukan demikian, apalagi bila kita berguru, pada sumber aslinya, dari Pemilik Cinta, yang dicontohkan orang-orang yang paling dicintaiNya. Keluarga Ibrahim, keluarga Imran, keluarga...., dan tentu saja, yang terkasih keluarga Guru sepanjang masa, Rasulullah SAW...
---
Bolehkan meminta agar tangan ini selalu dalam genggamamu
sampai musim terakhir itu bisa kita nikmati?
Demikianlah salah satu nasihat yang seringkali didengar perempuan yang baru menikah belum genap tiga purnama itu. Saat ia bercerita tentang bagaimana pengalaman barunya menikah. Mata yang berbinar-binar serta pipi yang bersemu merah seringkali menjadi bahan godaan bagi mba-mbanya yang memiliki jam terbang yang cukup tinggi dalam berumah tangga.
Ceritanya itupun kadang mengingatkan lagi senior-seniornya. Mereka pun bisa mengenang banyak hal dari cerita-cerita pasangan muda. Namun tak sedikit pula ada komentar yang mengingatkan perempuan itu untuk bersiap siaga menghadapi fase lain dalam pernikahannya.
Iya, kalau awal-awal semuanya serba baik...nanti tuh...mmmm
Ada yang bilang enaknya menikah itu hanya saat bulan madu, saat bandwith toleransi sedemikan besar. Kekurangan-kekurangan tertutupi karena kacamata cinta yang digunakan. Semua bisa dimaklumi. Setelah itu gesekan akan terjadi, dan yang berbicara kemudian adalah tuntutan-tuntutan.
Perempuan itu menghela nafasnya. Ada masa-masa tertentu, dalam diam ia merenungkan banyak hal.
Belajar dari banyak orang, menimba pengalaman dari berbagai guru kehidupan adalah sama pentingnya dengan membaca sekian banyak buku seperti yang ia lakukan sejak dulu sampai sekarang. Namun pernikahan jauh lebih kompleks dari pendekatan apapun yang pernah ada. Dan setiap pasangan itu sangat unik, seunik setiap orang yang diciptakanNya.
Sehingga pada akhirnya pengetahuan-pengetahuan baik itu teori atau lapangan harus ia kombinasikan dengan intuisi dan bisikan hatinya, untuk memilah dan memilih serta menetapkan tindakan tepat yang perlu ia ambil. Juga dalam memberikan respons atas stumuli yang diberikan lingkungan kepadanya.
Mungkinkah madu itu terasakan sepanjang musim?
Seperti juga iman, yang naik serta turun, dan perlu senantiasa diperbarui, demikian pula halnya dengan cinta. Cinta serupa tanaman yang harus disemai, dijaga, dan dipelihara agar tumbuh, berkembang, berbunga, hingga kemudian berbuah. Jika dasarnya baik, cara memliharanya baik, maka buahnyapun akan baik.
Smoga cinta yang ada di hati-hati kita tak seperti sakura, yang hanya tumbuh pada rentang waktu yang singkat di musim semi. Apalagi bila ia disemai dari sumber cahaya yang tak pernah pudar, maka akarnya akan tumbuh menghujam ke bumi. Batangnya kokoh, daunnya rimbun, berbunga harum, dan buahnya lebat sepanjang tahun...
Seperti sebuah fragmen yang pernah ia lihat bertahun-tahun yang lalu, di suatu siang di pertigaan Ganesha Bandung. Sepasang kakek dan nenek di angkot Kelapa-Dago yang mengantarnya ke kampus. Ia melihat saat nenek itu turun dari angkot, kepala nenek itu terantuk bagian atas angkot. Sang kakek refleks membelai kepala nenek itu dengan penuh kasih. Mata perempuan itu membasah memandangi mereka, dan ingatan tentang itu senantiasa tergambar dengan jelas di benaknya.
Jika 'manusia biasa' saja bisa melakukan demikian, apalagi bila kita berguru, pada sumber aslinya, dari Pemilik Cinta, yang dicontohkan orang-orang yang paling dicintaiNya. Keluarga Ibrahim, keluarga Imran, keluarga...., dan tentu saja, yang terkasih keluarga Guru sepanjang masa, Rasulullah SAW...
---
Bolehkan meminta agar tangan ini selalu dalam genggamamu
sampai musim terakhir itu bisa kita nikmati?
Comments