Apakah setelah menikah kau akan kehilangan kawan-kawan yang sebelumnya bersamamu merajut waktu dan merangkai kenangan? Apakah anugrah tak terhingga atas nama ukhuwah karenaNya harus gugur karena pergantian musim?
Pertanyaan itu menggayut di kepala perempuan itu sejak lama sebelum ia menikah. Ilustrasi tentang kekhawatiran itu serupa dengan tulisan patah hati ini.
Seorang kawannya bahkan mengundurkan diri dari kehidupannya, mengambil jarak. Rasa kehilangan itu masih berbekas hingga sekarang. Ada pula rekan yang sudah bersiap-siap untuk mengurangi cerita-cerita yang dulu biasa dibagi, tanpa bisa ia cegah, karena ia sendiri tak tahu kehidupan macam apa yang akan ia jalani setelah menikah.
Dan hari itu tibalah. Setelahnya, hari demi hari, dia menyingkapkan tabir dirinya, berusaha untuk membuat lelaki itu tahu persis perempuan seperti apakah yang kini menjadi istrinya. Dia merasa menjadi dia seperti apa adanya-jauh lebih baik-daripada suatu saat nanti dia kelelahan berpura-pura menjadi pribadi lain yang bukan dirinya. Kalaupun nanti ada yang berubah pada dirinya, maka itu adalah proses yang tengah berlangsung: perbaikan seumur hidup menjadi pribadi shalihah.
Foto-foto ditunjukan, aneka cerita diperdengarkan. Lelaki itu menyebut kecerewetannya sebagai kaset yang berputar. Tak puas dengan itu, di ujung hari dia bertanya langsung: apakah ia harus membatasi pergaulannya? Terutama dengan para lelaki yang ia banyak jumpai di sekolah, di organisasi, di mana-mana.
Lelaki itu tersenyum, dan kata-katanya meluncur kemudian:
"Saya percaya anti sejak sebelum menikah dulu. Apalagi sesudah menikah, lebih percaya lagi. Kenapa harus mengubah sesuatu yang sudah baik?"
Mungkin lelaki itu tak tahu, dengan mata membasah, perempuan itu menahan haru mendengar perkataannya, beserta hati yang diluapi rasa syukur yang dalam.
Pikirannya menerawang. Sejak remaja dulu, ia senantiasa berpikir bahwa di dunia itu banyak sekali manusia yang akan bekerja sama dengannya menjalankan amanah kemanusiaan, tolong menolong dalam kebaikan. Satu saja diantara mereka yang akan menjadi pasangan hidupnya.
Dia sediakan pada hatinya, ruang-ruang cinta untuk sebanyak mungkin orang. Berusaha menyayangi mereka, berbagi dan bekerja sama dengan mereka. Ajaran agama telah demikian jelas memaparkan untuk apa dan bagaimana itu dibangun dalam kehidupan. Ia hanya belajar menerapkannya perlahan-lahan.
Satu ruang ia kosongkan, untuk seseorang yang satu saat kan datang mengajaknya untuk bersama-sama berkhidmat kepadaNya dengan bentukan yang lebih khusus. Dia tak pernah membiarkan seorang lelakipun mengisi ruang itu, sebelum ia berhasil menjabat tangan ayahnya dalam perjanjian suci.
Bukan kata-kata kosong, karena kemudian lelaki pilihan itu terlihat tak terganggu dengan telepon yang datang kala mereka makan bersama, tersenyum menerima banyak salam dari orang-orang yang tak dikenalnya.
Memang, waktu masih panjang untuk membuat mereka berdua menjadikan komunitas yang satu sebagai komunitas yang lain. Inilah sebagian dari keberkahan atas pernikahan itu sendiri. Bukan hanya orang tua yang masing-masing bertambah sepasang, tapi saudara dan kawan pun menjadi berlipat...
Pertanyaan itu menggayut di kepala perempuan itu sejak lama sebelum ia menikah. Ilustrasi tentang kekhawatiran itu serupa dengan tulisan patah hati ini.
Seorang kawannya bahkan mengundurkan diri dari kehidupannya, mengambil jarak. Rasa kehilangan itu masih berbekas hingga sekarang. Ada pula rekan yang sudah bersiap-siap untuk mengurangi cerita-cerita yang dulu biasa dibagi, tanpa bisa ia cegah, karena ia sendiri tak tahu kehidupan macam apa yang akan ia jalani setelah menikah.
Dan hari itu tibalah. Setelahnya, hari demi hari, dia menyingkapkan tabir dirinya, berusaha untuk membuat lelaki itu tahu persis perempuan seperti apakah yang kini menjadi istrinya. Dia merasa menjadi dia seperti apa adanya-jauh lebih baik-daripada suatu saat nanti dia kelelahan berpura-pura menjadi pribadi lain yang bukan dirinya. Kalaupun nanti ada yang berubah pada dirinya, maka itu adalah proses yang tengah berlangsung: perbaikan seumur hidup menjadi pribadi shalihah.
Foto-foto ditunjukan, aneka cerita diperdengarkan. Lelaki itu menyebut kecerewetannya sebagai kaset yang berputar. Tak puas dengan itu, di ujung hari dia bertanya langsung: apakah ia harus membatasi pergaulannya? Terutama dengan para lelaki yang ia banyak jumpai di sekolah, di organisasi, di mana-mana.
Lelaki itu tersenyum, dan kata-katanya meluncur kemudian:
"Saya percaya anti sejak sebelum menikah dulu. Apalagi sesudah menikah, lebih percaya lagi. Kenapa harus mengubah sesuatu yang sudah baik?"
Mungkin lelaki itu tak tahu, dengan mata membasah, perempuan itu menahan haru mendengar perkataannya, beserta hati yang diluapi rasa syukur yang dalam.
Pikirannya menerawang. Sejak remaja dulu, ia senantiasa berpikir bahwa di dunia itu banyak sekali manusia yang akan bekerja sama dengannya menjalankan amanah kemanusiaan, tolong menolong dalam kebaikan. Satu saja diantara mereka yang akan menjadi pasangan hidupnya.
Dia sediakan pada hatinya, ruang-ruang cinta untuk sebanyak mungkin orang. Berusaha menyayangi mereka, berbagi dan bekerja sama dengan mereka. Ajaran agama telah demikian jelas memaparkan untuk apa dan bagaimana itu dibangun dalam kehidupan. Ia hanya belajar menerapkannya perlahan-lahan.
Satu ruang ia kosongkan, untuk seseorang yang satu saat kan datang mengajaknya untuk bersama-sama berkhidmat kepadaNya dengan bentukan yang lebih khusus. Dia tak pernah membiarkan seorang lelakipun mengisi ruang itu, sebelum ia berhasil menjabat tangan ayahnya dalam perjanjian suci.
Bukan kata-kata kosong, karena kemudian lelaki pilihan itu terlihat tak terganggu dengan telepon yang datang kala mereka makan bersama, tersenyum menerima banyak salam dari orang-orang yang tak dikenalnya.
Memang, waktu masih panjang untuk membuat mereka berdua menjadikan komunitas yang satu sebagai komunitas yang lain. Inilah sebagian dari keberkahan atas pernikahan itu sendiri. Bukan hanya orang tua yang masing-masing bertambah sepasang, tapi saudara dan kawan pun menjadi berlipat...
Comments