Ada masanya, istri kepada suami-atau sebaliknya-itu serupa bocah kecil dimana pasangannya menjadi pengasuhnya.
Itu menurut teori... Mungkin dalam hal kemanjaan, kadang kala kita menjadi seperti kanak-kanak. Namun bagaimana bila menjadi bocah itu adalah simbol ketidakdewasaan dimana ia tidak sabar dan memaksakan keinginannya?
Bagaimana bisa perempuan yang (katanya) dikagumi, dicintai, dan disyukuri keberadaannya itu tiba-tiba menelepon di malam hari, mengajak chatting padahal dua jam sebelumnya lelaki itu baru pulang dari warnet. Lalu di malam saat tengah terlelap kembali menelepon. Lalu menjelang shubuh dia menelepon lagi dengan membawa isakan. Kecengengan yang mencengangkan! Perempuan itu menjelma serupa bocah kecil yang tidak sabaran.
Lalu beberapa jam setelah itu, dengan pendahuluan dua buah miskol di tengah tidur siang, perempuan itu kembali mengajaknya chatting.
"Duh...ade, belum ashar nih...abis ashar aja yaa..."
"Abis ashar disitu sama dengan jam satu malam disini. Sekarang aja..."
"Ngantuk banget...kartu internetnya juga udah abis.
"Kasiaaaaan deh saya..."
"Abis ashar aja ya..."
"Iya deh abis ashar, begadang sekalian deh..."
Demikian kira-kira potongan dialog yang terjadi di dua tempat yang berjarak sekitar 8-9jam-an.
Namun ketika perempuan itu sedang mengupas buah, menyiapkan diri untuk menulis sebuah laporan yang dilalaikannya hari itu, dan meniatkan diri untuk begadang, ymID dari nama yang sangat dikenalnya terlihat OL.
Setelah menyapa dan salam...
K (11:08:15 PM): kk g tega deh
A (11:08:26 PM): kaka ga jd bobo?
A (11:08:30 PM): kasian deh kaka
K (11:08:36 PM): bobo siang nya di korbankan
A (11:08:43 PM): kaka baik banget
K (11:08:57 PM): lillahil hamd
A (11:09:06 PM): maaf yaa
K (11:09:27 PM): iiyaa
Perempuan itu menahan haru, ada hangat yang menjalari hatinya: merasa disayangi. Ia pun mengobrol selama satu setengah jam. Melepaskan penat yang dilaluinya hari itu. Hari itu adalah hari yang terberat yang pernah dirasainya selama satu purnama ini. Hari itu telah ia abaikan tiga dari empat hal yang harus dilakukannya. Dia berusahan menata hatinya yang gelisah sejak ia membuka mata di pagi hari. Tapi almatsurat, dhuha, tak bisa menguranginya. Baru setelah dhuhur ditunaikan, tiba-tiba dirasakannya bebannya hilang, gelisah itu lenyap. Hingga ia bisa menunaikan satu amanah terakhir hari itu.
Malam itu dia diingatkan lagi tentang tulisannya sendiri, palestina (Duka). Dan di matanya terbayang sosok bunda Hajar yang tabah dan tegar. Dia ingat saat penutupan walimah ayahnya tercinta membacakan puisi itu untuk mereka berdua dengan menahan tangis.
"Istri yang kau nikahi itu tidaklah semulia Khadijah, tidak setaqwa Aisyah, tidak setegar Hajar, juga tidak setabah Fatimah. Justru istrimu hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi wanita sholihah.
...
Saat itu ia merasa ayahnya benar. Dan kali ini pun terbukti kebenarannya. Dia masih belum apa-apa dan belum menjadi siapa-siapa.
Tapi berhentilah menyesali diri dan menangis, wahai perempuan. Engkau bisa menghapus airmata, membangun kembali mimpimu, belajar dari hari ini. Dengan cinta yang tercurah untukmu, perlahan-lahan kembali belajar terbang, menjadi perempuan tegar...
Tokyo, 26 September 2004
bukan satu purnama perpisahan,
tapi satu purnama belajar menjadi perempuan tegar
**untuk smua pengertian dan kesabaran yang slalu tersedia,
terima kasih**
Itu menurut teori... Mungkin dalam hal kemanjaan, kadang kala kita menjadi seperti kanak-kanak. Namun bagaimana bila menjadi bocah itu adalah simbol ketidakdewasaan dimana ia tidak sabar dan memaksakan keinginannya?
Bagaimana bisa perempuan yang (katanya) dikagumi, dicintai, dan disyukuri keberadaannya itu tiba-tiba menelepon di malam hari, mengajak chatting padahal dua jam sebelumnya lelaki itu baru pulang dari warnet. Lalu di malam saat tengah terlelap kembali menelepon. Lalu menjelang shubuh dia menelepon lagi dengan membawa isakan. Kecengengan yang mencengangkan! Perempuan itu menjelma serupa bocah kecil yang tidak sabaran.
Lalu beberapa jam setelah itu, dengan pendahuluan dua buah miskol di tengah tidur siang, perempuan itu kembali mengajaknya chatting.
"Duh...ade, belum ashar nih...abis ashar aja yaa..."
"Abis ashar disitu sama dengan jam satu malam disini. Sekarang aja..."
"Ngantuk banget...kartu internetnya juga udah abis.
"Kasiaaaaan deh saya..."
"Abis ashar aja ya..."
"Iya deh abis ashar, begadang sekalian deh..."
Demikian kira-kira potongan dialog yang terjadi di dua tempat yang berjarak sekitar 8-9jam-an.
Namun ketika perempuan itu sedang mengupas buah, menyiapkan diri untuk menulis sebuah laporan yang dilalaikannya hari itu, dan meniatkan diri untuk begadang, ymID dari nama yang sangat dikenalnya terlihat OL.
Setelah menyapa dan salam...
K (11:08:15 PM): kk g tega deh
A (11:08:26 PM): kaka ga jd bobo?
A (11:08:30 PM): kasian deh kaka
K (11:08:36 PM): bobo siang nya di korbankan
A (11:08:43 PM): kaka baik banget
K (11:08:57 PM): lillahil hamd
A (11:09:06 PM): maaf yaa
K (11:09:27 PM): iiyaa
Perempuan itu menahan haru, ada hangat yang menjalari hatinya: merasa disayangi. Ia pun mengobrol selama satu setengah jam. Melepaskan penat yang dilaluinya hari itu. Hari itu adalah hari yang terberat yang pernah dirasainya selama satu purnama ini. Hari itu telah ia abaikan tiga dari empat hal yang harus dilakukannya. Dia berusahan menata hatinya yang gelisah sejak ia membuka mata di pagi hari. Tapi almatsurat, dhuha, tak bisa menguranginya. Baru setelah dhuhur ditunaikan, tiba-tiba dirasakannya bebannya hilang, gelisah itu lenyap. Hingga ia bisa menunaikan satu amanah terakhir hari itu.
Malam itu dia diingatkan lagi tentang tulisannya sendiri, palestina (Duka). Dan di matanya terbayang sosok bunda Hajar yang tabah dan tegar. Dia ingat saat penutupan walimah ayahnya tercinta membacakan puisi itu untuk mereka berdua dengan menahan tangis.
"Istri yang kau nikahi itu tidaklah semulia Khadijah, tidak setaqwa Aisyah, tidak setegar Hajar, juga tidak setabah Fatimah. Justru istrimu hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi wanita sholihah.
...
Saat itu ia merasa ayahnya benar. Dan kali ini pun terbukti kebenarannya. Dia masih belum apa-apa dan belum menjadi siapa-siapa.
Tapi berhentilah menyesali diri dan menangis, wahai perempuan. Engkau bisa menghapus airmata, membangun kembali mimpimu, belajar dari hari ini. Dengan cinta yang tercurah untukmu, perlahan-lahan kembali belajar terbang, menjadi perempuan tegar...
Tokyo, 26 September 2004
bukan satu purnama perpisahan,
tapi satu purnama belajar menjadi perempuan tegar
**untuk smua pengertian dan kesabaran yang slalu tersedia,
terima kasih**
Comments
mbak rieska, saya minta izin copy-paste ini:
"Istri yang kau nikahi itu tidaklah semulia Khadijah, tidak setaqwa Aisyah, tidak setegar Hajar, juga tidak setabah Fatimah. Justru istrimu hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi wanita sholihah."
bagus banget, mbak..boleh ya??
-nuri-
itu juga kutipan. saking terkenalnya, sampe ga tau siapa penulis aslinya :(