Skip to main content

Puzzle 4 (bocah kecil)

Ada masanya, istri kepada suami-atau sebaliknya-itu serupa bocah kecil dimana pasangannya menjadi pengasuhnya.

Itu menurut teori... Mungkin dalam hal kemanjaan, kadang kala kita menjadi seperti kanak-kanak. Namun bagaimana bila menjadi bocah itu adalah simbol ketidakdewasaan dimana ia tidak sabar dan memaksakan keinginannya?

Bagaimana bisa perempuan yang (katanya) dikagumi, dicintai, dan disyukuri keberadaannya itu tiba-tiba menelepon di malam hari, mengajak chatting padahal dua jam sebelumnya lelaki itu baru pulang dari warnet. Lalu di malam saat tengah terlelap kembali menelepon. Lalu menjelang shubuh dia menelepon lagi dengan membawa isakan. Kecengengan yang mencengangkan! Perempuan itu menjelma serupa bocah kecil yang tidak sabaran.

Lalu beberapa jam setelah itu, dengan pendahuluan dua buah miskol di tengah tidur siang, perempuan itu kembali mengajaknya chatting.

"Duh...ade, belum ashar nih...abis ashar aja yaa..."
"Abis ashar disitu sama dengan jam satu malam disini. Sekarang aja..."
"Ngantuk banget...kartu internetnya juga udah abis.
"Kasiaaaaan deh saya..."
"Abis ashar aja ya..."
"Iya deh abis ashar, begadang sekalian deh..."


Demikian kira-kira potongan dialog yang terjadi di dua tempat yang berjarak sekitar 8-9jam-an.

Namun ketika perempuan itu sedang mengupas buah, menyiapkan diri untuk menulis sebuah laporan yang dilalaikannya hari itu, dan meniatkan diri untuk begadang, ymID dari nama yang sangat dikenalnya terlihat OL.

Setelah menyapa dan salam...
K (11:08:15 PM): kk g tega deh
A (11:08:26 PM): kaka ga jd bobo?
A (11:08:30 PM): kasian deh kaka
K (11:08:36 PM): bobo siang nya di korbankan
A (11:08:43 PM): kaka baik banget
K (11:08:57 PM): lillahil hamd
A (11:09:06 PM): maaf yaa
K (11:09:27 PM): iiyaa

Perempuan itu menahan haru, ada hangat yang menjalari hatinya: merasa disayangi. Ia pun mengobrol selama satu setengah jam. Melepaskan penat yang dilaluinya hari itu. Hari itu adalah hari yang terberat yang pernah dirasainya selama satu purnama ini. Hari itu telah ia abaikan tiga dari empat hal yang harus dilakukannya. Dia berusahan menata hatinya yang gelisah sejak ia membuka mata di pagi hari. Tapi almatsurat, dhuha, tak bisa menguranginya. Baru setelah dhuhur ditunaikan, tiba-tiba dirasakannya bebannya hilang, gelisah itu lenyap. Hingga ia bisa menunaikan satu amanah terakhir hari itu.

Malam itu dia diingatkan lagi tentang tulisannya sendiri, palestina (Duka). Dan di matanya terbayang sosok bunda Hajar yang tabah dan tegar. Dia ingat saat penutupan walimah ayahnya tercinta membacakan puisi itu untuk mereka berdua dengan menahan tangis.

"Istri yang kau nikahi itu tidaklah semulia Khadijah, tidak setaqwa Aisyah, tidak setegar Hajar, juga tidak setabah Fatimah. Justru istrimu hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi wanita sholihah.
...


Saat itu ia merasa ayahnya benar. Dan kali ini pun terbukti kebenarannya. Dia masih belum apa-apa dan belum menjadi siapa-siapa.

Tapi berhentilah menyesali diri dan menangis, wahai perempuan. Engkau bisa menghapus airmata, membangun kembali mimpimu, belajar dari hari ini. Dengan cinta yang tercurah untukmu, perlahan-lahan kembali belajar terbang, menjadi perempuan tegar...

Tokyo, 26 September 2004
bukan satu purnama perpisahan,
tapi satu purnama belajar menjadi perempuan tegar

**untuk smua pengertian dan kesabaran yang slalu tersedia,
terima kasih**

Comments

Anonymous said…
assalaamu'alaikum wr wb,
mbak rieska, saya minta izin copy-paste ini:
"Istri yang kau nikahi itu tidaklah semulia Khadijah, tidak setaqwa Aisyah, tidak setegar Hajar, juga tidak setabah Fatimah. Justru istrimu hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi wanita sholihah."

bagus banget, mbak..boleh ya??

-nuri-
rieska oktavia said…
boleh...doozo :)
itu juga kutipan. saking terkenalnya, sampe ga tau siapa penulis aslinya :(

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar