"Rasanya semangat hidupku sudah habis, Bunda. Aku tak tahan, dan aku tak tahu bagaimana menghadapi masa depan. Kakiku...hidupku..." Ujar Aisya menahan isakan. Bunda memandangnya dalam diam. Menahan cabikan-cabikan hati. "Aku tak tahan..." Katanya lagi. Kali ini terdengar lebih pilu. Mengiris. Bunda memeluk bahu putri sulungnya itu. Kemudian berkata pelan. "Semestinya kesabaran dan harapan itu tak kan pernah habis, bila kita selalu mengambilnya dari sumber yang tak pernah kering. Sumur yang tak mengenal musim, mengalirkannya ke dalam jiwa tanpa henti." "Tapi ini terlalu sulit untuk dihadapi." "Bunda tahu ini sangat berat untuk kita. Apalagi untukmu. Tapi apa yang terjadi pada setiap kita, sudah diukurNya. Jauh lebih cermat dari guru yang memberikan ulangan bagi murid-muridnya. Materi untuk bekal diberikan, dan anak kelas 5 tak kan mendapat beban soal seperti kelas 6." Bunda menghela nafas. Berusaha mengumpulkan kata-kata, meski ia sendir
:: Lintasan pikiran yang direkam dalam ragam bentuk tulisan ::