"Rasanya semangat hidupku sudah habis, Bunda. Aku tak tahan, dan aku tak tahu bagaimana menghadapi masa depan. Kakiku...hidupku..." Ujar Aisya menahan isakan.
Bunda memandangnya dalam diam. Menahan cabikan-cabikan hati.
"Aku tak tahan..." Katanya lagi. Kali ini terdengar lebih pilu. Mengiris.
Bunda memeluk bahu putri sulungnya itu. Kemudian berkata pelan.
"Semestinya kesabaran dan harapan itu tak kan pernah habis, bila kita selalu mengambilnya dari sumber yang tak pernah kering. Sumur yang tak mengenal musim, mengalirkannya ke dalam jiwa tanpa henti."
"Tapi ini terlalu sulit untuk dihadapi."
"Bunda tahu ini sangat berat untuk kita. Apalagi untukmu. Tapi apa yang terjadi pada setiap kita, sudah diukurNya. Jauh lebih cermat dari guru yang memberikan ulangan bagi murid-muridnya. Materi untuk bekal diberikan, dan anak kelas 5 tak kan mendapat beban soal seperti kelas 6."
Bunda menghela nafas. Berusaha mengumpulkan kata-kata, meski ia sendiri harus menahan pilu.
"Mari kita buka kembali surat Yusuf, surat yang sangat kau sukai karena ada cerita disitu, yang jauh lebih indah dari dongeng sebelum tidur karangan manusia."
Kitab suci yang diangsurkan bunda itu dibuka Aisya perlahan, langsung menuju surat bernomor 12. Matanya men-scan dengan cepat rangkaian huruf yang segera mengalirkan hawa lain di dadanya.
Bunda berkata lagi, "Kesabaran pemuda tampan itu tak habis-habis saat ia dipenjara atas sesuatu yang bukan kesalahannya, menanti keadilan hingga lebih dari sembilan tahun?"
Mata Aisya menerawang. Ada potret penjara kusam disana. Dinding jeruji, lantai dingin, makanan seadanya, dan kesunyian. Belenggu kebebasan atas kesalahan yang tak pernah dilakukan. Sembilan tahun. Duhai...
"Sang Ayah.." Bisiknya pelan.
"Matanya menjadi putih karena kesedihan. Hingga renta ia tetap menunggu anak yang hilang itu. Bertahun-tahun, musim berganti, semua tumbuh dan hilang. Anak itu tak pernah kembali kepangkuannya. Tapi ia terus memupuk dan menumbuhkan harap. Dan apa yang ia katakan? 'Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir'*"
"Iya...orang kafir tak mengenal negeri akhirat yang indah. Tumpuan segala harapan, dimana segala yang kita hadapi sekarang terlalu kecil untuk membuat kita menyerah kalah." Bunda menambahkan.
"Aku ingin setegar mereka, bunda."
Bunda memeluk Aisya lebih erat. Matanya tak lagi hanya berkaca, ada banyak mutiara berguguran.
"Aku menyukai endingnya. Kala ia mendapatkan kekuasan dan kekayaan, memafkan mereka yang bersalah, serta bertemu kembali dengan keluarganya. Mimpi yang menjadi nyata."
"Tapi itu bukan kenikmatan hakiki, ternyata. Seperti apa yang diingatkanNya: 'Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala bagi orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala akhirat itu lebih baik bagi orang yang beriman dan bertakwa'.**" Sambung Aisya lagi.
"Bunda tahu kau akan tegar, sayang. Insya Allah. Bersahabatlah terus dengan kitab suci, raihlah cahayaNya. Masa depanmu masih akan terbentang."
Aisya tersenyum. "Insya Allah tetap indah. Hanya agak berbeda. Akan kugenggam harapan seperti keyakinan ayah-anak itu padaNya."
Tak lama, ia tertidur, dengan tangan yang masih berada pada genggaman Bunda. Ruangan putih itu pun menjadi senyap. Lalu bunda bangkit, merapikan letak selimut yang menutupi kaki Aisya yang tinggal separuh. Kemudian sambil menahan tangis, melanjutkan tilawahnya.
* QS 12:87
**QS 12:56-57
Komaba, 27 Februari 2005
Rieska
Bunda memandangnya dalam diam. Menahan cabikan-cabikan hati.
"Aku tak tahan..." Katanya lagi. Kali ini terdengar lebih pilu. Mengiris.
Bunda memeluk bahu putri sulungnya itu. Kemudian berkata pelan.
"Semestinya kesabaran dan harapan itu tak kan pernah habis, bila kita selalu mengambilnya dari sumber yang tak pernah kering. Sumur yang tak mengenal musim, mengalirkannya ke dalam jiwa tanpa henti."
"Tapi ini terlalu sulit untuk dihadapi."
"Bunda tahu ini sangat berat untuk kita. Apalagi untukmu. Tapi apa yang terjadi pada setiap kita, sudah diukurNya. Jauh lebih cermat dari guru yang memberikan ulangan bagi murid-muridnya. Materi untuk bekal diberikan, dan anak kelas 5 tak kan mendapat beban soal seperti kelas 6."
Bunda menghela nafas. Berusaha mengumpulkan kata-kata, meski ia sendiri harus menahan pilu.
"Mari kita buka kembali surat Yusuf, surat yang sangat kau sukai karena ada cerita disitu, yang jauh lebih indah dari dongeng sebelum tidur karangan manusia."
Kitab suci yang diangsurkan bunda itu dibuka Aisya perlahan, langsung menuju surat bernomor 12. Matanya men-scan dengan cepat rangkaian huruf yang segera mengalirkan hawa lain di dadanya.
Bunda berkata lagi, "Kesabaran pemuda tampan itu tak habis-habis saat ia dipenjara atas sesuatu yang bukan kesalahannya, menanti keadilan hingga lebih dari sembilan tahun?"
Mata Aisya menerawang. Ada potret penjara kusam disana. Dinding jeruji, lantai dingin, makanan seadanya, dan kesunyian. Belenggu kebebasan atas kesalahan yang tak pernah dilakukan. Sembilan tahun. Duhai...
"Sang Ayah.." Bisiknya pelan.
"Matanya menjadi putih karena kesedihan. Hingga renta ia tetap menunggu anak yang hilang itu. Bertahun-tahun, musim berganti, semua tumbuh dan hilang. Anak itu tak pernah kembali kepangkuannya. Tapi ia terus memupuk dan menumbuhkan harap. Dan apa yang ia katakan? 'Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir'*"
"Iya...orang kafir tak mengenal negeri akhirat yang indah. Tumpuan segala harapan, dimana segala yang kita hadapi sekarang terlalu kecil untuk membuat kita menyerah kalah." Bunda menambahkan.
"Aku ingin setegar mereka, bunda."
Bunda memeluk Aisya lebih erat. Matanya tak lagi hanya berkaca, ada banyak mutiara berguguran.
"Aku menyukai endingnya. Kala ia mendapatkan kekuasan dan kekayaan, memafkan mereka yang bersalah, serta bertemu kembali dengan keluarganya. Mimpi yang menjadi nyata."
"Tapi itu bukan kenikmatan hakiki, ternyata. Seperti apa yang diingatkanNya: 'Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki, dan Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala bagi orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala akhirat itu lebih baik bagi orang yang beriman dan bertakwa'.**" Sambung Aisya lagi.
"Bunda tahu kau akan tegar, sayang. Insya Allah. Bersahabatlah terus dengan kitab suci, raihlah cahayaNya. Masa depanmu masih akan terbentang."
Aisya tersenyum. "Insya Allah tetap indah. Hanya agak berbeda. Akan kugenggam harapan seperti keyakinan ayah-anak itu padaNya."
Tak lama, ia tertidur, dengan tangan yang masih berada pada genggaman Bunda. Ruangan putih itu pun menjadi senyap. Lalu bunda bangkit, merapikan letak selimut yang menutupi kaki Aisya yang tinggal separuh. Kemudian sambil menahan tangis, melanjutkan tilawahnya.
* QS 12:87
**QS 12:56-57
Komaba, 27 Februari 2005
Rieska
Comments