Skip to main content

Bunga [2]

"Ayo cerita bunda...Fa juga ikutan pengen tahu." Ujar Fatimah yang dengan cekatan mengisi gelas-gelas kosong bunda dan Aisya, kakak perempuan semata wayangnya.

Bunda tertawa kecil. Lalu mulai bercerita...

"Teteh hadir di rahim bunda, hanya selang sebulan setelah bunda menikah dengan ayah. Masih ingat, kan? Kalau bunda nikah sama ayah selagi kuliah. Usia bunda tak lebih dari 20 tahun."

"Bagaimana aku waktu itu, Nda?"

"Alhamdulillah...segalanya normal. Yang aga berat di masa-masa awal, mual-mual yang sangat berat. Sulit sekali makanan masuk, sampai bunda sempat diinfus."

"Pasti bunda repot sekali yaa..."

"Iyah, inginnya tidur...malas sekali pergi, termasuk belajar atau pun kuliah. Apalagi setelah lahirpun agak teteh sempat sakit. Sampai pergi ke rumah sakit tiap hari untuk perawatan."

Ada yang berubah pada air muka Aisya. "Karena itukah bunda tak sampai menyelesaikan kuliahnya?" Katanya pelan.

Bunda tersenyum.

"Kalau Fafa, Nda?"

"Alhamdulillah, tak banyak masalah. Lancar dan sehat. Bunda makan dengan lahap, sedikit saja mualnya. Bunda masih sempat mengerjakan banyak hal."

"Wah...syukurlah, Fa sedih sekali kalau membuat bunda susah. Bawa-bawa bayi dalam perut saja sudah berat, apalagi dengan banyak pernak-perniknya." Ujar Fa dengan berseri-seri.

Bunda tersenyum.

Mereka tak menyadari muka Aisya yang semakin menunduk sedih. Ditahannya butiran air mata yang mendesak-desak ingin keluar. Tapi tak lama, ia berhasil menguasai perasaannya. Obrolan bersama sarapan babak dua pun berlanjut

Comments

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Berhenti Sejenak

Pagi itu kami berempat (saya dan A3-A5) menuju stasiun. Baby Anas (A5) setia duduk di strolernya. Dinginnya menggigil tapi matahari menyapa dengan hangat. Tujuan kami adalah Kabe, rumah mba Nita tuk bersilaturahim dengan sahabat Azzahra. Di tengah jalan, di area favorit anak-anak untuk berhenti, Azmi (A3) tiba-tiba bertanya, "Bunda, itu tulisannya apa?" Ia menunjuk setengah bola yang biasanya mereka duduk bermain di atasnya.  Setiap melewati area ini memang mereka hampir selalu berhenti untuk bermain. Tapi pagi ini (seperti biasa) kami sedang mengejar waktu. Jadi saya menjawab sekenanya, "Engga tahu. Ayo kereta menunggu!" "Karena jauh ga keliatan? Ayo kesana!" Ah...  "Seperti ini tulisannya. Apa bacanya bunda? Tapi ini kanji bunda ga ngerti ya?" Akhirnya saya (seperti biasa, harus) mengalah. Berjongkok mengamati tulisan. Ternyata.... Tulisannya adalah "Saturn" lengkap dengan kanji di bawahnya dan angka2.... Saya lalu melihat ke sekelili...

Puzzle 46 (Terkurung di rumah)

Puzzle 46 (Terkurung di rumah) Puzzle terakhir ditulis 28 Desember 2009. Seperti apa kepingan yang ada 10 tahun kemudian? Dengan covid-19 yang sedang mewabah di seluruh dunia. perempuan itu bekerja dari rumah. Sewaktu-waktu lelaki itu juga di rumah. Serasa liburan tapi banyak kerjaan. Mereka berbagi tugas. Siapa yang belanja siapa yang masak. Siapa yang beres-beres siapa yang menemani anak belajar. Ada banyak istri stress karena suaminya di rumah. Repot katanya. Tapi perempuan itu bahagia. Ada hari-hari dimana ia bisa puas memandang suaminya sepanjang hari. Alhamdulillah. Pekerjaan lebih ringan, hati juga lebih lapang. Ada banyak target yang bisa dikejar, alhamdulillah