Skip to main content

Bunga [3]

Beberapa hari berlalu. Tapi pembicaraan saat sarapan itu tak beranjak dari benak Aisya. Ada rasa bersalah yang menekannya diam-diam. Raut muka sedih itu tak luput dari perhatian bunda. Hingga pada suatu hari, ia bertanya hati-hati pada Aisya.

"Teteh akhir-akhir ini sibuk dan capek?"

Aisya menggeleng. "Standar aja kok, Nda...Emang kenapa?"

"Siapa tau saja. Sini bunda peluk..."

Aisya terkejut. Tangan bunda segera melingkar dibahunya. Membelai rambutnya perlahan. Khas bunda, kala ingin meringankan perasaan mereka, anak-anaknya. Pelukan itu...entah ribuan moment, mengembalikan kesadarannya. Saat berebut mainan, saat nilai ujiannya merah, hingga saat ayah pergi meninggalkan mereka, dimana terjadi rekor terbanyak mereka bertiga bergantian berpelukan.

Tak lama, pertahanannya bobol. Ia terisak...

"Maaf ya bunda..."

"Maaf kenapa?"

"Karena aku dulu bayi yang sangat menyusahkan. Kakek dulu sering mengeluhkan tentang bunda yang menikah terlalu muda, hingga tak selesai kuliah. Padahal, ternyata bukan itunya. Kalau saja aku semanis Fafa bayi, mungkin kuliah bunda tidak terganggu."

Bunda terkejut, menatap Aisya dengan heran, mengusap butiran bening di ujung mata putrinya, lalu mencium keningnya sepenuh hati.

"Bunda nggak nyangka, teteh bisa berpikiran seperti itu. Jangan menyalahkan diri karena kejadian itu, sayang."

"Tapi, Nda..."

"Bunda coba jelasin ya, dan teteh akan tahu, bahwa tak ada tapi disini."

Lalu bunda mulai bercerita...

"Benar bahwa kehamilan teteh jauh lebih berat daripada Fafa. Tapi itu tak ada sangkut pautnya dengan kalian berdua. Karena pada masa itu kalian belum menyadari apa yang kalian lakukan. Bahkan bertahun-tahun kemudian tatkala kalian kanak-kanak, sampai kalian baligh dan punya tanggung jawab sendiri.

Semua yang terjadi pada masa itu adalah ujian buat bunda dari Allah. Dan banyak sekali bunda belajar dari kalian berdua."

"Ngng...maksud bunda?


Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar