Beberapa hari berlalu. Tapi pembicaraan saat sarapan itu tak beranjak dari benak Aisya. Ada rasa bersalah yang menekannya diam-diam. Raut muka sedih itu tak luput dari perhatian bunda. Hingga pada suatu hari, ia bertanya hati-hati pada Aisya.
"Teteh akhir-akhir ini sibuk dan capek?"
Aisya menggeleng. "Standar aja kok, Nda...Emang kenapa?"
"Siapa tau saja. Sini bunda peluk..."
Aisya terkejut. Tangan bunda segera melingkar dibahunya. Membelai rambutnya perlahan. Khas bunda, kala ingin meringankan perasaan mereka, anak-anaknya. Pelukan itu...entah ribuan moment, mengembalikan kesadarannya. Saat berebut mainan, saat nilai ujiannya merah, hingga saat ayah pergi meninggalkan mereka, dimana terjadi rekor terbanyak mereka bertiga bergantian berpelukan.
Tak lama, pertahanannya bobol. Ia terisak...
"Maaf ya bunda..."
"Maaf kenapa?"
"Karena aku dulu bayi yang sangat menyusahkan. Kakek dulu sering mengeluhkan tentang bunda yang menikah terlalu muda, hingga tak selesai kuliah. Padahal, ternyata bukan itunya. Kalau saja aku semanis Fafa bayi, mungkin kuliah bunda tidak terganggu."
Bunda terkejut, menatap Aisya dengan heran, mengusap butiran bening di ujung mata putrinya, lalu mencium keningnya sepenuh hati.
"Bunda nggak nyangka, teteh bisa berpikiran seperti itu. Jangan menyalahkan diri karena kejadian itu, sayang."
"Tapi, Nda..."
"Bunda coba jelasin ya, dan teteh akan tahu, bahwa tak ada tapi disini."
Lalu bunda mulai bercerita...
"Benar bahwa kehamilan teteh jauh lebih berat daripada Fafa. Tapi itu tak ada sangkut pautnya dengan kalian berdua. Karena pada masa itu kalian belum menyadari apa yang kalian lakukan. Bahkan bertahun-tahun kemudian tatkala kalian kanak-kanak, sampai kalian baligh dan punya tanggung jawab sendiri.
Semua yang terjadi pada masa itu adalah ujian buat bunda dari Allah. Dan banyak sekali bunda belajar dari kalian berdua."
"Ngng...maksud bunda?
"Teteh akhir-akhir ini sibuk dan capek?"
Aisya menggeleng. "Standar aja kok, Nda...Emang kenapa?"
"Siapa tau saja. Sini bunda peluk..."
Aisya terkejut. Tangan bunda segera melingkar dibahunya. Membelai rambutnya perlahan. Khas bunda, kala ingin meringankan perasaan mereka, anak-anaknya. Pelukan itu...entah ribuan moment, mengembalikan kesadarannya. Saat berebut mainan, saat nilai ujiannya merah, hingga saat ayah pergi meninggalkan mereka, dimana terjadi rekor terbanyak mereka bertiga bergantian berpelukan.
Tak lama, pertahanannya bobol. Ia terisak...
"Maaf ya bunda..."
"Maaf kenapa?"
"Karena aku dulu bayi yang sangat menyusahkan. Kakek dulu sering mengeluhkan tentang bunda yang menikah terlalu muda, hingga tak selesai kuliah. Padahal, ternyata bukan itunya. Kalau saja aku semanis Fafa bayi, mungkin kuliah bunda tidak terganggu."
Bunda terkejut, menatap Aisya dengan heran, mengusap butiran bening di ujung mata putrinya, lalu mencium keningnya sepenuh hati.
"Bunda nggak nyangka, teteh bisa berpikiran seperti itu. Jangan menyalahkan diri karena kejadian itu, sayang."
"Tapi, Nda..."
"Bunda coba jelasin ya, dan teteh akan tahu, bahwa tak ada tapi disini."
Lalu bunda mulai bercerita...
"Benar bahwa kehamilan teteh jauh lebih berat daripada Fafa. Tapi itu tak ada sangkut pautnya dengan kalian berdua. Karena pada masa itu kalian belum menyadari apa yang kalian lakukan. Bahkan bertahun-tahun kemudian tatkala kalian kanak-kanak, sampai kalian baligh dan punya tanggung jawab sendiri.
Semua yang terjadi pada masa itu adalah ujian buat bunda dari Allah. Dan banyak sekali bunda belajar dari kalian berdua."
"Ngng...maksud bunda?
Comments