"Jangan merasa bersalah..."
"Tapi Nda..."
"Sungguh Teh, Allah yang mendidik bunda melalui teteh dan fafa. Mengajarkan banyak hal, terkait dengan kesabaran dan kesungguhan. Tak semua keinginan kita adalah baik bagi hidup kita. Tapi apa yang ditetapkanNya senantiasa yang terbaik.
Teteh tahu, waktu teteh mulai bisa berjalan, saat bunda sedang sedih, teteh selalu menghampiri bunda dan memeluk bunda. Entah siapa yang mengajarkan. Tapi pelukan itu membuat sebagian beban rasanya jauh lebih ringan.
Coba, siapa dan apa yang telah menginspirasi teteh?"
"Aku tak tahu...kejadiannya saja aku tak ingat. Tiba-tiba saja, kita terbiasa dengan itu..."
"Begitulah...Banyak yang tidak kita fahami pada masa-masa kecil, baik ataupun buruk. Tanggung jawab teteh adalah setelah dewasa seperti sekarang. Sejak haid pertama, sejak bunda katakan bahwa teteh harus semakin bertanggung jawab atas setiap apa yang dilakukan. Ucapan, tindakan, bahkan lintasan hati.
Dan bunda cukup bersyukur anak-anak bunda cukup shalihat. Alhamdulillah..."
"Cukup saja nda?"
"Hehe..iya. Sedikit yang kurang ini loh teh, rambutnya masih kemana-mana begini..."
Aisya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Belum ada hidayah, Nda.."
Bunda menjentikkan hidung putrinya.
"Cari, sayang. Arahkan hatimu ke arah datangnya cahaya itu...Bila kau sangat yakin Ia maha pengasih, maka kau akan tahu, bahwa Ia tak kan mungkin zalim pada hambaNya. Apalagi urusan hidayah ini Bunda pamit dulu yaa...jangan sedih lagi."
Rangkulan bunda terlepas, meninggalkan Aisya yang termangu, mencerna ucapan terakhir bunda. Sedih di hatinya sedikit terkikis, terganti cinta yang bertambah untuk bunda terkasih.
"Tapi Nda..."
"Sungguh Teh, Allah yang mendidik bunda melalui teteh dan fafa. Mengajarkan banyak hal, terkait dengan kesabaran dan kesungguhan. Tak semua keinginan kita adalah baik bagi hidup kita. Tapi apa yang ditetapkanNya senantiasa yang terbaik.
Teteh tahu, waktu teteh mulai bisa berjalan, saat bunda sedang sedih, teteh selalu menghampiri bunda dan memeluk bunda. Entah siapa yang mengajarkan. Tapi pelukan itu membuat sebagian beban rasanya jauh lebih ringan.
Coba, siapa dan apa yang telah menginspirasi teteh?"
"Aku tak tahu...kejadiannya saja aku tak ingat. Tiba-tiba saja, kita terbiasa dengan itu..."
"Begitulah...Banyak yang tidak kita fahami pada masa-masa kecil, baik ataupun buruk. Tanggung jawab teteh adalah setelah dewasa seperti sekarang. Sejak haid pertama, sejak bunda katakan bahwa teteh harus semakin bertanggung jawab atas setiap apa yang dilakukan. Ucapan, tindakan, bahkan lintasan hati.
Dan bunda cukup bersyukur anak-anak bunda cukup shalihat. Alhamdulillah..."
"Cukup saja nda?"
"Hehe..iya. Sedikit yang kurang ini loh teh, rambutnya masih kemana-mana begini..."
Aisya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Belum ada hidayah, Nda.."
Bunda menjentikkan hidung putrinya.
"Cari, sayang. Arahkan hatimu ke arah datangnya cahaya itu...Bila kau sangat yakin Ia maha pengasih, maka kau akan tahu, bahwa Ia tak kan mungkin zalim pada hambaNya. Apalagi urusan hidayah ini Bunda pamit dulu yaa...jangan sedih lagi."
Rangkulan bunda terlepas, meninggalkan Aisya yang termangu, mencerna ucapan terakhir bunda. Sedih di hatinya sedikit terkikis, terganti cinta yang bertambah untuk bunda terkasih.
Comments