Disini aku tak hendak membahas tentang peran muslimah, hak dan kewajiban muslimah, dsb, karena banyak buku telah membahasnya. Meskipun ada sebagian kalangan yang merasa tak puas, karena banyak sekali buku/tulisan tentang muslimah, ditulis oleh para bapak dan dirasakan masih kurang seimbang. Semoga para penulis senantiasa dituntun oleh Allah SWT untuk mencatatkan dan menyebarkan kebaikan dan kebenaran yang berlandaskan kitab suci.
Ada dua hal yang ingin aku soroti disini. Pertama, apa yang membedakan aktivitas seorang muslimah dengan yang lain. Kedua, bagaimana menyeimbangkan setiap peran.
Apa yang membedakan aktivitas muslimah dengan yang lain?
Dari luar bentuknya sama. Muslimah menjadi anak, istri, ibu, saudara, kawan. Muslimah belajar, sekolah, bekerja, bersosialisasi. Bentuknya sama, karena semua perempuan melakukannya.
Tapi yang membedakan mereka adalah niat. Ada yang mencari uang, ketenaran, kepuasan pribadi semata, dsb. Tapi muslimah melaksanakan semua itu untuk mendapatkan eksistensi dirinya, di hadapan Allah. Ia melakukan segalanya karena Allah, untuk Allah, dan dengan cara yang diridhai Allah.
Satu-satunya ambisi pribadinya adalah untuk mengejar derajat tertinggi di sisi Allah.
Baginya, tak berguna, tak ada artinya seluruh manusia menyukainya, mengaguminya, memujinya, bila Allah tak meridhainya. Tapi ia yakin, bila Allah ridha padaNya, maka seluruh penghuni langit dan bumi, akan ridha kepadaNya.
Karena itu meski bentuknya sama, hasilnya akan berbeda. Seseorang yang mencari dunia, hanya akan mendapatkan dunia, tapi seseorang yang mencari akhirat, akan mendapatkan keduanya.
Muslimah punya banyak peran sepanjang hidupnya. Bagaimana menyeimbangkan setiap peran yang ada? Ia menjadi anak, istri, ibu (atau doble karena menjadi ayah juga), anggota keluarga besar, anggota masyarakat, serta warga negara. Ia juga berkewajiban untuk beramal shalih, baik itu dalam bentuk ibadah khusus maupun bukan. Untuk bekal beramal ia harus menuntut ilmu. Betapa banyak peran dan kewajiban yang dipikulnya. Untuk menjaga kesinambungan amal, agar ruh Islam senantiasa berkembang menghidupi hati-hati di setiap tempat dan zaman, ia pun harus berdakwah.
Benar, bahwa setiap muslimah juga boleh memilih peran yang paling minimal yang bisa dilakukannya. Seorang perempuan yang beriman, sholat, puasa, dan mentaati suaminya, akan beroleh syurga. Boleh jadi ada yang merasa cukup dengan ini (sungguh, melakukan peran ini pun sangat berat rasanya).
Tapi ada beberapa orang yang dititipi amanah lain atau ia ingin berbuat lebih, mengejar kedudukan yang lebih tinggi. Dia harus bekerja ekstra keras dan berkorban lebih banyak. Hari-harinya padat terisi, antara beribadah, belajar dan beramal. Tak bisa bermalas-malasan. Karena mimpi yang besar tak kan bisa dicapai dengan usaha yang sama.
Salah satu cara membentuk keseimbangan adalah elastisitas. Porsi setiap peran dilakukan seuai kebutuhan. Ada masa dimana porsi terbesar adalah keluarga dan anak-anaknya, ada masa porsi terbesar itu adalah masyarakatnya, atau saat lain justru dirinya dan sekolahnya, saat ia sedang kritis dengan ujian akhir, misalnya.
Ada masa dimana ia harus merelakan diri untuk absen dari rapat-rapat organisasi untuk melakukan perannya yang lain. Tapi ia bersaha mengkomunikasikan, keep in touch, menyumbangkan ide dengan cara lain, berkonstribusi semampunya (misal uang), dan muncul saat eksekusi.
Namun, sesuper-supernya seorang muslimah, ia tak mungkin mengerjakan setiap perannya sendirian. Sehebat apapun ia, ia memiliki keterbatasan. Disinilah diperlukannya kerja sama. Amal jamai antara ia-keluarga-muslimah lain-dan juga anggota masyarakat yang lain saat ada peran-peran yang tak dapat dilakukannya dengan optimal.
Muslimah maju, tak pernah sendirian. Senantiasa ada tangan-tangan penopang di sekitarnya. Disinilah diperlukan keikhlasan antara semua pihak, dan kerjasama yang terjalin manis.
Ia menjadi ibu sepenuh jiwa. Namun ada masa, ia belajar, suaminya yang mengerjakan pekerjaan rumah. Saat ia bekerja, ada muslimah lain yang menjalankan peran menjaga dan mengajar anak-anaknya.
Jangan katakan seorang ibu yang pergi berdakwah (di masjid, di sekolah, di parlemen, di ...), membawa/meninggalkan anak-anak kecil, seperti seorang ibu yang tak sayang kepada anak-anaknya. Sungguh, tatkala ia pergi, menyebarkan kebaikan, itu juga investasi yang luar biasa untuk pendidikan anak-anaknya kelak.
Anak-anaknya tak akan terus-menerus di rumah. Ia akan pergi ke luar rumah, bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Bila ibu tak peduli untuk memperbaiki masyarakatnya, bagaimana ia akan tenang melepaskan anak-anaknya? Bukankah masyarakat yang sakit akan menjadi racun bagi mereka? Sebaliknya, masyarakat yang sehat dan beriman akan menjadi sarana pendidikan anak yang baik.
Wallahu a'lam
Aku tahu, semuanya bukan perkara yang ringan. Jatuh bangun, babak belur, adalah sebuah keniscayaan bagi setiap pembelajaran. Tapi bila tak pernah jatuh, apa kita boleh berharap bisa berjalan apalagi berlari mengejarNya?
Mari berpegangan tangan, agar tatkala salah satu dari kita terjatuh, kita bisa saling menolong untuk menegakkan langkah. Ganbarimashoo...
Ada dua hal yang ingin aku soroti disini. Pertama, apa yang membedakan aktivitas seorang muslimah dengan yang lain. Kedua, bagaimana menyeimbangkan setiap peran.
Apa yang membedakan aktivitas muslimah dengan yang lain?
Dari luar bentuknya sama. Muslimah menjadi anak, istri, ibu, saudara, kawan. Muslimah belajar, sekolah, bekerja, bersosialisasi. Bentuknya sama, karena semua perempuan melakukannya.
Tapi yang membedakan mereka adalah niat. Ada yang mencari uang, ketenaran, kepuasan pribadi semata, dsb. Tapi muslimah melaksanakan semua itu untuk mendapatkan eksistensi dirinya, di hadapan Allah. Ia melakukan segalanya karena Allah, untuk Allah, dan dengan cara yang diridhai Allah.
Satu-satunya ambisi pribadinya adalah untuk mengejar derajat tertinggi di sisi Allah.
Baginya, tak berguna, tak ada artinya seluruh manusia menyukainya, mengaguminya, memujinya, bila Allah tak meridhainya. Tapi ia yakin, bila Allah ridha padaNya, maka seluruh penghuni langit dan bumi, akan ridha kepadaNya.
Karena itu meski bentuknya sama, hasilnya akan berbeda. Seseorang yang mencari dunia, hanya akan mendapatkan dunia, tapi seseorang yang mencari akhirat, akan mendapatkan keduanya.
Muslimah punya banyak peran sepanjang hidupnya. Bagaimana menyeimbangkan setiap peran yang ada? Ia menjadi anak, istri, ibu (atau doble karena menjadi ayah juga), anggota keluarga besar, anggota masyarakat, serta warga negara. Ia juga berkewajiban untuk beramal shalih, baik itu dalam bentuk ibadah khusus maupun bukan. Untuk bekal beramal ia harus menuntut ilmu. Betapa banyak peran dan kewajiban yang dipikulnya. Untuk menjaga kesinambungan amal, agar ruh Islam senantiasa berkembang menghidupi hati-hati di setiap tempat dan zaman, ia pun harus berdakwah.
Benar, bahwa setiap muslimah juga boleh memilih peran yang paling minimal yang bisa dilakukannya. Seorang perempuan yang beriman, sholat, puasa, dan mentaati suaminya, akan beroleh syurga. Boleh jadi ada yang merasa cukup dengan ini (sungguh, melakukan peran ini pun sangat berat rasanya).
Tapi ada beberapa orang yang dititipi amanah lain atau ia ingin berbuat lebih, mengejar kedudukan yang lebih tinggi. Dia harus bekerja ekstra keras dan berkorban lebih banyak. Hari-harinya padat terisi, antara beribadah, belajar dan beramal. Tak bisa bermalas-malasan. Karena mimpi yang besar tak kan bisa dicapai dengan usaha yang sama.
Salah satu cara membentuk keseimbangan adalah elastisitas. Porsi setiap peran dilakukan seuai kebutuhan. Ada masa dimana porsi terbesar adalah keluarga dan anak-anaknya, ada masa porsi terbesar itu adalah masyarakatnya, atau saat lain justru dirinya dan sekolahnya, saat ia sedang kritis dengan ujian akhir, misalnya.
Ada masa dimana ia harus merelakan diri untuk absen dari rapat-rapat organisasi untuk melakukan perannya yang lain. Tapi ia bersaha mengkomunikasikan, keep in touch, menyumbangkan ide dengan cara lain, berkonstribusi semampunya (misal uang), dan muncul saat eksekusi.
Namun, sesuper-supernya seorang muslimah, ia tak mungkin mengerjakan setiap perannya sendirian. Sehebat apapun ia, ia memiliki keterbatasan. Disinilah diperlukannya kerja sama. Amal jamai antara ia-keluarga-muslimah lain-dan juga anggota masyarakat yang lain saat ada peran-peran yang tak dapat dilakukannya dengan optimal.
Muslimah maju, tak pernah sendirian. Senantiasa ada tangan-tangan penopang di sekitarnya. Disinilah diperlukan keikhlasan antara semua pihak, dan kerjasama yang terjalin manis.
Ia menjadi ibu sepenuh jiwa. Namun ada masa, ia belajar, suaminya yang mengerjakan pekerjaan rumah. Saat ia bekerja, ada muslimah lain yang menjalankan peran menjaga dan mengajar anak-anaknya.
Jangan katakan seorang ibu yang pergi berdakwah (di masjid, di sekolah, di parlemen, di ...), membawa/meninggalkan anak-anak kecil, seperti seorang ibu yang tak sayang kepada anak-anaknya. Sungguh, tatkala ia pergi, menyebarkan kebaikan, itu juga investasi yang luar biasa untuk pendidikan anak-anaknya kelak.
Anak-anaknya tak akan terus-menerus di rumah. Ia akan pergi ke luar rumah, bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Bila ibu tak peduli untuk memperbaiki masyarakatnya, bagaimana ia akan tenang melepaskan anak-anaknya? Bukankah masyarakat yang sakit akan menjadi racun bagi mereka? Sebaliknya, masyarakat yang sehat dan beriman akan menjadi sarana pendidikan anak yang baik.
Wallahu a'lam
Aku tahu, semuanya bukan perkara yang ringan. Jatuh bangun, babak belur, adalah sebuah keniscayaan bagi setiap pembelajaran. Tapi bila tak pernah jatuh, apa kita boleh berharap bisa berjalan apalagi berlari mengejarNya?
Mari berpegangan tangan, agar tatkala salah satu dari kita terjatuh, kita bisa saling menolong untuk menegakkan langkah. Ganbarimashoo...
Comments