Kringggg...
Assalamu alaikum...
Waalaikumussalam wrwb
Apa kabar, De?
Alhamdulillah baik. Kaka?
Alhamdulillah...
...[sepotong dua potong percakapan]
Dah dulu yaa
[diam]
Masih kangen yaa?
Iya [malu, mata yang berkaca, hati bergetar]
Sama...
Gpp, udahan juga. Biar hemat pulsa...
Iya...
[salam dan telp pun ditutup]
Getaran dan deburan jantung masih dirasakan perempuan beberapa saat setelah gagang telepon diletakkan kembali. Memang, di saat berjauhan, sekian detik pertemuan menjadi luar biasa artinya. Imel, surat pos, YM, dan tentu saja: telepon, menjadi sarana melepas rindu.
Lalu rabu sore ini, lelaki itu mengirim e-mail, mengabarkan ia tengah transit di Cangi, Singapura, dan segera tiba di Jakarta. Sehari sebelumnya ia telah bertolak dari Jeddah.
Menghitung hari, dalam bilangan delapan, bentangan jarak bisa digulung lagi. Insya Allah
Seperti apa rasa menghabiskan separuh waktu dengannya? Saat ia tak hanya ada dalam mimpi, sepotong wajah di layar komputer, alunan suara di telepon, atau baris demi baris kalimat pada dua buah surat yang ditulisnya di tanah suci.
Kerinduan itu sangat aneh. Berat. Tapi lama-lama, diam-diam, ia menikmati getaran hati, yang hadir pada jenak-jenak 'pertemuannya' selama ini. Dengan pertemuan sepanjang waktu, apakah getaran itu akan senantiasa hadir, atau justru bersalin rupa menjadi percikan-percikan marah karena gesekan-gesekan yang akan semakin sering terjadi?
Perempuan itu mencari di kedalaman hatinya. Antara bahagia dan haru yang bercampur dengan sedikit kecemasan. Dulu pada 19 hari pertama, ada bunda yang mengingatkan tugas-tugasnya. Teriakan pagi, tentang minuman yang harus disiapkan, baju yang disetrika, serta apa saja, yang ia belum refleks mengerjakannya. Juga ada tante/uwa yang rajin menasihatinya, serta nenek yang senantiasa mendukungnya.
Di rumah sendiri, hanya berdua?
Tidak, sayang. Tidak hanya berdua. Ada Allah, yang senantiasa mengirimkan bantuanNya, langsung ataupun melalui banyak perantara. Mba-mba, rekan-rekan, dan semua sarana untuk menjaring cahayaNya. Ia bisa mengundang sebanyak mungkin malaikat untuk hadir rumah kecil itu, dan mengharapkanNya memberkahi dengan cahaya Al Quran.
Kemauan yang kuat dan petunjukNya adalah kuncinya. Bukankah menjadi istri sholihat adalah idamannya, dan sekaranglah saat memulainya kembali.
Bismillah...
Assalamu alaikum...
Waalaikumussalam wrwb
Apa kabar, De?
Alhamdulillah baik. Kaka?
Alhamdulillah...
...[sepotong dua potong percakapan]
Dah dulu yaa
[diam]
Masih kangen yaa?
Iya [malu, mata yang berkaca, hati bergetar]
Sama...
Gpp, udahan juga. Biar hemat pulsa...
Iya...
[salam dan telp pun ditutup]
Getaran dan deburan jantung masih dirasakan perempuan beberapa saat setelah gagang telepon diletakkan kembali. Memang, di saat berjauhan, sekian detik pertemuan menjadi luar biasa artinya. Imel, surat pos, YM, dan tentu saja: telepon, menjadi sarana melepas rindu.
Lalu rabu sore ini, lelaki itu mengirim e-mail, mengabarkan ia tengah transit di Cangi, Singapura, dan segera tiba di Jakarta. Sehari sebelumnya ia telah bertolak dari Jeddah.
Menghitung hari, dalam bilangan delapan, bentangan jarak bisa digulung lagi. Insya Allah
Seperti apa rasa menghabiskan separuh waktu dengannya? Saat ia tak hanya ada dalam mimpi, sepotong wajah di layar komputer, alunan suara di telepon, atau baris demi baris kalimat pada dua buah surat yang ditulisnya di tanah suci.
Kerinduan itu sangat aneh. Berat. Tapi lama-lama, diam-diam, ia menikmati getaran hati, yang hadir pada jenak-jenak 'pertemuannya' selama ini. Dengan pertemuan sepanjang waktu, apakah getaran itu akan senantiasa hadir, atau justru bersalin rupa menjadi percikan-percikan marah karena gesekan-gesekan yang akan semakin sering terjadi?
Perempuan itu mencari di kedalaman hatinya. Antara bahagia dan haru yang bercampur dengan sedikit kecemasan. Dulu pada 19 hari pertama, ada bunda yang mengingatkan tugas-tugasnya. Teriakan pagi, tentang minuman yang harus disiapkan, baju yang disetrika, serta apa saja, yang ia belum refleks mengerjakannya. Juga ada tante/uwa yang rajin menasihatinya, serta nenek yang senantiasa mendukungnya.
Di rumah sendiri, hanya berdua?
Tidak, sayang. Tidak hanya berdua. Ada Allah, yang senantiasa mengirimkan bantuanNya, langsung ataupun melalui banyak perantara. Mba-mba, rekan-rekan, dan semua sarana untuk menjaring cahayaNya. Ia bisa mengundang sebanyak mungkin malaikat untuk hadir rumah kecil itu, dan mengharapkanNya memberkahi dengan cahaya Al Quran.
Kemauan yang kuat dan petunjukNya adalah kuncinya. Bukankah menjadi istri sholihat adalah idamannya, dan sekaranglah saat memulainya kembali.
Bismillah...
Comments