Skip to main content

Amanah

Jelang tengah malam, hampir saja aku lupa untuk menulis disini. Lupa menulis sebenarnya tak berarti lupa berpikir, karena ada yang menghantuiku hampir seharian ini sebagai letupan dari bisikan yang hadir dalam benak di hari-hari pekan ini.

Masa-masa ini merupakan salah satu masa sulit buatku. Akhir semester dimana segala tugas memburu, sementara tanggung jawab-tanggung jawab non akademis pun menanti untuk ditepati. Aku hampir tak sanggup bernafas lega, karena tugas-tugas ini seperti tak selesai-selesai. Deadline yang ada tak berhasil memecutku untuk bekerja makin cepat dan cekatan. Tetap saja masih kuhabiskan waktu untuk menyalurkan hobiku, semisal membaca hal-hal yang sebenarnya bisa kutunda.

Terkadang, saat aku agak sedikit lemah saat kuliah atau menyelesaikan tugas pada limit deadline dengan segala keterbatasan, organisasi yang disalahkan. Saat tugas organisasi tak bisa ditunaikan maka tuntutan kuliah yang kemudian menjadi kambing hitam.

Mungkin itu tak sepenuhnya salah, bahwa masa ini adalah masa dimana aku membutuhkan waktu sehari yang lebih dari 24 jam atau waktu sepekan yang bukan lagi tujuh hari. Dimana kewajiban jauh lebih banyak dari waktu yang tersedia. Namun sesungguhnya bila diamati seksama, ada manajemen diri yang lagi-lagi harus dibenahi, semisal mengelola emosi, mood, waktu, dan juga membagi pekerjaan dengan tepat, sesuai kadarnya.

Bukankah Allah tak pernah memberikan beban melebihi kesanggupan kita dalam memikulnya?

Bila diri tak mampu amanah, maka itu tak boleh ditambah dengan mengkambinghitamkan yang lain. Benar bahwa kita diminta untuk berlapang dada menerima keterbatasan saudara, tapi menuntut terus pemakluman dari orang sekitar sungguh memalukan.

Lagipula, setiap amanah itu kita ambil dengan sebuah pilihan sadar, bukan dengan paksaan. Walaupun dipaksa keadaan kita masih bisa lari dari paksaan itu.

Aku ingat pada seorang kawan yang mengajarkanku untuk bersikap profesional dalam amanahnya. Suatu pagi di kampus ITB, ia harus kumpulkan tugas kelompok, dan berbenturan dengan jadwal koordinasi. Semalaman dia kerjakan tugasnya (kuliah dan koordinasi), bada subuh, saat hari mulai terang dia sudah keluar rumah mengantar tugasnya. Lalu pukul 6 pagi sudah stand by di masjid tempat koordinasi. Dia tak perlu memberikan alasan pada timnya, bahwa ia ada urusan lain. Ataupun ijin telat pada tim satunya karena harus mengerjakan urusan kuliah.

Teladan lain adalah seorang bunda, yang tak pernah menjadikan urusan rumah tangganya sebagai alasan untuk terlambat hadir pada pertemuan-pertemuan. Sepagi apapun dia senantiasa siap hadir, membawa putra putri yang sudah manis dan harum.

Sementara aku?

Padahal makin hari dunia akan semakin terbuka. Berhubungan dengan banyak pihak, berada pada domain kepercayaan publik, berhadapan dengan pihak yang tak mau tahu urusan yang lain, selain kerja dengan rapi sesuai kesepakatan. Tak ada manajemen by afwan, pemakluman-pemakluman akan banyak keterbatasan. Kita memang masih terbatas, tapi sekali kita ambil beban amanah, maka batasan-batasan baru harus dibuat, harus dicapai.

Semoga Yang Rahman dan Rahim, pemilik segala kekuatan, yang memerintahkan kita untuk menepati amanah yang kita terima, berkenan mengkaruniakan kita karakter amanah seperti yang Dia berikan pada rasul-rasulNya
Amin



Tokyo, 11 Juli 2004
aminah wanna be
need help...

Comments

Popular posts from this blog

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R

Rahasia Hati

Percaya tidak, bahwa kita akan benar-benar jatuh cinta pada pasangan kita setelah kita menikah? Itu pesan yang tersirat di kitab suci, yang aku coba percayai. Aku selalu bilang pada orang-orang di sekitarku bahwa aku tak ingin jatuh cinta dan punya pacar karena tak mau patah hati. Beberapa kawan menganggap hal ini gila. Kadang aku sendiri tak benar-benar yakin sepenuhnya. Tapi dengan apa kita kan sanggup menyangkal apa-apa yang telah Ia tetapkan? Hal itu baru kubuktikan sendiri setelah aku menimbang perasaan dan pikiranku, tentang orang yang menjabat tangan ayahku, tepat 20 hari yang lalu. Lelaki ini datang dari dunia yang teramat beda dengan dunia yang selama ini akrab denganku. Bahkan kami bertemu pertama kali hanya selang 3 hari sebelum hari yang bersejarah itu. Namun hari demi hari, selapis demi selapis, rasa kasih itu menyusup dalam hati kami. Dia menyebutnya cinta yang bertambah setiap hari, aku menyebutnya syukur setiap hari karena menemukannya, menemukan belahan ha

DalamHening

Sejak acara rutin kami diadakan, hanya sekali dua kali saja dia datang. Lalu ia menghilang. Pekerjaan dan sakit ibunya-sampai ia meninggal di kota lain-membuatnya lama tak hadir. Hingga kemarin ia tak muncul. Sampai-sampai, aku tak pernah berhasil mereka-reka seperti apakah wajah muslimah jepang yang satu ini. Saat ibunya meninggal, Juli lalu, aku sempat mengiriminya e-mail lewat kawan (dia membantu menerjemahkan) balasannya adalah ia merasa tak ingat aku, tapi ia mengucapkan terima kasih. Walah...guru yang masih payah aku ini...tak mengenali dan tak dikenali muridnya sendiri. Hiks... Kemarin, Allah mengizinkan kami bertemu. Ia hadir saat acara hampir usai. Aku memang tak mengenalinya. Tapi ketika di sekitarnya berserakan kertas, dan orang-orang di sekitarnya dan ia bergantian menulis kertas itu, puzzle di kepalaku mulai tereka. Yaa.. dia lah orang itu. Orang yang aku nanti kehadirannya. Tapi seperti biasa, dalam keramaian, aku masih saja terlalu pemalu untuk mengajaknya bicar