Skip to main content

Pertemuan Kecil

Kalau aku ditanya, apa pemandangan favoritku selain langit biru beserta segala sketsa alam yang dilukiskanNya, maka jawaban pertama adalah pemandangan orang-orang yang bersujud. Apalagi melihat orang-orang yang tersungkur di Masjidil Haram pada bulan Ramadhan. Melihat barisan punggung di Masjid Salman, atau tersungkurnya orang-orang di Lapangan Ied saat Lebaran saja, sudah mewarnai hatiku demikian dalam. Menyusupkan rasa damai dan haru.

Pemandangan lain yang menjadi favoritku adalah melihat kelompok-kelompok manusia yang melingkar dan disana dibacakan ayat-ayat Allah. Bukan sekali dua kali aku sengaja duduk di selasar jurusan, untuk menikmati pemandangan itu. Setahun sekali, Salman penuh dengan kelompok-kelompok kecil mentoring Orientasi Mahasiswa, akupun menikmatinya. Kadang menyengaja duduk dan memandang dalam diam, menahan haru. Meskipun tak jarang pula harus sambil hilir mudik menyelesaikan beberapa urusan.

Pertemuan kecil, dimana aku selalu membayangkan banyak malaikat mengelilinginya.

Aku mengenalnya sejak pertengahan tahun 1994 (Masya Allah...nyaris 10 tahun, ternyata). Rasa-rasanya seperti baru kemarin. Pertemuan pertama tentang Allah. Bagaimana ia mengabulkan doa, mendengarkan setiap permintaan tanpa harus menggunakan perantara. Sebelum itu, aku diajari bahwa kadang kita memerlukan orang lain untuk menyampaikan keinginan, karena orang shalih lebih 'didengar' olehNya. Konsep itu tak sepenuhnya salah, dan itupun tak menghalangiku untuk mengangkat tangan, mengajukan permohonan padaNya, alias berdoa. Namun membayangkan bahwa Ia amat dekat, mendengarkan setiap permintaan, rasanya sangat berbeda. Sungguh-sungguh berbeda.

Waktu berlalu, dengen aneka pertemuan yang terjadi, dan aku selalu antusias menyambutnya. Mendengarkan bahasan tentang ayat-ayatNya, bertukar informasi, berpacu dalam prestasi, berbagi duka, menularkan suka, dsb. Tanpa terasa tumbuh dan berkembang. Membuat sedikit demi sedikit perubahan.

Ada masa-masa sulit, tentu. Dimana jadwal sulit untuk dipadukan, atau saat kualitasnya tiba pada masa menurun. Tak ada jalan kecuali menyeret-nyeret kaki ini untuk melangkah. Memaksanya hadir, 'sekedar' memenuhi kewajiban. Tanpa antusiasme, tanpa hati yang penuh hasrat. Datang saja, agar diri tak makin tergelincir. Minimal, aroma berkah pertemuannya bisa dihirup.

Disini, pertemuan kecil yang kuhadiri terdiri dari beragam bangsa. Ada batas-batas bahasa yang kadang menjadi tabir pemisah. Tapi nyatanya, setiap pertemuan kecil itu senantiasa menyisakan haru dan semangat baru untuk semakin berbenah. Dibina ataupun membina, maknanya nyaris sama. Dan aku hanya berharap akan selalu diizinkan untuk memiliki pertemuan-pertemuan kecil itu, sampai akhir nafasku.

Comments

Anonymous said…
Kalau begitu, tolong bantu aku memahat rasa, tentang malaikat itu, tentang bahagia itu. Tolong katakan pada malaikat2 itu, untuk antarkan aku pulang, tuk bantuku melawan beban kesendirian, tuk bantuku robohkan hambatan saat tak ada siapapun disisiku.

Tolong ajarkan aku, tentang segala keniscayaan. Pertemuan denganNya, tentang terbelahnya langit yang selama ini menemaniku pulang.
Tentang kebercahayaan orang2 yang berangkulan, dan kelelahan orang2 yang mendustakan.
rieska oktavia said…
Bada shubuh ini kuangkatkan tangan untukmu, saudaraku. Kupintakan pada sang Pembolak-balik hati, untuk memahatkan rasa itu di hatimu. Tak ada yang mampu melakukannya kecuali Dia.
Dan juga semoga ketegaran, kesabaran, kekuatan, kebijaksanaan, kenikmatan, menyertaimu saat kau berada kesendirian itu. Jika kau tapaki kebenaran, maka malaikat-malaikat senantiasa bersamamu. Mendukungmu, menghiburmu dengan kalimat sakti seperti yang tercatat pada kitab suci.
Aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.
Ada lagikah yang mungkin kulakukan untukmu?
I ll try my best then.

Popular posts from this blog

ke odaiba

Bertiga di atas perahu Dulu...waktu kaka sedang di Maroko, saya, Ima, mamah dan keluarga kakak dari Sendai (K Zakir, K Salma, Hilyah dan Gilman) pergi ke Odaiba. Jalan-jalan terakhir Kak Salma yang akan pulang ke Makassar. Kaka 'iri berat', sehingga saya pun berjanji suatu saat akan kesana bersamanya. Alhamdulillah, di antara jadwal yang cukup padat, masih ada celah sebuah hari libur tanpa tugas dimana kami bisa pergi kesana. Dengan tiket 900 yen perorang, kami bisa naik Rinkai line, Yurikamome line, dan juga naik perahu sesukanya. Kami memilih stasiun Oimachi yang paling dekat dari rumah. Walaupun hujan turun cukup deras, perjalanan masih bisa dinikmati dengan enak.

Gaya-gaya di bulan Oktober dan November 2006

Ini sebagian gaya-gaya neng qonitat yang sempet terjepret keetai/hp bunda. Setiap kali dijepret otomatis senyumnya mengembang. Imut, bikin gemesss.

Dua Anugrah

Sabtu itu 30 Mei-seperti kebanyakan sabtu-sabtu yang lain-saya menghabiskan waktu hampir seharian di masjid. Bertemu dengan saudari-saudari untuk rapat koordinasi kegiatan masjid, belajar Islam, bercengkrama, dan makan bersama. Tak disangka, saya bertemu kembali dengan sepasang kakak-beradik dari Iraq. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dalam suasana duka, saat suami sang kakak meninggal lalu dimandikan dan disholatkan di masjid ini. Kalau tak salah bulan Maret 2009 yang lalu. Subhanallah...ternyata mereka berdua diutus Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira: Undangan mengunjungi rumahNya yang sudah lamaaa sekali saya rindukan. Iya, setelah mengobrol kesana-kemari, saat mereka memilih-milih hijab untuk dipakai ke Tanah Suci tahun ini, saat saya meminta supaya didoakan untuk bisa pergi juga, mereka malah spontan berkata: "Come with us. We ll cover all for you..." Saya masih terbengong meski sejurus kemudian berusaha menahan tangis yang nyaris tumpah. Ya Allah...Ya R