Akhir-akhir ini bertubi-tubi kudengarkan kabar tentang kebusukan-kebusukan yang dihadapi oleh kawan-kawan ataupun saudaraku. Sepupuku, misalnya dia seorang insinyur yang berada dalam pertarungan ambisi di tempat kerjanya. Kawanku wartawan yang setiap jenak pada pekerjaannya menghadapi kebusukan-kebusukan manusia dan tawaran-tawaran menggiurkan untuk memanipulasinya.
"Kebenaran mudah sekali dijual dengan rupiah," ujarnya.
Lama-lama aku tersadar, di belantara dunia yang penuh corak dan ragam ini, aku hanya hidup dalam ruang sempitnya. Duniaku begitu manis, hampir tanpa intrik. Dunia sekolah yang kukecap selama hampir dua puluh tahun. Sejak aku berseragam biru muda dan hanya mengenal bermain saja.
Sesekali memang kutemui hal-hal yang membuat hatiku tersayat. Dan apa yang kulakukan selama ini saat menghadapi hal-hal di luar jangkauan nuraniku? Menangis. Aku hanya bisa menangis.
Tangisan berat pertama adalah saat ujian akhir menjelang kelulusan, dimana atas nama cinta dan kemajuan bersama, para murid diajar untuk bekerja sama bukan pada tempatnya. Rasa kecewa begitu menyayat hatiku belum lagi cemoohan rekan sebaya karena dianggap sok pintar, sok suci, dan tak mau mendukung kawan sendiri.
Tangisan berat berikutnya adalah saat kutemukan gaya kecurangan dalam kelas yang makin menggila di sekolah menengah. Nilai demi nilai diburu dengan cara profesional, sembari menipu diri sendiri. Dan itu dilakukan secara terstruktur dan memasyarakat. Dan hal yang menambah sakit adalah satu persatu kawan-kawanku yang sebelumnya berupaya menjaga diri pun berguguran.
"Aku tak kuat. Persaingan ini tidak sehat. Aku akan kalah kalau tak kuikuti cara umum."
Dan airmataku pun semakin deras...diskusi-diskusi kami tentang kebenaran, belum mampu membuahkan hasil.
Di kampus, kondisinya tak jauh berbeda. Aku cukup menggunakan sebelah tangan untuk menghitung siapa yang masih berpegang teguh pada kejujuran. Sedikit kemajuan yang bisa kulakukan untuk meminimalkan adalah dengan menjadi asisten atau pengawas ujian. Biarpun waktu dua jam yang ada 'hanya' ditukar dengan biaya satu kali makan di kantin borju, dan harus kutinggalkan agenda yang lain.
Di organisasi, bergabung dengan organisasi mahasiswa pun membuatku masih terengah-engah memahami situasi.
"Kamu terlalu polos. Cobalah untuk sedikit konspiratif. Politik itu dasarnya adalah tipudaya."
Nyatanya aku tetap hanya bisa menangis, untuk semua intrik-intrik, sebaran fitnah, ataupun kebohongan publik. Aku masih tak bisa memahami dengan jelas meskipun ada masa dimana argumentasi, aturan, dll bisa kami kembangkan untuk menghambat lajunya.
Senantiasa berdasar pada nurani memang tak mudah, ternyata. Selama ini aku merasa Allah saja yang begitu baik memelihara aku dari ketergelinciran. Memberiku inspirasi dan kekuatan untuk bertahan.
Bukan sekali dua kali terlintas dalam benak untuk mengikuti arus. Saat SMU misalnya, saat nilai-nilaiku di bawah rata-rata, aku memikirkan barangkali harus kuambil cara lain untuk mendongkrak nilai. Berminggu-minggu pikiran itu menghantuiku. Sampai pada akhirnya Dia membuat skenario yang menginspirasiku dan membuatku sekali lagi tetap bertahan.
Kadang ketakutan hinggap dalam hatiku. Setelah ini sanggupkah aku masih bertahan? Ketika anak-anakku lapar dan aku tak ada jalan lain kecuali 'mencuri' apakah aku masih kuat untuk berkata tidak?
Pada setiap area, pada setiap level celah kebusukan itu senantiasa ada. Aku hanya berharap kami semua kan bisa bertahan. Tak ada yang bisa dilakukan selain saling menguatkan dan mendoakan sambil mengembangkan sistem yang mampu meminimalkan pada area terdekat.
Aku berharap aku kan mampu beranjak dari tangisan, membuat kreasi baru untuk mengokohkah kebenaran dan melenyapkan kebatilan.
Ya Rahman, aku berlindung kepadaMu dari segala kebusukan.
Dan aku titipkan kawan-kawan dan saudara-saudaraku untuk tetap berada pada jalanMu.
Sungguh, beban mereka jauh melebihiku. Tolong jagalah mereka semua.
Ampunilah kami, dan kami mohon senantiasa pertolongan dan petunjukMu
Amin
"Kebenaran mudah sekali dijual dengan rupiah," ujarnya.
Lama-lama aku tersadar, di belantara dunia yang penuh corak dan ragam ini, aku hanya hidup dalam ruang sempitnya. Duniaku begitu manis, hampir tanpa intrik. Dunia sekolah yang kukecap selama hampir dua puluh tahun. Sejak aku berseragam biru muda dan hanya mengenal bermain saja.
Sesekali memang kutemui hal-hal yang membuat hatiku tersayat. Dan apa yang kulakukan selama ini saat menghadapi hal-hal di luar jangkauan nuraniku? Menangis. Aku hanya bisa menangis.
Tangisan berat pertama adalah saat ujian akhir menjelang kelulusan, dimana atas nama cinta dan kemajuan bersama, para murid diajar untuk bekerja sama bukan pada tempatnya. Rasa kecewa begitu menyayat hatiku belum lagi cemoohan rekan sebaya karena dianggap sok pintar, sok suci, dan tak mau mendukung kawan sendiri.
Tangisan berat berikutnya adalah saat kutemukan gaya kecurangan dalam kelas yang makin menggila di sekolah menengah. Nilai demi nilai diburu dengan cara profesional, sembari menipu diri sendiri. Dan itu dilakukan secara terstruktur dan memasyarakat. Dan hal yang menambah sakit adalah satu persatu kawan-kawanku yang sebelumnya berupaya menjaga diri pun berguguran.
"Aku tak kuat. Persaingan ini tidak sehat. Aku akan kalah kalau tak kuikuti cara umum."
Dan airmataku pun semakin deras...diskusi-diskusi kami tentang kebenaran, belum mampu membuahkan hasil.
Di kampus, kondisinya tak jauh berbeda. Aku cukup menggunakan sebelah tangan untuk menghitung siapa yang masih berpegang teguh pada kejujuran. Sedikit kemajuan yang bisa kulakukan untuk meminimalkan adalah dengan menjadi asisten atau pengawas ujian. Biarpun waktu dua jam yang ada 'hanya' ditukar dengan biaya satu kali makan di kantin borju, dan harus kutinggalkan agenda yang lain.
Di organisasi, bergabung dengan organisasi mahasiswa pun membuatku masih terengah-engah memahami situasi.
"Kamu terlalu polos. Cobalah untuk sedikit konspiratif. Politik itu dasarnya adalah tipudaya."
Nyatanya aku tetap hanya bisa menangis, untuk semua intrik-intrik, sebaran fitnah, ataupun kebohongan publik. Aku masih tak bisa memahami dengan jelas meskipun ada masa dimana argumentasi, aturan, dll bisa kami kembangkan untuk menghambat lajunya.
Senantiasa berdasar pada nurani memang tak mudah, ternyata. Selama ini aku merasa Allah saja yang begitu baik memelihara aku dari ketergelinciran. Memberiku inspirasi dan kekuatan untuk bertahan.
Bukan sekali dua kali terlintas dalam benak untuk mengikuti arus. Saat SMU misalnya, saat nilai-nilaiku di bawah rata-rata, aku memikirkan barangkali harus kuambil cara lain untuk mendongkrak nilai. Berminggu-minggu pikiran itu menghantuiku. Sampai pada akhirnya Dia membuat skenario yang menginspirasiku dan membuatku sekali lagi tetap bertahan.
Kadang ketakutan hinggap dalam hatiku. Setelah ini sanggupkah aku masih bertahan? Ketika anak-anakku lapar dan aku tak ada jalan lain kecuali 'mencuri' apakah aku masih kuat untuk berkata tidak?
Pada setiap area, pada setiap level celah kebusukan itu senantiasa ada. Aku hanya berharap kami semua kan bisa bertahan. Tak ada yang bisa dilakukan selain saling menguatkan dan mendoakan sambil mengembangkan sistem yang mampu meminimalkan pada area terdekat.
Aku berharap aku kan mampu beranjak dari tangisan, membuat kreasi baru untuk mengokohkah kebenaran dan melenyapkan kebatilan.
Ya Rahman, aku berlindung kepadaMu dari segala kebusukan.
Dan aku titipkan kawan-kawan dan saudara-saudaraku untuk tetap berada pada jalanMu.
Sungguh, beban mereka jauh melebihiku. Tolong jagalah mereka semua.
Ampunilah kami, dan kami mohon senantiasa pertolongan dan petunjukMu
Amin
Comments